Seseorang yang baru memasuki ruangan itu langsung terkaget. Sementara Nicholas hanya bisa tercengang begitu saja.
"Ma—maaf, Pak ...,"
"Kenapa kamu yang masuk?" geram Nicholas menyerobot ucapan orang itu yang tak lain adalah Viera — si resepsionis.
Viera pun terlonjak kaget. Dia begitu ketakutan akan bentakan Nicholas. Sementara itu, Nicholas langsung menggertakkan gigi. Sudah dia pastikan, bila Viera seorang lelaki, sudah pasti dirinya akan melayangkan bogeman, sayangnya dia adalah seorang wanita. Nicholas terlalu kesal.
"Pak ...,"
"Saya menunggu calon pelamar yang akan saya wawancarai secara langsung. Bukan kamu, bodoh!" Lagi-lagi, Nicholas menyerobot ucapan Viera. Seakan tak mau memberi waktu pada wanita itu untuk berbicara perihal apa yang membuatnya ke ruangan Nicholas.
"Sialan!" desis lelaki itu dengan tajam.
Nicholas pun langsung menyempar segala hal yang ada di mejanya. Akhir-akhir ini, emosi lelaki itu kurang baik. Entahlah ... kepergian Jenny membuatnya uring-uringan.
Bunyi barang jatuh kian bersahutan. Bahkan, satu bingkai foto yang ada di meja kebesaran lelaki itu juga terjatuh. Viera yang melihat bosnya mengamuk pun jadi takut.
"Pak ... te—tenangkan diri Anda."
"Diam kamu! Saya tidak menyuruh kamu untuk berbicara!" sentak Nicholas yang membuat Viera menegang.
Wanita itu mundur untuk beberapa saat. Dia tak ingin mengambil risiko dan tak mau menjadi bahan kemarahan Nicholas. Naasnya, saat Viera mundur, dia seperti menabrak seseorang. Sontak saja, membuat wanita itu dengan cepat membalikkan tubuh.
"Nyonya? Maafkan saya ...,"
Karina — orang yang ditabrak oleh Viera — langsung mengangguk sembari tersenyum simpul. Seolah menenangkan si resepsionis yang sudah berkeringat dingin itu. Viera langsung memberi jalan pada Karina. Sementara Nicholas masih dalam kemarahannya, hingga tak tahu perihal ibunya yang sudah ada di sana.
"Nic!" bentak Karina saat sudah memasuki lebih dalam ruangan tersebut.
Nicholas menegang. Dia menghentikan aksi gilanya yang sudah mengobrak-abrik seisi ruangan.
"Mom?" Nicholas memejamkan mata sejenak. Tahu, sudah pasti dia akan terkena amukan lagi dari seorang Karina. "Maaf. Nic kelepasan," ucap lelaki itu penuh sesal.
Karina berdecih tajam. Dia melihat begitu banyak barang-barang yang tercecer di lantai. Karina pun memfokuskan pandangan pada bingkai foto yang kacanya sudah berserakan.
"Kamu sudah gila? Iya?" heran Karina dengan berjalan, mendekat ke arah bingkai tersebut.
Karina pun berjongkok. Dia mengambil kertas foto yang di atasnya masih berserakan pecahan kaca.
"Mom, jangan diambil! Nanti tangan Mom ...,"
"Ah ...." desis Karina saat jemarinya tergores.
Buru-buru Nicholas membantu Karina berdiri. Lelaki tersebut langsung memasukkan jari telunjuk Karina yang tergores pecahan kaca ke dalam mulutnya.
"Anak nakal. Sudah, Mom baik-baik saja!" Karina menarik tangannya dengan kasar.
"Mom, please! Mom sedang terluka." Nicholas menatap sedih pada Karina.
Entahlah ... setelah kedatangan Karina, amarah dalam diri Nicholas hilang begitu saja.
"Kamu yang membuatku terluka!" sinis Karina. "Sekarang saya tanya. Kamu kenapa sampai semarah ini, hah?" lanjut wanita paruh baya itu.
Nicholas menghela napas dengan kasar. Selanjutnya, dia menatap tajam pada Viera yang masih berada di depan pintu. Wanita itu langsung tertunduk takut akan tatapan tajam dari seorang Nicholas.
"Dia yang membuatku kesal, Mom. Aku dari tadi menunggu orang yang ingin aku wawancarai, tapi justru si bodoh itu yang masuk." Nicholas berucap dengan keras.
Viera hanya mampu menggeleng keras. Padahal saja, sedari tadi dia diam. Namun, masih saja disangkut-pautkan.
"Mom yang menyuruhnya ke ruanganmu untuk memberitahu bila saya kemari mengunjungimu. Apa itu salah?" sengit Karina yang sontak membuat Nic bungkam. Lelaki itu terlalu terbawa emosi.
Melihat keterdiaman Nicholas, sontak membuat Karina bernapas lelah. Karina pun dengan cepat memberi instruksi pada Viera agar pergi. Viera pun dengan cepat keluar dari ruangan dengan hawa mencengkam itu.
"Mom ...,"
"Kedatangan Mom kemari, hanya untuk mengatakan bila kamu harus meminta maaf dan bertanggung jawab pada orang tua Jenny." Karina pun langsung berbicara pada intinya. Dia tak mau bila harus bertele-tele.
Nicholas yang mendengar ucapan Karina, langsung saja melotot tajam. Dia semakin mendekati Karina dan mengguncangkan bahu wanita paruh baya itu.
"Mom. Apa-apaan ini? Tolong! Jangan mempersulit Nic!" keluh Nicholas dengan memelas.
Karina pun menatap tajam pada anaknya. "Justru Mom ingin membantumu, boy. Mom hanya ingin permasalahan ini tidak terlalu rumit." Karina menekan setiap kata yang dia ucapkan.
Nicholas menggeleng keras. Banyak asumsi-asumsi negatif yang sudah memenuhi otaknya. Dia terlalu takut bila seorang CEO konglomerat seperti dirinya nantinya akan dituntut oleh calon mertua. Itu sama sekali tidak lucu.
"Tidak, Mom. Kita bisa mencari Jenny, tanpa harus mengatakan kebenarannya pada orang tua gadis itu." Nicholas berusaha memberi pengertian pada ibunya.
"Nic tidak mau, bila nantinya orang tua Jenny marah besar. Lalu, memilih opsi menuntut Nic. Tolong ... pikirkan nasib Nic ...,"
Plak!
Karina melayangkan tamparan keras pada Nicholas. Dia menatap tajam pada putranya. Jangan lupakan bila air mata wanita itu sudah turun begitu saja.
Sementara itu, Nicholas sangat terkejut dan hanya bisa memegangi wajahnya yang terkena tamparan.
"Mom ...."
"Cukup, Nicholas!" teriak Karina menggema di sepenjuru ruangan. "Sejak kapan Mom mengajarimu menjadi lelaki pengecut yang tak bertanggung jawab seperti ini?" Karina menatap pilu pada Nicholas.
Tangan Nicholas langsung terkepal kuat. Dia tak ingin melihat ibunya menangis, tapi sekarang, dia adalah penyebab ibunya menangis.
"Kamu yang membawa Jenny ke hutan. Seharusnya kamu bertanggung jawab penuh. Bukan menjadi pengecut seperti ini!"
Karina sampai menunjuk Nicholas dengan jari telunjuknya. Dia hanya ingin, anaknya sadar akan kesalahannya. Bukan lari seperti ini.
"Mom. Nic tidak sengaja ...,"
"Berhenti membual! Minggu depan, kita akan terbang ke Inggris untuk menemui orang tua Jenny dan menjelaskan semuanya." Final Karina yang tak bisa diganggu gugat.
"Tapi, Mom!"
"Tidak ada tapi-tapian Nicholas Jackliem. Keluarga Jackliem tidak ada yang pengecut seperti ini!" sinis Karina. "Lebih baik menemui keluarga Jenny. Daripada Mom menyeret kamu dan mengakui semuanya pada polisi."
Karina pun langsung keluar dari ruangan Nicholas. Meninggalkan lelaki itu yang masih terpaku atas ucapan sang ibu.
Bersamaan dengan langkahnya, Karina tersenyum miris. Ingatkan, bila tadi yang dia ucapkan hanya sekedar ancaman. Tak mungkin juga bila dirinya menjebloskan anaknya sendiri ke dalam penjara.
'Mom melakukan ini, agar kamu menjadi lelaki yang bertanggung jawab atas apa yang kamu perbuat, sayang!" batin Karina dengan menghentikan langkahnya, menyeka sebentar air matanya. Kemudian, menoleh sekilas pada Nicholas.
Besamaan dengan itu, Nicholas pun juga menoleh. Pandangan keduanya bertemu. Namun, buru-buru Karina memutuskan kontak mata di antara mereka. Wanita itu langsung bergegas melanjutkan langkahnya.
"Tidak!" teriak Nicholas menggema di sepenjuru ruangan
Dia menjambak rambutnya dengan kasar. Tubuhnya pun sudah luruh dan bersimpuh di lantai. Nicholas menangis tersendu. Entahlah ... pikiran Nicholas teramat kacau.
Tak lama kemudian, terdengar derap langkah kaki yang mendekat. "Bos. Sebentar lagi ada ...," seorang lelaki yang baru memasuki ruangan itu sontak menghentikan ucapannya.
Lelaki itu teramat kaget dengan kondisi ruangan yang sudah seperti kapal pecah saja. Juga ... terlihat sosok Nicholas yang menyedihkan tengah bersimpuh di lantai.
Nicholas mendongak dengan napas memburu. Air matanya pun masih setia mengalir deras.
"Pergi sialan! Batalkan jadwal wawancara untuk hari ini, besok dan lusa!" teriak Nicholas yang langsung di angguki oleh lelaki itu.
Lelaki itu adalah tangan kanan sekaligus asisten pribadi dari seorang Nicholas. Dia langsung undur diri, tanpa banyak bicara lagi. Setelah kepergian lelaki tersebut, Nicholas kembali menangis tersendu.
"Aku tidak mau berakhir di penjara!" Nicholas menggeleng keras.
Dia pun bangkit. Dengan langkah gontainya, ia keluar dari ruangannya. Pikiran sedang kacau, dan Nicholas memilih pulang.
***
Seharian ini, Nicholas hanya berdiam diri di apartemen miliknya. Dia tak ada keberanian untuk pulang ke rumah orang tuanya. Nicholas begitu terpuruk atas kejadian ini.
Banyak botol wine dan anggur merah dan sejenisnya yang berserakan di meja. Seharian ini, Nicholas habiskan untuk meminum minuman keras itu.
"Aku tidak membunuh Jenny!" Nicholas meracau tak jelas.
Lelaki itu tengah bersender manis di sofa. Kepalanya terasa berdenyut begitu hebat. Bayangan tubuh Jenny yang jatuh di jurang pun kian terputar dengan jelas.
"Jenny! Jangan jatuh!" teriak Nicholas yang langsung bangkit.
Bahkan, tangannya sudah terurur. Sialnya, dia hanya berhalusinasi. Mungkin juga pengaruh dari minuman itu. Nicholas kembali terduduk di sofa.
Matanya yang memerah pun berhasil menumpahkan air mata. Nicholas kembali meneguk anggur merah langsung dari botolnya. Karena terburu, sampai-sampai, sebagian anggur itu tumpah mengenai kaos oblongnya.
"Jenny. Di mana kamu? Aku ... aku tidak mau dipenjara. Jenny sialan!" racau lelaki itu dengan meletakkan botol anggur itu di meja.
Nicholas memang akan mabuk-mabukkan seperti ini bila sedang kalut. Lelaki arrogant ini bila sudah terpuruk akan terlihat sangat rapuh.
"Argh!" Dia berteriak dan mencengkram erat kepalanya.
Bersamaan dengan itu, apartemen lelaki itu berbunyi. Nicholas dengan pandangan kosong pun sontak menoleh ke arah pintu. Mengabaikan rasa sakit yang menyerang kepalanya.
"Jenny? I—itu Jenny?"
Dengan langkah sempoyongan, Nicholas berusaha untuk mencapai pintu. Walau berkali-kali dia terjatuh, tapi dia bisa mencapai dan langsung membukanya.
"Jenny itu kau? Jen ...,"
Nicholas pun berdiri terpaku walau masih sempoyongan, kala menyaksikan siapa yang tengah bertamu.