Chereads / Jodoh Arrogant / Chapter 6 - Kembalinya Jenny Arletta

Chapter 6 - Kembalinya Jenny Arletta

Seorang wanita paruh baya memasuki apartemen Nicholas. Wanita yang tak lain adalah Karina Jackliem. Dia langsung saja menatap terkejut pada anaknya yang barusan membuka pintu.

"Boy, ada apa denganmu?" Karina langsung menyentuh wajah Nicholas yang begitu memprihatinkan.

"Mom sudah pasti tahu jawabannya." Nicholas menepis pelan tangan ibunya.

Sekarang, lelaki itu beralih pergi dari hadapan Karina. Memilih untuk duduk dan membuat Karina bernapas lelah.

"Ini ulah Dad?"

"Ck, jangan bahas pria itu, Mom!" sentak Nicholas dengan malas.

"Sebenci apapun, tapi kamu harus ingat, Nic! Dia adalah suami Mom dan juga ayah kandungmu!"

Karina yang tak suka dengan pembahasan ini pun memilih untuk mengambil kotak P3K di kamar Nicholas. Meninggalkan anak semata wayangnya yang masih setia duduk di sofa. Tak butuh waktu lama, Karina kembali dengan membawa kotak putih itu. Dia pun langsung duduk di samping putranya.

"Buat apa, Mom?" heran Nicholas dengan menatap horor kotak P3K tersebut.

Karina pun tersenyum getir kala mendengar pertanyaan bodoh dari Nicholas. "Mom hanya ingin mengobati luka ini. Walaupun, mungkin sebentar lagi akan ada luka baru di wajahmu." Karina pun mulai membasahi kapas dengan alkohol.

"Apa yang sedang Mom bicarakan?" Nicholas menghentikan tangan Karina. 

"Hari ini, kamu harus menemui Anna, ibu Jenny!" 

Bom!

Bagaikan tersambar petir di siang bolong, yakin saja, sekarang ini Nicholas terlihat pucat pasi. Dia mengaku salah. Namun, bila harus menemui orang tua Jenny, Nic akui, dia belum sanggup.

"Bukannya ...,"

"Mom tahu, kemarin Dad menyuruhmu dua hari lagi untuk bersiap menemui orang tua Jenny. Sayangnya, Anna sudah ada di Indonesia. Jadi ... kita tidak perlu menyusulnya ke luar negeri." Karina pun dengan sabar menjelaskan semua pada Nicholas.

"Mom?"

Karina menggeleng pelan. Dia tak mau tahu pembelaan apa yang akan Nicholas berikan lagi. Sekarang, Karina hanya fokus kembali untuk mengobati luka lebam di wajah Nicholas.

"Semua akan baik-baik saja. Asal kamu mau bertanggung jawab akan kesalahan yang sudah kau buat!" 

Alhasil, Nicholas hanya bisa mengangguk lemah. Sudah tak ada pilihan lain, selain menemui orang tua Jenny. Hari itu juga.

***

"Bagaimana keadaanmu, sayang? Maafkan Mom yang baru bisa kembali!" 

Seorang wanita tengah mengusap dengan sayang kepala gadis yang kini terbaring lemah di ranjang. Gadis yang sedari tadi memejamkan mata itu langsung saja membuka mata.

"M—Mom? Mom kembali?" 

Gadis yang tak lain adalah  Jenny Arletta pun kini langsung menangis sesenggukan. Berusaha menggapai tubuh wanita cantik, walau sudah berumur itu.

"Iya, sayang. Ini Mom!"

Mereka berdua pun saling berpelukan. Seolah menyalurkan rasa rindu di antara keduanya. 

Anna Arletta, wanita cantik yang juga seorang single parent. Dia adalah ibu dari Jenny Arletta. Anna, yang kerap kali sibuk dengan bisnisnya yang ada di luar negeri pun semakin susah untuk menemui anaknya.

Wanita itu juga sudah menetap di Inggris. Sementara Jenny masih tinggal di Indonesia di sebuah apartemen mewah di Jakarta. Maka dari itu, keduanya jarang sekali bertemu.

Bahkan, setelah mendapat kabar kecelakaan yang dialami Jenny, Anna tak bisa langsung pulang. Lantaran masih terkendala dengan pekerjaannya. Dia baru bisa pulang setelah Karina mengabarinya bila Jenny sudah siuman.

"Tubuh Jenny sakit!" keluh Jenny yang kini beralih memandang manik mata Anna dengan sendu.

"Sayang. Mom di sini akan menjadi obat untuk anak Mom yang cantik ini!" Anna mencoba menghibur Jenny.

"Tapi ... hati Jenny juga sakit, Mom!" 

"Maaf! Mom sudah gagal menjadi orang tua!" Anna merasa bersalah saja.

Jenny menggeleng keras. Baginya, Anna adalah sosok ibu yang amat luar biasa. Mungkin, perihal waktu saja yang sudah membentangkan jarak antara keduanya.

"Jangan mengatakan hal itu lagi! Aku benci!" ucap Jenny di tengah aktivitasnya yang ingin bersandar duduk.

"Jangan dipaksakan! Istirahatlah sayang!" 

"Tapi, Mom!"

Anna menatap tajam pada Jenny yang masih saja keras kepala. Alhasil, membuat gadis itu memilih menuruti kemauan sang ibu.

Jenny masih saja setia memandang wajah wanita yang sudah melahirkannya itu. Air mata tak pernah bisa berhenti jatuh, walau hanya sedetik saja. Gadis itu terlalu merasa sesal yang amat mendalam.

Bila tahu begini, mungkin dia tak akan memilih opsi menjatuhkan diri di jurang. Sungguh, cinta sudah membuat Jenny gila. Hingga ... tak memikirkan orang-orang yang sangat dia sayangi, seperti sang ibu. Jenny sudah membuat wanita itu menangis karena keadaannya.

"Anna!" panggil seseorang yang sontak membuat Anna dan Jenny mengusap air mata masing-masing.

"Iya!" jawabnya, diiringi dengan tersenyum simpul.

Thomas, orang yang kini berada di depan pintu pun bernapas gusar. Dia memandang anak dan ibu itu dengan prihatin.

"Keluar sebentar. Karina dan Nicholas sudah datang."

Deg!

Jantung Jenny sudah berdetak tak karuan. Antara sakit hati dan rasa rindu, dua-duanya kini tengah berpadu mengisi ulu hati. Jenny pun memejamkan mata untuk sekedar menenangkan diri.

Di lain sisi, Anna sudah mengepalkan tangan kuat-kuat. Dia marah pada Nicholas, tentu saja. Anna langsung bergegas pergi, hingga bunyi heels yang ia kenakan terdengar nyaring, bersahutan dengan lantai.

Anna membanting pintu kamar dari luar. Hingga, mengagetkan Karina dan Nicholas yang baru saja ingin memasuki kamar.

"Dasar lelaki brengsek!"

Plak!

Tamparan yang begitu keras tengah dirasakan oleh Nicholas. Hingga, membuat lelaki itu merasa panas dan kebas. Karina dan Thomas pun tak bisa melakukan apa-apa.

Wajar, bila Anna semarah ini pada Nicholas. Katakan! Orang tua mana yang tak semurka itu pada orang yang membuat anaknya celaka? 

"Saya memberimu kepercayaan untuk membahagiakan Jenny, putriku. Bukan kamu sakiti seperti ini, bodoh!"

Anna menarik kerah kemeja Nicholas. Bahkan, di setiap kalimat yang Anna ucapkan, diiringi dengan linangan air mata. Sungguh, Nicholas merasa sangat berdosa.

"Maaf ...,"

Plak!

Sekali lagi, Anna menampar Nicholas. Membuat sudut bibir lelaki itu kembali robek dan mengeluarkan darah.

"Saya tak butuh maaf darimu! Kamu terlalu pengecut. Anakku hampir merenggang nyawa karenamu! Puas kamu?"

"Aunty, Nic mohon, beri Nic kesempatan. Nic akan bawa Jenny kembali!" Nicholas langsung bersujud di kaki Anna. Sebenarnya, jauh dari lubuk hati lelaki itu, dia tak sudi bersujud seperti ini.

Karina yang tak tega melihat itu, ia langsung menghampiri keduanya. Dia pun merangkul Anna dari samping.

"Maafkan putraku, An!"

Seolah tersadar, Anna langsung menoleh ke samping. Di mana, ada Karina yang sudah menangis sesenggukan.

"Aku ... aku terlalu emosi!" sesal Anna. "Bangunlah!" pinta Anna pada Nicholas.

Nicholas pun bangkin dengan menatap nanar pada Anna. Anna masih marah dan langsung membuang pandangan ke sembarang arah.

"Masuklah ke kamar!" tutur Anna dengan dingin.

"Apa?" Nicholas pun keheranan dengan apa yang diperintah oleh Anna.

Karina pun memberi isyarat pada Nicholas dengan dagunya dengan menunjuk kamar yang tadi Anna masuki. Walau bingung, tapi Nicholas menurut saja. Sebelum memasuki kamar, dia menatap sekilas pada Thomas yang sedari tadi berdiam diri.

Nicholas membuka pintu dengan perasaan berkecamuk. Setelah memasuki kamar tersebut, dia kembali menutup pintu.

"Entahlah, kenapa aku disuruh—" Nicholas menjeda ucapannya saat melihat Jenny yang berbaring di ranjang.

"Jenny?"

Nicholas langsung berlari ke arah ranjang. Dia memeluk erat tubuh lemah dan masih setia menutup mata itu. Kini, Nicholas benar-benar menangis pilu di pundak Jenny.

"Kamu masih hidup? Aku mencarimu sampai rasanya akan gila!" monolog Nicholas yang entahlah, merasa senang atau bagaimana.

Sadar, dia sedang memeluk siapa. Akhirnya, Nicholas menjauhkan diri dari tubuh Jenny.

"Benar kamu masih hidup, hah? Kenapa kamu ada di sini? Argh!" Nicholas mengacak rambut dengan frustasi.

"Entahlah, aku ini kenapa. Di sisi lain senang, tapi juga merasa bahwa ini amat buruk." 

Nicholas memilih duduk di ranjang, tepat di samping tubuh Jenny. Lelaki itu mengamati wajah damai Jenny yang terdapat goresan di sebagian sisi.

"Kamu baik-baik saja? Kenapa tidak mati saja?"

Tangan Nicholas terulur mengusap wajah Jenny. Alangkah terkejutnya ia, saat tangan itu digenggam erat oleh Jenny. Bahkan, mata Jenny masih setia terpejam.

"K—kamu sudah sadar?" Nicholas berusaha berontak melepaskan jemarinya. Sayangnya, genggaman Jenny terlalu kuat.

"Tolong, sekali saja!" ucap Jenny yang sukses membuat hati Nicholas berdesir hebat.

Nicholas masih setia melihat wajah Jenny. Terlebih, mata Jenny yang mengeluarkan cairan bening. Perlahan, tapi pasti, Jenny pun membuka mata.

Pandangan mereka bertemu. Saling mengunci satu sama lain. Seolah merasa dejavu, mereka disatukan oleh waktu.

"Apa kabar, sayang?" sapa Jenny dengan lembut.

Gadis itu dengan berani, mengusap rahang tegas Nicholas yang kini ditumbuhi oleh bulu-bulu halus. Jenny kembali berkaca-kaca. Dia tak menyangka, bisa sedekat ini dengan Nicholas. Sementara itu, Nicholas masih setia tak bersuara dan tenggelam dengan suasana syahdu itu.

"Sudah berapa hari kamu tak mencukurnya? Hey, wajahmu juga babak belur!" Khawatir Jenny yang masih setia mengusap rahang Nicholas.

Nicholas pun kembali tersadar. Sontak saja, dia langsung menghempaskan tangan Jenny.

"Akh, sakit!" ringis Jenny yang merasa tulangnya kembali remuk saat lengannya dihempaskan oleh Nicholas.

"Mana yang sakit?" Nicholas yang kaget dengan ringisan Jenny, langsung sigap mendekat lagi.

Mendengar Nicholas begitu khawatir, sudah pasti membuat  Jenny tersenyum penuh haru. Dia mengabaikan rasa sakit yang menyerang raga. Moment seperti ini sangat langka.

"Hatiku yang sakit!" Jenny kembali meraih lengan Nicholas.

"Cih!" geram Nicholas yang langsung menarik tangannya.

Jenny merasa kehilangan. Namun, dia tetap tersenyum. Sebenarnya, dia amat marah pada lelaki itu. Namun, percaya atau tidak, rasa rindu telah mengalahkan semuanya.

"Seharusnya kamu mati saja!" desis Nicholas tak suka.

"Dan kamu ... dipenjara? Begitu?" kekeh Jenny yang sontak membuat Nicholas bungkam.

"Sudah sakit, masih saja cerewet!" sindir Nicholas setelah terjadi keheningan beberapa detik.

"Terima kasih, atas ucapan pedasmu. Jujur, aku sangat merindukan kata-kata pedasmu, sayang!"

Saat Nicholas hendak menjawab, terdengar suara pintu yang dibuka. Nicholas pun menoleh ke arah pintu.

"Nicholas Jackliem. Kamu mau mendengar sebuah cerita?"