Chereads / Jodoh Arrogant / Chapter 8 - Penawaran

Chapter 8 - Penawaran

Nicholas masih saja mencekik leher Jenny. Hingga, mengakibatkan gadis itu kekurangan pasokan oksigen. Sesak dan menyakitkan.

"Mati saja kamu!"

"Aku benci pada wanita rendahan yang tak punya harga diri sepertimu!"

Detik itu juga, air mata kembali menghiasi wajah Jenny. Semenjijikkan itu dia di mata Nicholas? Sungguh, rasanya Jenny sudah gagal menjadi seorang wanita.

"Tidak! Kamu tidak boleh mati terlalu cepat! Walau nyatanya itu keinginanku." Tiba-tiba, Nicholas melepaskan cekikan itu dari leher Jenny.

Napas Jenny tersengal. Dia mengambil peruntungan dengan menghirup banyak pasokan oksigen di udara. 

Tiba-tiba saja, Jenny dikejutkan oleh perlakuan Nicholas. Lelaki itu menyodorkan segelas air putih pada Jenny. Bukannya menerima, justru Jenny menatap horor ke arah lelaki itu. Jenny masih saja sesenggukan.

"Minum!" Jenny sontak menggeleng, menolak keras perintah Nicholas.

"Cepat minum!" perintahnya sekali lagi.

Naasnya, Jenny tetap pada pendiriannya. Hanya menggeleng. Dia takut, bila sewaktu-waktu air putih itu dicampur dengan racun. Tahu sendiri, 'kan, otak picik Nicholas.

"Bisu?" Jenny tetap diam. Sebenarnya amat sesak dikatai bisu oleh Nicholas. 

Byur ....

Jenny tersentak kaget. Nicholas menyiramnya dengan segelas air putih itu. Bibir gadis itu bergetar. Ingin berteriak, meraung pilu dan memaki Nicholas sekarang juga. Namun, dia tetap diam.

"Dibaikin malah ngelunjak! Dasar gadis stres, gila dan murahan!" maki Nicholas yang langsung pergi meninggalkan Jenny seorang diri.

Pintu ditutup dengan keras. Lebih tepatnya dibanting. Jenny menatap nanar ke arah pintu. Setelahnya, menangis kencang dan berteman dengan rasa sesak yang kian menjadi.

"Jatuh cinta itu sakit!" sedih Jenny yang seperti kehabisan cara untuk menyikapi rasa sakit itu. "Tapi ... bodohnya aku, tetap saja ingin berjuang. Nic benar, aku memang stres!"

Sejauh apa ingin berdamai dengan sikap Nicholas, tetap saja takdir punya kenyataan. Jenny sama sekali tak membenci Nicholas, melainkan rasa cinta itu semakin besar. Walau, dia juga tahu, bila resiko rasa sakit juga amat besar menghampiri. 

Hujat saja dan anggap Jenny aneh. Namun, isi hati setiap orang itu berbeda. Hanya Tuhan, Maha membolak-balikkan kondisi hati setiap manusia. Yang perlu kita lakukan adalah berusaha tetap tegar untuk menjalani.

***

Hari demi hari, sudah Jenny lalui. Keadaannya sudah lumayan membaik. Hanya saja, untuk berjalan, dia masih kesusahan. Alhasil, kursi roda yang digunakan untuk sandaran sehari-hari.

Bicara soal Nicholas. Lelaki itu belum lagi menampakkan batang hidungnya setelah terakhir kali dia memaki Jenny di hari pertemuan awal mereka saat itu. Anggap saja Nicholas brengsek dan memang kenyataannya dia adalah pria brengsek yang sialnya dicintai oleh Jenny.

"Aku bosan!" Sudah terhitung lima kali, Jenny mengucap dua kata itu.

Kini, gadis itu tengah berada di gazebo yang terletak di belakang rumah Karina. Semenjak Anna memutuskan kembali ke luar negeri, karena urusan pekerjaan. Karina setuju-setuju saja, bila harus merawat Jenny.

Awalnya Jenny menolak keras kepergian Anna. Namun, Anna meyakinkan Jenny, bahwa ini risiko wanita single parent. Harus terjun langsung atas bisnis yang dia geluti. Yaitu perihal bisnis yang bergerak dalam bidang fashion. Bisnis peninggalan mendiang suaminya.

"Murahan!" Satu kata itu, sukses membuyarkan lamunan Jenny.

Jantung Jenny berdegup dengan kencang. Dia tahu betul itu suara siapa. Tentu saja Nicholas.

"Nic ...." panggil Jenny setelah Nicholas berdiri gagah di depannya.

"Kamu kembali?" Ada rasa kerinduan yang terpancar di mata Jenny.

Nicholas hanya menaikkan sebelah alisnya. Berdecak beberapa kali saat melihat kondisi Jenny dari atas hingga bawah.

"Persis gembel. Cacat pula!" celutuk Nicholas yang membuat Jenny melotot tajam.

"Aku tidak cacat!"

"Oh, ya? Lalu, lumpuh? Ah, benar!" Nicholas semakin brutal mengatai Jenny.

Jenny mengusap dada dengan sabar. Ingin menangis dan tak terima detik itu juga, tapi tidak mau dianggap lemah oleh Nicholas.

Jenny menghembuskan napas gusar. Lebih memilih memandangi deretan bunga mawar di sekitar gazebo. Nicholas yang diabaikan, justru gencar ingin bersikap usil.

"Kamu tahu?" Nicholas sengaja menggantungkan ucapannya.

Mau tak mau, Jenny mendongak. Menatap manik mata Nicholas dengan lekat. Pandangan mereka saling beradu. Tak disangka pula, tangan Nicholas terulur untuk menyisihkan helaian rambut Jenny di belakang telinga.

Jenny terpaku untuk beberapa saat. Detak jantungnya mungkin sudah tak normal lagi. Berdetak dua kali lipat dan mungkin saja dapat didengar oleh Nicholas.

"Jenny ...." wajahnya semakin menunduk dan mendekat.

Jenny sudah keringat dingin. Wajahnya merah padam. Sedekat itu dengan Nicholas, membuat jantungnya tak sehat. Perlahan, dia menutup mata, kala Nicholas semakin dekat.

Namun, ekspestasi memang tak semanis kenyataan. Jenny berharap, di tempat indah tersebut, ada moment langka yang akan terjadi pada dirinya dan Nicholas. Seperti merelakan first kiss untuk tunangannya misalnya. 

Padahal saja, Nicholas tengah membisikkan sesuatu. Sontak saja Jenny menegang hebat. Nicholas tersenyum miring setelah kembali menjauhkan diri dari Jenny.

"Ck, bodoh! Ingin sekali dicium, Nyonya Jenny?" sindir Nicholas yang sialnya membuat Jenny merona, malu. "Najis!" Kelanjutan yang amat menohok untuk Jenny.

"Diam, Nic!" sarkas Jenny.

"Jadi bagaimana dengan tawaranku barusan?" tanya Nicholas dengan menaik turunkan alis.

Bukannya menjawab, justru Jenny menggerakkan kursi roda. Menjauh dari Nicholas. Setidaknya dia ingin menenangkan diri terlebih dahulu.

"Cepat berjalan, atau tawaranku hilang begitu saja, karena kau kelamaan lumpuh!" ucap Nicholas dengan tegas yang masih bisa Jenny dengar.

"Aku pasti, akh ...."

Jenny terjungkal dari kursi roda kala Nicholas dengan santainya mengangkat bagian belakang kursi roda. Alhasil, tubuh Jenny mendarat mulus di tanah. 

"Nic!" teriak Jenny histeris. Ingin sekali menguliti Nicholas sekarang juga.

"Sakit, Nic. Tega kamu! Sialan!" kesal Jenny yang sudah mengeluarkan air mata.

Nicholas hanya bersikap biasa saja. Tak ada rasa bersalah sama sekali. Justru dia bahagia melihat Jenny menderita.

"Akh!" desis Jenny sembari memegang hidung. Rasanya ada yang mengalir dan benar saja, akibat ulah Nicholas, Jenny mimisan.

"Lemah! Bagaimana bisa menerima tawaranku?" sinis Nicholas yang malah menjauhkan kursi roda.

Dengan santai pula, dia meninggalkan Jenny yang kian histeris. Berbagai umpatan sudah Jenny lontarkan. Dia kesal, sedih, semua bercampur menjadi satu.

"Sakit sekali!" rengek Jenny yang merasakan tubuhnya amat remuk.

Padahal saja, seharusnya ini masa pemulihan. Justru, Nicholas dengan tega melakukan hal gila ini. Sialan.

"Nic, sebrengseknya kamu, ini bukan waktunya! Aku ingin cepat sembuh dan menerima tawaranmu barusan," isak Jenny yang kini berusaha meraih kursi roda.

Jenny semakin merasa kesal. Tangisan kian menjadi. Seluruh tubuhnya sakit, tapi sekedar menggapai kursi roda saja, tidak sampai.

"Dosa apa yang aku miliki!" rengek Jenny yang kini menyerah.

Gadis itu justru menelungkupkan diri di tanah. Menangis sejadi-jadinya. Merasa sesal, kesal dan penuh sesak.

"Sakit!" beberapa kali dia merintih. Mengabaikan pula hidungnya yang mimisan.

"Dasar lemah!" Dua kata itu, bersamaan dengan tubuh Jenny yang melayang di udara.

"Nic!"

Jenny langsung memeluk erat tubuh Nicholas dalam gendongan itu. Dia bahagia ditengah rasa sakit itu. Setidaknya Nicholas masih peduli.

Jenny tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia meraih tengkuk Nicholas dan menyatukan bibir mereka. Nicholas yang kaget, refleks menjatuhkan tubuh Jenny.

"Jalang sialan!" maki Nicholas.