Sebenarnya, Citra ingin cepat pulang. Niatnya ke rumah Vincent cuma untuk meminjam uang. Dia sangat membutuhkan. Maka, saat Vincent sudah menyerahkan uang satu juta rupiah, dia langsung pamit. Tapi, mana dia tahu jika mobil Damar masuk pekarangan bekas rumahnya?
Cowok itu, begitu cepat ke luar dari mobil, dan lanjut berlari ke rumah Vincent. Tatapan mata Damar, masih seperti dulu. Begitu indah bercahaya saat memandangi raut wajah Citra. Cewek itu, adalah cinta pertamanya waktu SMP. Hubungan mereka yang retak, sempat membuatnya goyah beberapa tahun lamanya. Apalagi, saat tak pernah ada kata maaf dari gadis itu.
Sampai detik ini, Damar tak pernah tahu apa salahnya. Dia merasa hanya ribut sebentar soal selera dansa dari mereka yang berbeda. Lalu Citra pergi dan pulang ke rumah tanpa dirinya. Selanjutnya memutuskan hubungan, usai menuduhnya berbuat hal tak baik di depan cewek-cewek SMA penggemarnya. Sungguh, Damar selalu ingin menjelaskan banyak hal tentang kasus itu. Suatu hari, jika ada kesempatan.
Damar sangat memuja Citra. Dia sulit melupakannya. Bahkan bekas rumah Citra sampai rela dibelinya, agar dirinya masih memiliki banyak kenangan tentang gadis itu.
"Hai, Citra!" Sapa Damar.
Citra tak menjawab, dia hanya diam. Tapi Damar tak.patah semangat,"Aku membeli rumahmu, apa kau ada niat ingin melihat rumah-rumah masa kecilmu?"
Kali ini Citra tak lagi diam, karena Vincent langsung menarik tangannya. "Ayo, Damar. Tunjukan pada kami rumah Citra yang sudah lo renovasi di bagian dalam itu!"
"Vincent!" Citra melotot.
Damar tersenyum,"Ayolah. Sebenarnya tak ada yang diubah. Hanya memperindah!"
Tak ada pilihan lain. Lagian, Citra memang sangat rindu memasuki rumah itu. Dan betapa terkejutnya dia, saat tahu kalau seluruh perabot milik mereka dulu masih tetap ada. Bahkan kamar tidurnya masih lengkap dengan segala pernik Hello Kitty.
"Aku tak ingin mengubah kamarmu. Tetapi aku sering mengunjunginya, semata karena rindu padamu." Kata Damar, membuat Vincent garuk-garuk kepala dan menghindar. Dia cepat menuju dapur, ngobrol dengan pembantunya Damar, si Bik Som.
Sepeninggal Vincent, Citra langsung duduk di bekas tempat tidur lamanya. Lalu menoleh pada Damar dengan sedih,"Bagaimana dengan kamar orangtuaku?"
"Itu jadi kamarku," sahut Damar, sembari duduk di sebelah Citra. "Aku mengubah interiornya, jadi selera anak SMA Kelas Sebelas. Ya, aku sekarang tinggal di sini sejak Papaku tiada dan Mamaku menikah lagi."
"Pa-pamu?"
"Ya, meninggal karena penyakit kanker otak. Pas aku baru masuk SMA. Sedihnya, Mama malah secepat itu memilih untuk segera menikah. Aku jadi paham perasaanmu, usai ditinggal orangtua. Sebab itu, aku tak menyesal membeli rumah ini. Aku merasa tak sendirian. Meski di sini ada bibi, satpam dan tukang kebun sih. Tapi jujur, rumahmu indah."
Citra tak sanggup menahan air matanya. Begitu banyak kenangan tentang rumah itu. Bukan hanya soal orangtuanya, tetapi justru kebersamaan mereka yang dulu seakan begitu luar biasa.
Sungguh Citra tak mengerti, mengapa ada rumah tangga yang bisa berakhir hanya karena merasa tak lagi saling mencintai. Apa mereka lupa tentang kisah awal mula pernikahan mereka? Apa mereka musuh awalnya, apa dipaksa? Pastinya tidak. Papa dan Mama jatuh cinta sejak masa SMA, pacaran seru sampai kuliah, lalu pas sudah bekerja mereka memutuskan untuk menikah. Baru lahir Citra, yang dulu sangat mereka cinta.
Lalu kesibukan kerja sang Mama dalam dunia kerja dan lingkup sosialitanya, serta gaya pelarian sang Papa yang membuat rumah tangga mereka hancur. Mama yang kecewa, langsung minta cerai dan tiba-tiba pergi ke Amerika dengan pacar barunya. Papa, malah makin ganas menjalin hubungan dengan gadis belia yang menguras hartanya, sampai anaknya tak mendapatkan apa-apa.
"Terima kasih, Damar. Sudah membeli dan menjaga rumah ini," bisik Citra.
"Cit, ini rumahmu kok. Aku akan berikan rumah ini untukmu, tanpa syarat."
Citra ternganga, tapi kemudian dia cepat menggeleng. "Tidak! Ini rumahmu. Izinkan aku mampir sesekali. Jika, jika aku rindu dengan rumah ini."
Damar tersenyum, lalu mengangguk.
Sore itu, mereka menghabiskan waktu bertiga. Ngobrol panjang di ruang makan, menikmati masakan lezat Bik Som. Vincent sampai nambah nasi tiga piring, karena ketagihan makan Soto Kuning, dia doyan bagian paru dan babat dengan sambal.
"Awas, pencernaanmu." Citra memperingatkan.
"Ah, kan ada daun jambu batu!" Sahut Vincent, sambil terus menyendok nasi.
Semua tertawa. Riang.
Malamnya, Damar mengantarkan Citra pulang ke kostan dengan mobil sport-nya. "Thanks ya, Cit. Sudah mau berteman lagi denganku." Ucap Damar.
Citra tersenyum,"Sama-sama, Damar."
"Eh, Cit..."
"Ya?"
"Ehm... soal peristiwa di pesta Alona waktu itu. Sekian tahun lalu. Sungguh, aku tak melakukan apapun dengan cewek-cewek SMA itu. Aku tak pernah dipeluk mereka, dicium, apalagi sampai memberikan ruang pada mereka. Aku..."
"Damar, please. Jangan dibahas lagi."
"Aku tak bersalah soal mereka. Kesalahanku hanya memaksamu untuk duduk dan tak boleh berjoget seperti ..."
"Monyet? Udah, cukup ya. Sakit, jika diingat."
"Tapi Cit, aku tak melakukan hal norak dengan cewek-cewek SMA itu."
"Kawan-kawannya Kakaknya si Alona?"
"Kawannya Kencana juga!"
Citra yang sudah bersiap bangkit ke luar dari mobil itu mendadak menoleh lagi pada Damar,"Apa kamu bilang?"
"Salah satu dari mereka, namanya Deasy. Sekarang, sering jadi figuran di film dan sinetron yang kubintangi. Dia cerita banyak soal malam itu. Terutama, soal bayaran yang mereka terima dari Kencana!"
"Hah?! Aku nggak ngerti, kamu ngomong apa?"
Damar menghela nafas,"Kencana itu tak sebaik yang kau kira. Dia membayar Deasy dan kawan-kawannya untuk pura-pura merayuku, lalu masuk ke toilet dan bercerita buruk tentangku saat kau masih berada di dalam tempat itu."
"Tidak mungkin!"
"Jauhi Kencana, Citra. Dia bukan orang baik. Dia manipulator! Ken itu lesbi, dia naksir kamu. Maka dia melakukan apapun untuk membuat kau selalu berada bersamanya. Please, jauhi dia. Sejauh-jauhnya, agar kau selamat dunia dan akhirat!"
"Nggak! Nggak mungkin!"
"Kalau kau tak percaya, sekarang kau tanya sama dia. Bila perlu, tantang dia bertemu Deasy, dan seluruh temannya yang pernah dibayar Kencana untuk memisahkan kita."
"Kenapa kau ceritakan ini, Damar?"
"Biar kau tau yang sebenarnya Citra!"
"Tapi ini menyakitiku!"
Citra mulai terisak, tangisnya pecah. Dia tak peduli soal kasus sekian tahun lalu pada acara pesta Alona. Tapi jiwanya remuk saat mengetahui jika Kencana tega berbuat sekeji itu pada dirinya dan Damar. Tujuannya apa? Apa benar dia lesbi, dan berharap banyak untuk dibalas cintanya dari sesama Cewek?
"Cit, maafin aku ya..." bisik Damar lembut, seraya menyodorkan tisu.
Citra hanya bisa diam, mencoba menahan sesak di dada. Hatinya sangat terluka. Dia ingin berteriak sekuatnya, tetapi tak bisa. Hidup seakan begitu keras baginya.