Pintu kamar kost tiba-tiba terbuka, seorang pria tua tiba-tiba menerobos masuk, saat Ken sedang menikmati lembutnya bibir Citra.
"Ayah!" Ken tergugup, dia tergesa melepas pelukan Citra. Lalu berdiri dengan tegak, pasrah menunggu ayahnya memberikan hukuman.
PLAK!
Tamparan di wajah gadis itu begitu keras, hingga Ken nyaris jatuh terhuyung-huyung. Citra menutup mulutnya, lalu bergerak mundur menjauh. Tubuhnya gemetar hebat saat melihat ayah Ken mencengkeram leher anaknya, dan lanjut memukuli wajahnya dengan membabi buta. Seakan tak cukup, kaki pria itu juga menendang tubuh Ken hingga jatuh tersungkur, bahkan menginjak-injaknya dengan brutal.
"Kau ini tidak ada kapok-kapoknya, ya! Berapa gadis gatal lagi yang harus kau layani nafsu syahwat mereka, hah?" Teriak ayah Ken dengan keras.
Citra menutup mulutnya kuat-kuat. Jadi, dia bukan yang pertama?
"Dulu si Chantal, lanjut dengan Emeriska! Belum lagi betina-betina di klub malam lesbian yang setiap hari kau datangi untuk bercinta dengan liar! Tidak ada jeranya kau kupukuli, ya? Kau mau masuk neraka jahanam apa?!"
Citra bengong. Chantal? Emeriska? Klub malam lesbian? Jadi Kencana seliar itu?
Tiba-tiba, ayah Ken menatap tajam ke arah Citra. "Jika kau masih menggoda anakku, maka kupastikan aku yang akan membakar tubuhmu hidup-hidup! Karena perempuan haram penyuka sesama jenis layak merasakan api neraka!"
Citra tak bersuara, dia hanya jatuh terduduk dengan tubuh terkulai lemas. Kejadiannya begitu cepat, dia seakan menyaksikan sesuatu yang mengerikan dalam satu tarikan nafas. Dia tetap tak bersuara saat ayah Ken menyeret putrinya yang pingsan dengan ganas untuk meninggalkan kamar kost itu.
Setelah mereka pergi, Citra baru menangis kencang. Jiwanya betul-betul terguncang. Lalu dengan tangan yang gemetar, dia merangkak meraih ponselnya yang berada di atas kasur. Pikirannya saat itu hanya satu, Vincent. Dia memohon untuk dibawa pulang ke rumah sahabatnya itu, karena takut dengan ancaman ayahnya Ken. Tetapi cowok itu ternyata sedang ke luar kota bersama komunitas motornya. Namun Vincent berjanji akan menyuruh seseorang untuk segera menjemputnya.
Selama 30 menit, Citra masih gemetar menunggu. Suatu jangka waktu yang baginya terasa begitu panjang dan lama. Air matanya begitu deras mengalir, saat memandangi tas besar berisi pakaian dan barang-barang pribadinya yang akan turut dibawanya pergi.
Dia menyesal, mengapa dulu tidak mengikuti nasehat Vincent untuk cepat meninggalkan tempat itu. Bisa-bisanya dia begitu bodoh, larut dalam bujuk rayu Ken. Berhari-hari mereka bercinta, bergelut dengan kenyamanan yang baru pertama kali itu dinikmati Citra.
Citra tak pernah disentuh lelaki. Justru tubuhnya, dinikmati sesama perempuan. Kencana yang selama ini seperti kakak perempuan baginya, mengenalkannya dengan sensasi sentuhan ganas kaum sejenis. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkannya, jika kemudian dia jadi sangat menikmatinya.
Lidah Kencana yang panjang tebal, begitu buas menjilati lubang kemaluannya. Citra sampai menjerit parau, menikmati gairah yang menggelegak sulit ditahan. Dia jadi ketagihan, memohon untuk dijamah tubuhnya berkali-kali oleh Kencana. Dan tentu saja, dia sangat menyukai gejolak kelaminnya.
Namun Citra menolak, saat Kencana akan menggunakan alat seks kelamin pria palsu dari karet yang panjang, besar dan tebal.
"Tidak, aku masih ingin tetap perawan!" Tegas Citra, seraya menyingkirkan alat itu dengan ngeri.
Saat itu, Kencana menatapnya dengan bingung. "Kau mencintaiku bukan? Buat apa keperawanan itu? Untuk seorang lelaki?"
Citra tertunduk,"Tidak ada lelaki. Aku rasa aku mencintaimu sekarang dan nanti. Kau orang pertama yang menyetubuhiku. Jujur, aku menyukai hal itu. Cuma mungkin aku gugup untuk berani lebih jauh. Aku belum siap..."
"Aku juga baru pertama kali ini menikmati cinta yang seluarbiasa ini. Aku juga mengkhawatirkan banyak hal. Termasuk, aku khawstir jika kau merasa tidak puas..."
"Tidak, aku puas! Cukuplah seperti ini saja dulu. Sudah kubilang, aku belum siap."
"Oke, maafkan aku sayang. Sesuatu yang pertama kali begini membuatku jadi terlihat bodoh."
"Tidak," Citra memeluk Ken, tubuh telanjang mereka menyatu erat. "Kita belajar menikmati sesuatu yang baru."
"Tentu sayangku. Aku ingin menikmati fase pelajaran pertama dalam dunia asmara kita," sahut Ken, sambil mendorong tubuh Citra ke atas kasur yang empuk. Bergulat liar, dengan nafas menderu bak suara mesin. Bersatu dengan rintihan-rintihan menggairahkan manja dari Citra. Bertingkah konyol sesekali, sehingga membuat tawa lucu kekasihnya yang merasa Ken begitu gugup. Tetapi ternyata, hal itu justru bukan hal pertama bagi Ken.
Lalu, mengapa Ken tak jujur padanya?
Setiap akan menikmati tubuhnya, Ken selalu bilang, bahwa dirinya adalah cinta pertama. Cinta sejati. Ternyata, itu semua palsu. Kencana rupanya seorang lesbian berpengalaman dengan banyak tubuh telanjang sesama perempuan. Tentu saja, bagi Citra, hal itu sangat menjijikkan.
Andai Ken bersikap jujur, mungkin dia bisa maklum. Tetapi rupanya, gadis itu terbiasa untuk melakukan kebohongan. Dengan liciknya, dia membuat hubungan Citra dan Damar jadi berakhir. Lalu bersikap bak kakak perempuan yang baik untuk Citra selama bertahun-tahun. Di mana dalam kurun waktu selama itu, ternyata Ken malah liar bercinta dengan banyak gadis lain.
Lalu, siapa itu si Chantal? Emeriska? Serta gadis-gadis Klub Malam Lesbian?
Pantas selama ini Ken selalu mengajaknya untuk sering berpindah-pindah tempat kost. Dia bukan hanya menghindari ayahnya yang religius, keras dan konservatif itu. Tetapi pastinya juga menghindari dari kunjungan kekasih-kekasih gelapnya selama ini. Begitu pandainya Kencana berdusta. Bersikap manipulatif, memanfaatkan keluguan Citra.
Citra makin kencang menangis. Dia merasa sangat bodoh sekali.
"Citra! Kamu tidak apa-apa?"
Seketika Citra mendongak, matanya yang basah tiba-tiba mampu menangkap sesosok bayangan yang sangat dikenalinya.
"Damaaarr....."
Citra bangkit, dan berhambur dalam pelukan cowok itu. Dia merasa bersyukur, karena Vincent memilih Damar untuk menjemputnya.
"Citra, apa yang terjadi?" Damar menghapus air mata Citra dengan lembut. "Vincent hanya cerita, kamu minta dijemput pulang karena takut mau dibunuh bapaknya si Kencana. Mana anak dan bapaknya itu sekarang?"
"Mereka sudah pergi. Entah ke mana."
"Kita harus lapor polisi."
"Jangan," Citra melepas pelukan, lalu menggeleng. "Ini aib bagiku juga, Dam."
Damar mengangguk,"Baik, aku mengerti. Tetapi tolong jelaskan nanti di rumahku!"
"Ke rumahmu?"
"Ya, rumahmu yang dulu."
Akhirnya, Citra kembali pulang ke rumah lamanya. Masuk kembali ke rumah itu, dengan seribu kenangan yang menyenangkan. Tiba-tiba, dia merasa begitu tenang dan damai. Apalagi saat memasuki kamarnya, Citra seakan melupakan segala masalah hidupnya.
Dia bergelung di atas ranjang lamanya, yang nampaknya selalu dibersihkan dan dirapihkan pembantu si Damar. Lalu menghabiskan segelas susu hangat dan sebatang coklat di kamar yang sejuk dengan pendingin udara itu. Mereka duduk bersebelahan, Damar mendengar kisah masa kecil Citra dengan antusias, hingga dilihatnya gadis itu mulai menguap.
"Istirahatlah," kata Damar, seraya berusaha bangkit.
"Terima kasih, Damar. Terima kasih banyak," Citra tiba-tiba memeluk tubuh Damar sehingga cowok itu terhuyung-huyung dan mereka berdua malah terhempas ke ranjang.
"Maaf," ucap Citra dengan tatapan lembut.
Damar tak menjawab, namun bibirnya langsung menyentuh bibir Citra. Sekali, dua kali, lalu melumatnya dengan penuh nafsu.
Citra tak menolak, meski kondisi fisik dan pikirannya sedang kacau. Dia takut kehilangan seseorang yang membersamainya dalam kondisi terpuruk.
Sebab itu, dia tetap diam saat Damar membuka bajunya dan menjamah tubuhnya dengan ganas. Dibiarkannya cowok itu menikmati tubuhnya, karena pikirannya juga sedang ke mana-mana. Teringat bagaimana Kencana dulu menjamah tubuhnya, kebencian itu jadi muncul kembali, sehingga dia justru merasa senang saat Damar makin buas menggerayanginya. Seperti ingin membalaskan dendam pada Kencana, Citra bahkan mencoba mengimbangi gejolak birahi Damar saat itu.
Cumbuan Damar dibalasnya dengan tak kalah panas, hingga keduanya benar-benar tak terkendali. Citra baru menyadari, bahwa seksual itu bukan masalah dia sejenis atau bukan. Seks itu kebutuhan, itu nafsu yang harus disalurkan. Jika kebutuhan itu sedang ingin dipenuhi, maka urusan cinta atau tidak, itu nomor sekian.
Bahkan, Citra tak menolak saat Damar merenggut keperawanannya hari itu. Dia tiba-tiba merasa ikhlas sekali, bahkan bersyukur karena menyerahkan sesuatu yang berharga itu pada seorang lelaki. Bukan pada seorang gadis lesbi seperti Kencana, seorang manipulatif yang hampir merobek keperawannannya dengan penis palsu dari karet.