Vincent benar-benar tak peduli. Dia pergi meninggalkan rumah dengan motor besarnya, tanpa menyapa Citra yang baru turun dari taksi dengan dua kantong besar belanjaan dari pasar. Meski gadis itu melambai-lambai tangan sambil berteriak,"Aku akan masak banyak! Mampirlah nanti malam!"
Kenapa dia ya, pikir Citra bingung. Sejak memergokinya sedang bercinta dengan Damar, Vincent bersikap tak ramah lagi.
"Vincent memang begitu kan, Nona. Dia cuek," kata Parti, pembantu yang dipekerjakan Damar di rumah, kerjaannya cuma bersih-bersih kala pagi dan pulang sebelum jam makan siang.
Citra memandangi wanita tua itu dengan lesu, sambil minum susu dia merasa gelisah di kursi meja makan. "Dia begitu kepada orang lain. Tidak kepadaku yang dikenalnya sejak kecil."
Parti mengangguk, sembari memotong-motong kentang dengan cepat. "Tetapi manusia bisa berubah bukan?"
"Karena apa?"
"Keadaan."
Citra mengangkat bahu, lalu kembali meneguk susu. "Aku tak peduli."
Damar syuting film sampai sore, jadi Citra berpikir untuk masak sop ayam untuk makan malam. Dia merasa lebih senang fokus dengan rencana romantisnya nanti malam dengan kekasihnya. Parti juga membantunya untuk mempersiapkan segalanya. Tetapi tiba-tiba, pintu rumah diketuk, dan Parti sigap berlari.
"Ada maminya Vincent, Nona Citra!" Patri berteriak.
Citra meloncat riang, saat Mami Vincent memasuki dapur dengan membawa dua kantung jeruk, yang kemudian disambut Parti dengan penuh hormat.
"Kantung satunya untuk anakmu Ti," kata Wanita berambut pendek dan berkacamata itu.
"Terima kasih banyak Bu Virna," Parti tersenyum senang.
"Tante Virna...." Citra berlari mendekat.
Pelukan hangat Citra, membuat Virna tersenyum. Dia sering mengunjungi Damar selama ini, bertemu dengan anak muda itu yang sejak lama bersahabat dengan anaknya si Vincent, namun akhirnya juga akrab dengan Parti.
Saat Virna dan Citra lanjut duduk di ruang tamu, Parti datang membawa dua gelas besar es teh melati dan jeruk yang sudah tertata di tempat buah.
"Kau senang tinggal di sini? Betah ya ada Parti," kata Virna, saat Parti pamit kembali memotong kentang di dapur.
Citra mengangkat bahu,"Tapi Parti tak mau menginap, padahal Damar kadang pulang pagi karena jadwal syuting."
"Apa hidup seperti ini yang menjadi pilihanmu?" Tanya Virna tajam. "Meninggalkan masa remaja untuk seorang pria apakah layak bagimu?"
Citra menatap Virna,"Maksud Tante?"
"Kamu baru berusia lima belas tahun. Anak seusia kamu, hidupnya cuma sekolah, bersenang-senang, makan, tidur, belanja, mencoba kosmetik terbaru dan nongkrong dengan rekan seusia. Tidak di rumah seorang pria dan bertingkah seakan-akan sudah menjadi istrinya. Menjadi ibu rumah tangga itu tidak mudah, Citra..."
"Apa Tante pikir, aku selama ini menjadi remaja yang sebahagia itu? Tidak, Tante. Aku hanya anak kelas dua SMA yang dibuang orangtuanya. Aku hidup dengan bekas kakak kelasku, berhemat dengan kiriman orangtua yang patungan menyerahkan sedikit uang dengan alasan 'tanggung jawab'..."
"Citra..."
"Pemikiran Tante itu, sangat tidak adil bagiku!"
"Tante hanya ingin kau tetap melanjutkan sekolah. Sebab Tante yakin, sebenarnya kamu tidak menginginkan situasi seperti ini. Jauh di lubuk hatimu, kamu pasti punya sebuah cita-cita..."
"Cita-citaku cuma ingin bahagia. Ada yang peduli, ada yang sayang, dan tinggal di rumah yang nyaman."
"Itu juga impian Mamamu si Marybeth saat dia bertemu dengan Papamu, si Eko. Bahkan saat itu dia masih kelas 2 SMP saat hamil kamu. Tetapi lihatlah saat ini. Dia sudah dua kali menikah..."
"Tiga kali," ralat Citra. "Dia baru menikah lagi dengan bule tua asal Amerika!"
"Nah," Virna menyandarkan tubuhnya di sofa. Kau lihat sendiri kan? Andai Mary..."
"Andai dia terus sekolah dan sekolah hingga bisa menjadi seorang Dosen seperti Tante?" Potong Citra cepat.
Virna menghela nafas,"Tidak harus begitu. Dia mungkin akan jauh lebih
hebat dari Tante."
"Tidak menjamin juga," Citra menggeleng. "Banyak yang sekolah sampai sarjana, ujungnya malah tak berguna!"
"Kau benar. Tetapi lebih banyak yang hidupnya jauh lebih baik. Setidaknya jadi mampu mengurus dan mendidik anaknya."
"Tante mau bilang aku produk gagal?"Citra melemparkan pandangan pada foto berbingkai besar di ruang tamu, di mana terlihat Damar dan abangnya, Jaka, sedang berfoto mesra dengan Umi dan Abinya.
Tetapi itu bukan foto keluarga di dunia nyata, sebab aslinya, kemesraan itu palsu. Kedua orangtuanya memang tidak bercerai, tetapi bapaknya yang anggota dewan dan tampak religius itu punya banyak istri lain. Ibunya juga sibuk arisan dan umroh, ketimbang mengurus Damar dan Jaka. Damar enggan kuliah, sibuk main film. Sementara Jaka, lebih senang berpetualang dari gunung ke gunung, kuliahnya terkatung.
Mereka semua tak saling berkomunikasi. Malah justru saling membenci. Meski dapat uang transferan melimpah dari orangtuanya, mereka tak merasa itu suatu bentuk kasih sayang. Bahkan, sudah dua tahun Damar tinggal di rumah ini, orangtua dan abangnya tak pernah sekali pun mampir.
"Aku dan Damar itu korban, Tante. Dia juga sama, orangtua kaya dan berpendidikan, tetapi tak peduli soal anak, padahal topengnya manusia religius. Aku cuma berharap dapat saling mengisi dengannya, atas kekurangan hampa yang diciptakan orangtua kami."
Virna menepuk pundak Citra,"Tante mengerti. Damar juga anak baik sebenarnya, Tante jauh lebih setuju kamu dengan dia dari pada sama si Kencana yang jelas perempuan tetapi bersikap seperti lelaki. Duh, ngeri sekali. Tetapi Tante berharap kamu bisa mendengarkan, tolong tetap lanjutkan sekolahmu..."
Citra tak menjawab, membuat Virna bangkit dan melangkah pergi. Dia malas sebetulnya, berurusan dengan gadis keras kepala itu. Tetapi Vincent sangat menyayanginya seperti adik sendiri, dan merasa bersalah telah mendekatkan kembali hubungan Citra dan Damar. Virna hanya berusaha membantu Vincent ke luar dari rasa bersalah, namun ternyata, Citra memang sulit untuk dinasehati.
Di dapur, Citra akhirnya sibuk memasak diajari Parti. Sup ayam, diyakininya akan jadi menu makan malam istimewa untuk Damar tercinta. Meski itu bukan menu utama. Sambil memandangi tubuh seksinya di depan kaca besar di ruang tamu, Citra mengedipkan matanya.
Sebab itu saat Parti pulang, Citra merendam tubuhnya di bath up dengan air bunga mawar. Dia ingin melayani Damar sepuasnya di kamar yang kini sudah begitu harum, bahkan dia tertawa kecil saat melihat lingerie merah yang tergantung menggoda.
Namun sampai larut malam, Dimas tak kunjung pulang. Bahkan ponselnya tak bisa dihubungi.
Pukul 1 dini hari, Citra menghangatkan sup ayam, lalu memakannya dengan nasi. Air matanya bercucuran, antara takut dan khawatir. Sehabis makan, dia malah tak bisa tidur. Bahkan duduk melamun di taman sendirian dengan hanya mengenakan lingerie, sehingga tubuhnya kedinginan.
Tepat pukul 3 pagi, Damar mengirim pesan. Mengabarkan bahwa dia harus lanjut syuting sampai malam berikutnya. Citra tak membalas pesan itu, dia langsung bergegas masuk ke dalam rumah. Berlari menuju kamar, dan terjun menangis di kasur.
Tiba-tiba, dia merasa ucapan Tante Virna menjadi benar. Dia ternyata belum siap menjadi seorang istri, apalagi ibu rumah tangga!
Dia menyadari, bahwa dirinya masih muda. Masih butuh dimengerti, belum saatnya mengerti mengapa seorang pria harus bekerja atau sulit berkomunikasi dan kurang memahami perasaan wanita.
Pukul 6 pagi, Citra terbangun. Dia mandi, sarapan, dan mengenakan baju seragam SMA. Buku-bukunya dimasukkan dalam tas, lalu dia membuka laci meja kamar tempat Damar meninggalkan banyak uang untuknya. Beberapa lembar uang diambilnya, lalu dia memakai sepatu dan meninggalkan rumah itu dengan perasaan campur aduk.