Chereads / Lelaki Bukan Lelaki / Chapter 7 - 7. Ribut

Chapter 7 - 7. Ribut

"Apa kita tak bisa bicara baik-baik?"

Citra menoleh, memandangi Ken yang tampak sangat lelah karena berulangkali membujuknya untuk tidak pergi. Tapi dia malah merasa semakin marah.

"Apa yang harus dibicarakan?" Tanya Citra sinis,"Keburukanmu?"

"Cit, aku mengaku salah. Tapi..."

"Tidak ada kata tapi, salah ya salah!"

"Iya, aku tahu. Tetapi mengapa kita harus berpisah?"

"Tanya pada dirimu sendiri. Apa kau mau tinggal bersama orang munafik?"

"Cit, apa aku pernah memperlakukan buruk selama ini?"

"Ah, kau juga sibuk sekali. Tak menghiraukan aku. Dan yang lebih buruk, kau ternyata yang dulu merusak hubunganku dengan Damar!"

"Cit..."

Citra melengos, dia makin sibuk memasukkan baju-baju ke dalam tas. Sudah dibulatkannya tekad untuk tinggal di rumah Vincent, biar bisa kembali dekat dengan Damar. Dia menyesal telah meninggalkan cowok itu.

"Aku sudah salah duga selama ini dengan Damar, itu adalah dosamu!"

"Dengar dulu penjelasanku," Ken mencoba menahan Citra. Tapi Citra malah makin cepat memasukkan baju-bajunya ke dalam tas besarnya, sebelum menepis Ken dan bergerak menuju pintu, di mana sudah ada Vincent yang menunggunya dengan gelisah.

"Bawa ini," Citra memberi kode pada Vincent, yang langsung meraih tas besar di tangan Citra dan ngeloyor pergi menuju mobilnya. Dia membiarkan Citra menyelesaikan urusan pribadinya dengan Ken. Urusan cewek membuatnya gerah.

"Tidak bisa seperti ini, Cit. Kamu tidak bisa pergi begitu saja," Ken tiba-tiba memeluk Citra dari belakang, dia mulai menangis.

"Aku kecewa pada Kak Ken," sahut Citra, yang ikut terisak. "Kok Kak Ken tega merusak hubunganku dengan Damar?"

"Aku terlalu mencintaimu, Cit. Aku ingin memilikimu. Sungguh aku jatuh cinta padamu, dan aku..."

"Diam!" Jerit Citra, yang cepat melepas pelukan Ken dengan kasar. "Aku sudah muak denganmu!"

Ken benar-benar terdiam. Seperti pohon yang tak bisa bergerak kecuali digoyang angin. Dia tiba-tiba kaku, merasa sakit dan terluka parah di bagian hatinya.

Citra muak padaku, batinnya. Dan itu mengganggu pikirannya berulang-ulang. Lalu saat Citra berbalik untuk melangkah pergi, seketika tubuhnya menghantam lantai. Diiringi teriakan histeris Citra.

***

Vincent menghela nafas, saat melihat Citra menangis di sebelah Ken yang terkapar di ranjang dengan jidat dipasang perban sekenanya. Jika tidak ada dirinya, mungkin si Ken bakal tetap tergeletak di lantai karena Citra tak bakal bisa menggendong cewek tomboy bertubuh atletis itu. Vincent saja setengah mati menggendongnya, rasa pinggangnya mau patah. Darah dijidat Ken, membuat Vincent dan Citra memasangkan perban di kepalanya secara asal-asalan karena tak berpengalaman untuk urusan itu.

"Aku pulang," kata Vincent, sembari meletakkan tas besar milik Citra. Dia tahu, Citra tak bakal bisa dibawanya pulang. Karena saat Ken siuman, Citra kembali menangis kencang sambil memeluk dan menciuminya.

"Terima kasih Vin," sahut Ken dengan serak, sambil membelai rambut Citra.

Vincent tak menjawab, dia merasa tidak nyaman melihat perilaku dua gadis di depannya, jadi dia memilih untuk segera pergi.

Ken berusaha bangkit, saat Vincent sudah tidak ada di antara mereka, meski berusaha menahannya.

"Aku tak bisa kehilanganmu Citra," kata Ken lesu, dia mulai menangis.

Citra menghapus air matanya,"Maaf Kak Ken, tapi kita memang harus berpisah. Saat Kak Ken sudah sehat, aku akan tinggal di rumah Vincent."

"Di sebelah rumah lamamu yang kini ditempati Damar?"

"Ya."

"Jadi, kau benar-benar mencintainya?"

"Ya, aku baru menyadari itu."

"Kau menyakitiku, Citra!"

Citra tertegun, dia menatap tajam ke arah Ken. Mereka saling berpandangan cukup lama, seakan berada dalam upaya untuk menyelidiki pikiran masing-masing. Tetapi tiba-tiba, Ken meraih dagu Citra dan melumat bibirnya dengan penuh gairah. Citra terkejut, namun anehnya tidak melakukan perlawanan.

Dia malah memejamkan matanya, seakan berusaha menikmati meski tubuhnya gemetaran. Ken semakin liar, lidahnya kemudian bergerak ke leher Citra yang jenjang, menjilatinya dengan penuh gairah. Bahkan tangannya mulai merayap liar ke bagian dada Citra, meremasnya dengan kasar hingga gadis itu merintih kesakitan.

Saat Ken telah mendorong tubuh Citra ke atas ranjang, gadis cantik itu hanya bisa pasrah tergolek di atas kasur. Bajunya sudah lepas, tapi dia tak berteriak saat Ken terus melampiaskan gairahnya dengan beringas.

Mengapa aku suka diperlakukan seperti ini, batin Citra. Sembari memejamkan mata dan menggigigit bibirnya.

***

Damar memandangi Vincent yang pulang sendiri, dia kecewa ketika cowok itu tampak memberi kode berita buruk padanya.

"Tidak jadi pindah?" Tebak Damar,"Pasti karena Ken?"

Vincent mengangguk, lalu nyelonong masuk rumah Damar dengan lesu. Sekaleng bir dingin kemudian diambilnya dari kulkas tanpa permisi, lalu membuka dan menikmatinya sambil duduk di sofa.

"Si buci itu pingsan dan Citra nggak enakan. Kurasa udah jadi kaum pelangi itu si Citra!"

Damar menghela nafas berat, sebelum ikut menghempas tubuhnya di sofa, duduk bersebelahan dengan Vincent yang tampak tidak begitu menikmati bir. Damar tahu, Vincent merasa tidak nyaman karena gagal "menyelamatkan" sahabat kecilnya.

"Bukan salahmu," Damar menepuk pundak Vincent. "Semua butuh waktu."

Vincent meletakkan kaleng bir di meja,"Dia sudah seperti saudara kandung bagiku, Dam. Kami tumbuh besar bersama. Rasanya sakit banget pas melihat dia berubah orientasi seksual seperto itu."

"Kan kita belum tahu dia lesbian atau bukan?"

"Terus, apa namanya itu? Dia tinggal sama cewek yang bertingkah seperti cowok! Bahkan tak bisa dipisahkan..."

"Kita pasti punya cara untuk memisahkan mereka."

"Kau hamili saja Citra!"

"Hah?!"

"Kalau dia hamil, kan kalian bisa menikah?"

"Ah, kau gila!"

"Terus, kamu memang punya cara apa? Berusaha sabar untuk menunggu keajaiban dari langit?"

"Aku tidak meragukan itu!"

"Aku ragu!"

Damar mengangkat bahu,"Terserah, tetapi aku yakin dia akan kembali ke rumah ini."

"Ya, pastilah! Ini bekas rumahnya, dia pasti bakal sering rindu untuk ke sini lagi."

"Bukan, dia akan bercinta denganku di sini."

Vincent nyengir,"Akhirnya kau pertimbangkan juga usulan untung menghamilinya itu."

"Ah, kau! Pikirannya aneh-aneh saja!"

"Terus, ngapain bercinta kalau tidak berbuah anak?"

"Aku masih memikirkan karir."

"Oh, itu sebab mengapa kau dulu cuma sesaat berhubungan dengan Asti?"

Damar terhenyak, tiba-tiba dia ingat artis pendatang baru yang bertubuh montok aduhai itu. Gadis yang sempat menjadi pemuas hasrat seksualnya selama sekian bulan, lalu diputuskannya karena gadis itu merengek minta dinikahi. Hubungan tanpa status membuat Asti tak puas.

Mana bisa aku menikahi gadis lain, jika yang kucintai hanya Citra seorang? Demikan pemikiran Damar, sehingga merasa lebih nyaman jika berhubungan seks satu malam dengan seorang gadis liar secara random, dari pada hanya pada satu orang saja.

Lagi pula, dia tetap ingin menjaga hatinya hanya buat Citra. Meski kelaminnya bisa saja nyasar ke vagina siapa saja.