Nicholas langsung mendorong Jenny ke jurang. Beruntung, karena Jenny masih bisa bertahan dengan meraih akar kayu yang lumayan kuat.
"Nic, tolong aku! Aku mohon!" seru Jenny yang sudah terisak.
Jenny amat ketakutan. Dia tak menyangka, bila Nicholas tega melakukan hal ini. Padahal saja, dia dan Nicholas sebentar lagi akan menikah.
"Nic, aku ini calon istrimu ...,"
"Lalu?" Nicholas menyerobot ucapan Jenny.
Lelaki itu menyeringai tajam bak iblis. Nicholas abaikan air mata sialan yang keluar dari mata Jenny. Sisi arrogant dari seorang Nicholas kembali hadir. Tak mengenal tempat dan tak mengenal pada siapa dirinya berhadapan.
"Kamu kejam, Nic! Pikirkan nasib Mom, yang ingin melihatmu menikahiku!" Jenny berucap dengan gemetar. Jujur saja, ia mulai kelelahan. Sedikit saja dia lengah, sudah pasti badannya akan jatuh ke jurang.
Nicholas mengeluarkan sebuah kertas. Dia langsung menunjukkan pada Jenny.
"Lihat ini gadis sialan!" ujar Nicholas dan Jenny kembali mendongak. "Baca baik-baik! Di sini sudah ada kontrak yang harus kamu tanda tangani." Seringai iblis itu kembali muncul.
Jenny menggeleng keras. Baginya, Nicholas terlalu berlebihan. Jenny tak mau, bila harus menyetujui kontrak sialan itu.
"Sudah kau baca, Tuan Putri?" Nicholas menghembuskan napas dengan kasar.
Nicholas melakukan hal ini, karena ambisinya ingin menyingkirkan Jenny dari kehidupannya. Dia tak mau bila terus-menerus dihantui oleh kehadiran Jenny. Lelaki itu sangat membenci tunangannya sendiri.
"Ini perjanjian yang akan menentukan kehidupanmu! Pilih mati, atau menandatangani kontrak ini? Itu tergantung dirimu!" Nicholas tersenyum miring. Melihat ketidakberdayaan Jenny, itu menjadi hiburan tersendiri untuknya.
Jenny menggeleng kuat. Dia mengabaikab rasaa sakit yang ada di tangannya. Lebih merasakan betapa hatinya yang teriris. Sakit, tapi tak berdarah.
"Perjanjian yang tak boleh ada cinta di antara kita. Enam bulan menikah, kau harus menggugat cerai diriku. Supaya Mom merasakan betapa jahatnya menantu kesayangannya ini ...,"
"Stop, Nic!" teriak Jenny menggema di sepenjuru hutan. Terlalu muak mendengar ocehan lelaki itu.
Nicholas terkekeh dan sontak bertepuk tangan. Dia pastikan, bila sebentar lagi, Jenny akan menyerah.
"Kamu menyerah, Sayang? Mari, aku bantu naik untuk menandatangani semua ini!" Nicholas menyodorkan tangan yang langsung dibalas dengan tatapan yang amat tajam dari Jenny.
Jenny benci Nicholas yang seperti ini. Namun, rasa cinta itu mengalahkan rasa benci. Dia akan tetap kuat menghadapi sikap arrogant Nicholas, tapi bukan dengan menandatangani kontrak sialan itu.
"Ayo! Kertas yang sudah ada matrai ini menanti dirimu!" goda Nicholas dengan mengedipkan sebelah mata.
"Tidak! Aku bukan gadis lemah yang bisa diperdaya olehmu." Jenny menahan agar tidak menangis lagi.
Jenny tak mau dianggap sebelah mata oleh Nicholas. Biar dia buktikan, arti perjuangan yang sesungguhnya.
"Jalang! Cepat! Tanganku sudah pegal!" Nicholas menggeram tak sabaran, karena sedari tadi sudah mengulurkan tangannya untuk Jenny.
"Kau lelaki berengsek yang sialnya aku tetap mencintaimu." Jenny menahan amarah yang kian menjadi.
Nicholas tersenyum dan sama sekali tidak tersinggung atas umpatan Jenny. Dia senang, karena mungkin dengan kejadian ini, Jenny akan membenci dirinya.
"Terima kasih, aku tak akan menandatangani perjanjian bodoh itu." Gadis itu menangis dalam diam. Sebesar apapun untuk menahan air mata, tapi tetap saja tidak bisa.
"Kamu ingin mati?" tantang Nicholas.
"Iya. Selamat tinggal, Nicholas Jackliem. Semoga ibumu tak menyesal memiliki anak sepertimu."
Setelah mengatakan itu, Jenny langsung melepas pegangan dari akan pohon tersebut. Tubuh Jenny langsung berguling, jatuh ke jurang.
"Jenny!" teriak Nicholas dengan kaget.
Kertas yang sedari tadi dia pegang, akhirnya luruh juga. Nicholas tak menyangka, bila Jenny memilih opsi ini. Lelaki itu langsung lemas tak berdaya, menyaksikan tubuh Jenny berguling di bawah sana.
"Kau? Apa kau gila, hah?" Nicholas begitu khawatir dengan Jenny.
Rencana Nicholas bukan seperti ini. Dia tak memungkiri, bila Jenny memilih opsi gila ini. Dia kira, memberi tawaran kontrak pada Jenny adalah opsi terbaik. Namun, dia salah total.
"Aku harus apa?" Nada bicara lelaki itu amat gemetar. "Di—dia sudah menghilang?" Dengan tergesa, Nicholas mengambil ponselnya.
Sialnya, di tengah hutan seperti ini, sudah pasti tak ada sinyal. Nicholas semakin takut saja. Tidak mungkin bila lelaki itu menyusul Jenny jatuh ke jurang. Bisa-bisa, keselamatannya juga terancam.
"Astaga!" geram Nicholas dengan bernapas gusar.
"Jenny! Apa kamu mendengarku? Hey, gadis sialan!"
Teriakan Nicholas begitu menggema. Naasnya, keadaan hutan kembali hening. Tak ada lagi tanda-tanda keberadaan Jenny.
"Aku tak boleh terlambat!"
Nicholas berlari keluar dari hutan demi mendapat sinyal. Kakinya yang begitu lemas, masih saja dipaksakan untuk berlari.
"Bertahanlah!" Nicholas beberapa kali melafalkan permohonan.
Lelaki itu sudah tak peduli dengan air mata yang entah kapan mulai jatuh membasahi pipinya. Ia terlalu kalut dan takut.
Sesampainya di pinggir jalan, Nicholas langsung menyenderkan tubuhnya pada pintu mobil. Mengatur napas sejenak, sebelum menghubungi seseorang.
"Ha—halo. Mom, tolong diriku ...," Bahkan, nada bicara dari lelaki itu masih saja gemetar.
"Sayang. Kamu kenapa menangis? Ada apa? Bicara sama Mom!" seru Karina di seberang sana dengan nada yang begitu khawatir.
"Jenny, Mom!"
"Jenny? Kenapa Nic?" heran Karina.
Nicholas pun terdiam sejenak. Masih memikirkan, karena kondisi Karina belum terlalu membaik. Opsi yang ia pilih sangat salah. Bagaimana bisa, lelaki itu menghubungi ibunya dalam kondisi yang tidak memungkinkan?
"Mom. Nic, tutup teleponnya, ya!"
"Nic!" bentak Karina dengan sarkas. "Mom tahu, kamu mencemaskan keadaan Mom. Tapi, tolong ... bila menyangkut Jenny, beritahu Mom!" desis Karina yang sudah hapal mati, bila Nicholas sedang tidak baik-baik saja.
Air mata lelaki itu masih saja keluar dengan deras. Dia tak menyangkan akan seperti ini.
"Mom, janji pada Nic. Bila Mom akan baik-baik saja setelah ini. Oke?" Nicholas mewanti-wanti agar sang ibu tidak terlalu shock.
"Cepat, Nic! Jangan membuatku marah dan kembali sakit!" desak Karina sarkas.
"Jenny jatuh dalam jurang! Nic mohon, bantu Nic sekarang juga. Tolong kirimkan polisi atau apa saja, Mom!" ucap Nicholas dengan cepat.
Karina kaget bukan main. Dia langsung histeris dan Nicholas menenangkan lewat panggilan itu.
"Anak durhaka. Awas saja kalau sampai terjadi sesuatu pada calon menantuku! Sekarang juga, orang suruhanku langsung ke sana. Share lokasi!" geram Karina dengan terisak.
"Baik, Mom!"
Nicholas langsung memutuskan panggilan. Memberi alamat pada Karina via pesan. Setelahnya, Nicholas kembali ke dalam hutan.
Tak butuh waktu lama, orang suruhan Karina yang berjumlah lima orang pun menghampiri Nicholas. Nicholas yang kalut, langsung saja menyuruh mereka untuk terjun ke jurang.
"Di sini, tempat dia jatuh. Ayo, cepat! Telusuri dan bawa gadis itu padaku!" bentak Nicholas yang langsung diangguki oleh mereka.
Pencarian berlanjut hingga dua jam. Sayangnya, Nicholas harus menelan pil pahit. Jenny tak ditemukan dan ini membuat Nicholas panik.
"Maaf, Tuan Muda! Nyonya Jenny tidak kami temukan. Mungkin saja, dia terbawa arus sungai yang berada di dasar jurang."
Nicholas menggeleng pelan. Dia terlalu kalut. Bagaimana nanti menjelaskan pada Karina? Bahkan, harus pula menjelaskan pada ibu Jenny yang saat ini tengah tinggal di Inggris.
"Sebaiknya, Tuan pulang dan beristirahat saja! Kami akan melakukan pencarian lagi besok!"
Nicholas mengangguk lemah. Dia pun langsung pergi dari tempat itu dengan langkah gontai. Sementara itu, orang suruhan Karina saling melemparkan senyuman dan mengacungkan jempol. Entahlah, apa yang sebenarnya terjadi.
***
Saat ini, Nicholas sudah berada di mansion mewah milik orang tuanya. Tujuannya hanya ingin meminta maaf pada Karina. Hari-hari sebelumnya, setelah Jenny dinyatakan hilang, Nicholas belum berani menemui sang ibu. Terlalu pengecut memang.
"Mom, jangan diam seperti ini!" keluh Nicholas dengan bersujud di hadapan Karina Jackliem.
Karina hanya menangis dalam diam. Wanita itu terlalu kecewa pada putranya. Bisa-bisanya, Nicholas ingin menyingkirkan wanita baik hati seperti Jenny.
"Mom. Maafkan aku!"
"Diam!" bentak Karina yang sontak membuat Nicholas kaget. "Kamu sudah berjanji dan bersumpah atas namaku. Namun, justru kau berulah seperti bedebah. Pergilah!" lanjutnya.
Nicholas menggeleng keras. Hampir satu minggu ini, sang ibu marah padanya. Nicholas begitu uring-uringan. Sementara Thomas Jackliem, ayah dari Nicholas pun tak kunjung datang. Beliau masih berada di Negeri Paman Sam — New York — untuk mengurus cabang bisnis yang ada di sana.
"Mom ...,"
"Pergi! Aku terlalu malu memiliki anak sepertimu!" sentak Karina.
Nicholas pun menyerah, dia pergi meninggalkan mansion mewah milik orang tuanya. Sesampainya di luar, Nicholas memandang langit yang kini tengah mendung. Sama persis dengan suasana hatinya.
"Jenny! Gadis sialan itu sudah pergi, tapi masih saja membuat hidupku berantakan," dengus Nicholas dengan bernapas gusar.
Nicholas kembali melangkahkan kaki. Memasuki mobil sedan dan langsung tancap gas. Membelah jalanan yang sekarang sudah dibasahi oleh rintikan hujan. Sekarang, sudah memasuki jam makan siang. Maka dari itu, Nicholas ingin menenangkan diri di kantor saja.
Pikiran lelaki itu begitu kacau. Nicholas terbayang akan wajah menyedihkan Jenny sebelum memilih opsi gila. Memilih jatuh ke dasar jurang daripada menandatangani kontrak yang sudah Nicholas buat.
"Argh ... Jenny, kamu di mana?" Ada sedikit raut penyesalan dari seorang Nicholas.
"Kembali ... mom begitu membenciku!"
Mobil mewah itu sudah mendarat mulus di lobi kantor. Beberapa hari ini, lelaki itu kurang tidur dan terus memikirkan bagaimana caranya untuk membujuk Karina.
Nicholas segera memasuki kantor. Tak lupa dengan wajah dinginnya yang begitu menyeramkan bagi siapa saja yang melihatnya. Tak ada yang berani menyapa Nicholas.
Lelaki itu begitu acuh. Memilih pergi dengan lift pribadi menuju ruangan kebesarannya.
"Nicholas!"
Nicholas terkesiap. Dia mengerjap berkali-kali. Seperti ada suara Jenny yang memanggilnya. Sontak saja, dia bergidik ngeri. Apakah Jenny sudah menjadi hantu?
"Sialan!" desis Nicholas bersamaan dengan suara lift yang terbuka.
Dia langsung bergegas keluar dari lift. Membuka pintu ruangan dengan kasar. Lelaki itu segera duduk di kursi kebesarannya. Memijit pelipisnya yang seketika berdenyut hebat.
"Apa lagi ini?" keluh Nicholas saat melihat sebuah berkas di mejanya.
Lelaki itu membuka berkas tersebut. Ternyata, itu adalah surat pengunduran diri dari sekretarisnya. Nicholas langsung meremas kertas tersebut dengan kasar.
"Argh ... semua membuatku murka!" teriak Nicholas dengan meneteskan air mata yang langsung ia seka. Ada begitu banyak penyesalan yang terpancar di matanya.
Beberapa hari sesudahnya, Nicholas segera membuka lowongan pekerjaan. Terkhusus pada bagian sekretaris. Nicholas butuh sekretaris yang handal. Sampai sekarang pun dia tak tahu perihal apa yang membuat sekretaris lama dari seorang Nicholas tiba-tiba mengundurkan diri.
Beberapa hari sudah berlalu. Tak ada satu pun dari puluhan pelamar kerja yang memenuhi kriteria sebagai seorang sekretaris. Nicholas semakin dingin pada para karyawan. Ada kesalahan sedikit saja, sudah pasti dia pecat.
Sekarang, Nicholas sudah stand by di ruangannya. Hanya sekedar untuk mewawancarai secara langsung calon sekretaris. Sampai-sampai, Nicholas berangkat ke kantor terlalu pagi.
"Langsung saja suruh ke ruangan saya! Saya ingin mewawancarai calon pelamar sekarang juga!" bentak Nicholas yang langsung memutuskan sambungan telepon dari asisten pribadinya.
Nicholas begitu geram. Dia hanya ingin secepatnya mendapat sekretaris handal. Semoga saja, kali ini nasib baik berpihak padanya.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi ketukan pintu. Nicholas menghembuskan napas kasar.
"Masuk!" teriak Nicholas.
Pintu pun terbuka. Sontak, Nicholas mendongak melihat siapa yang mendatangi ruangannya. Nicholas langsung terkaget dengan kehadiran seseorang yang amat familiar.
"Ka—kamu?"