Chereads / Jodoh Arrogant / Chapter 7 - Titik Terang

Chapter 7 - Titik Terang

Nicholas terpaku dan memusatkan perhatian pada Karina. Kini, Karina tengah bersedekap dada dan memandang putranya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Mom ... ini kenapa?" 

Karina tersenyum miring. Dia tak pernah bisa membenci anaknya. Walau sikap anaknya itu terlalu brengsek. Namun, sekali saja, Karina ingin memberi pelajaran berharga bagi Nicholas.

"Ck, anakku ini ternyata tak sepintar itu!" Karina menghembuskan napas dengan gusar.

Di lain sisi, Nicholas begitu kebingungan. Ia tak tahu perihal apa yang tengah dibicarakan oleh ibunya.

"Mom. To the point!" geram Nicholas, tapi berusaha ia tahan, agar tak emosi saat itu juga.

"Sayang, bagaimana kabarmu?" tanya Karina pada Jenny.

Seolah tak menggubris anaknya, Karina pun berjalan melewati Nicholas begitu saja. Memilih duduk di samping tubuh Jenny yang masih terbaring.

"Aku baik, Mom." Jenny pun tersenyum simpul.

Nicholas pun memejamkan mata sejenak. Berusaha mengontrol emosi yang kian memuncak. Inilah ... yang Nicholas benci bila berhadapan dengan wanita. Terlalu bertele-tele.

"Nic!" panggil Jenny yang sontak membuat lelaki itu menoleh. 

Jenny pun melihat Nicholas dengan tatapan sendu. Sementara Karina hanya mampu bernapas gusar, kala dilibatkan dengan kisah cinta yang tak beruntung itu.

"Saat aku jatuh ...," air mata Jenny mulai mengalir dengan perlahan. "Dalam pikiranku hanya ada kamu. Bahkan, aku sampai lupa, bila masih ada Mom yang membutuhkan diriku. Bodoh memang!" Jenny merasakan kesedihan dan penyesalan yang amat mendalam.

Penyesalan selalu saja datang di akhir. Bila di awal, sudah pasti namanya permulaan.

Nicholas pun sebenarnya muak dengan air mata Jenny. Baginya, sekarang ini, Jenny hanya melakukan drama saja. Terlalu basi untuk seorang Nicholas.

"Tubuhku terhempas dalam jurang. Berguling tak tentu arah. Saat itu juga, aku sadar bila dalam fase titik terendah. Di mana, fisik dan hatiku sama-sama sakit ...,"

"Sudah, Jenny! Biar Mom yang menjelaskan pada anak sialan ini!" potong Karina dengan mengusap sayang air mata Jenny.

Jenny pun mengangguk dan langsung mengecup sekilas punggung tangan Karina. Dia amat beruntung memiliki calon ibu mertua yang begitu menyayanginya. Walau, keberuntungan itu sifatnya masih semu. Dia belum bisa mengambil hati Nicholas, tunangannya sendiri.

"Kamu ingin tahu, kenapa bisa Jenny ada di sini?" tanya Karina yang kini sudah bangkit.

"Katakan!" sarkas Nicholas dengan suara dingin.

Karina pun mengangguk dan mulai menceritakan semuanya pada anaknya. 

Saat itu, Karina benar-benar kalut setelah mendapat kabar dari Nicholas. Bahkan, sekedar menggenggam ponsel saja, tangannya sudah bergetar hebat.

"Aku harus lakukan sesuatu. Persetan dengan infus sialan ini!"

Karina pun mencabut dengan paksa infus yang masih menancap di tangannya. Darah segar pun langsung keluar bersamaan dengan tarikan yang amat kuat di tangannya. Karina merasa amat menyesal, karena telah melakukan sandiwara ini demi mempersatukan Jenny dan Nicholas.

"Akh ...," pekik Karina menahan perih.

Namun, dia tak peduli dengan semua itu. Sekarang, dia bergegas untuk menelepon para tangan kanannya yang selalu siaga untuk diandalkan.

"Halo ... kerahkan semua anak buahmu. Cari calon menantuku yang terjatuh di jurang. Akan aku kirim alamatnya," pinta Karina dengan suara yang bergetar.

Belum juga mendapat balasan, tapi wanita itu sudah memutuskan sambungan. Karina melihat pesan yang baru saja Nicholas kirim. Dia pun meneruskan pesan yang berisi alamat itu berada pada tangan kanannya.

"Sayang, bertahanlah!" pinta Karina yang sudah meneteskan air mata.

Tiba-tiba saja, dia teringat akan sikap Nicholas terhadap Jenny. Karina menduga, bila dalang dibalik jatuhnya Jenny adalah putranya. Maka dari itu, buru-buru Karina menelepon kembali orang kepercayaannya.

"Kalian harus menemukan Jenny, apapun caranya! Satu lagi ... bersandiwara saja pada anakku. Anggap kalian tak pernah menemukan calon menantuku itu."

Setelah memutuskan sambungan, Karina pun memejamkan mata. Kepalanya benar-benar berdenyut, tanpa harus sandiwara lagi. 

Di lain tempat, Tak butuh waktu lama, orang suruhan Karina yang berjumlah lima orang pun menghampiri Nicholas. Nicholas yang kalut, langsung saja menyuruh mereka untuk terjun ke jurang.

"Di sini, tempat dia jatuh. Ayo, cepat!  Telusuri dan bawa gadis itu padaku!" bentak Nicholas yang langsung diangguki oleh mereka.

Dengan langkah yang begitu lincah dan penuh perhitungan, kelima orang tersebut menelusuri Jurang yang lumayan curam itu. Meninggalkan Nicholas yang sudah tak terlihat di atas sana.

"Aku menemukan jejaknya!" ucap salah satu dari mereka. Sontak saja, membuat yang lainnya menghampiri orang tersebut.

"Baju Nona Jenny robek, dan ini ada bekas beliau saat terguling!"

"Baiklah, kita telusuri!" 

Mereka pun kembali menelusuri semak belukar. Sudah mereka pastikan, bila nanti keadaan Jenny tidak akan baik-baik saja. Mengingat, jurang ini amat curam.

"Itu dia!" Seseorang pun telah melihat ke arah Jenny yang sudah berbaring tak berdaya di dasar jurang.

"Kalian bertiga, naik ke atas. Alihkan perhatian Tuan Nicholas, agar pergi dari tempat ini. Sementara Nona Jenny, biar kami berdua yang mengurus," perintah atasan mereka.

"Siap!"

Pencarian yang menguras waktu dua jam itu, membuat Nicholas harus menelan pil pahit. Mereka semua benar-benar membohongi Nicholas, karena perintah dari Karina.

"Maaf, Tuan Muda! Nyonya Jenny tidak kami temukan. Mungkin saja, dia terbawa arus sungai yang berada di dasar jurang."

Nicholas menggeleng pelan. Dia terlalu kalut. Bagaimana nanti menjelaskan pada Karina? Bahkan, orang tua Jenny, yang sampai detik itu masih tinggal di luar negeri.

"Sebaiknya Tuan pulang dan beristirahat saja! Kami akan melakukan pencarian lagi besok!"

Nicholas mengangguk lemah. Dia pun langsung pergi dari tempat itu dengan langkah gontai. Sementara orang suruhan Karina saling melemparkan senyuman dan mengacungkan jempol.

Setelah menceritakan kejadian sesungguhnya, Karina berjalan menghampiri Nicholas. Namun, Nicholas semakin marah saat mengetahui kebenaran atas kebohongan Karina.

"Mom!" Nicholas menggertakkan gigi.

Tangannya sudah terkepal kuat. Dia tak terima dibohongi seperti ini. Terlebih, hilangnya Jenny membuat hidup Nicholas begitu berantakan.

"Kenapa Mom bohong, hah?"

Plak!

Karina menampar anaknya dengan kuat. Sampai-sampai, lelaki itu menoleh ke samping akibat tamparan sang ibu.

"Ini belum seberapa, Nic! Anak brengsek sepertimu seharusnya beruntung dicintai oleh Jenny." Karina pun tak bisa lagi menahan emosi yang selama ini tersimpan di hati.

"Mom, sudah!" peringat Jenny dengan suara lirih.

Nicholas pun menoleh pada Jenny. Menatap gadis itu dengan aura kebencian yang amat mendalam.

"Diam kamu, jalang!"

"Nic!" bentak Karina yang ingin melayangkan tamparan.

Namun, tangan Karina menggantung di udara kala melihat tatapan sengit dari anaknya. Napas Nicholas pun semakin memburu bersamaan dengan kemarahan yang begitu besar.

"Tampar, Mom! Tampar saja!" teriak Nicholas menggema di sepenjuru ruangan.

"Mom, Nic ...," lirih Jenny yang tak sanggup melihat semua itu. Bahkan, gadis itu berusaha untuk mendudukkan diri dengan kondisi yang belum memungkinkan.

"Kenapa berhenti, Mom? Tampar!" Bahkan, Nicholas pun sampai menunjuk ke arah pipinya sendiri. Mempersilahkan Karina untuk kembali menamparnya.

"Aku bilang sudah! Tolong ... hentikan semua in!" teriak Jenny yang mulai frustasi oleh keadaan, tapi tetap saja tak digubris oleh Nicholas.

"Tampar sana anak brengsekmu ini, Mom. Biar kalian semua puas!"

Bibir Karina bergetar hebat. Bersamaan dengan turunnya air mata yang begitu deras membasahi pipi. Tangan yang masih menggantung di udara itu dia kepalkan. Lalu, turun bersamaan dengan suara isakan yang semakin kuat.

"Aku sudah bilang, bila aku benci air mata itu, Mom! Cukup pria brengsek itu yang membuatmu menangis, jangan wanita jalang itu!" bentak Nicholas kesetanan.

Nicholas pun beralih mengambil vas bunga yang ada di nakas. Lalu, menghempaskan dengan kasar di lantai.

Prang!

Tangisan Karina semakin menjadi, bersamaan dengan bunyi nyaring yang dihasilkan oleh vas tersebut. Karina yang tak kuat dengan semua ini, lantas memilih pergi dari kamar itu.

Sementara Jenny pun juga terisak pilu. Sedari tadi, dia berusaha untuk bangkit, sialnya gagal.

"Ini semua gara-gara kamu, sialan!"

Nicholas menghampiri Jenny dengan sejuta amarah. Sontak saja membuat Jenny berhenti terisak. Hatinya semakin sakit, saat melihat sorot mata Nicholas yang menyiratkan begitu banyak kebencian.

"Seharusnya dari awal kamu mati!" teriak Nicholas tepat di hadapan Jenny.

Jenny berubah murka setelah mendengar ucapan kurang ajar dari Nicholas. Lelaki itu benar-benar tak pernah menghargai sebuah perjuangan.

"Lalu, kalau aku mati, kau siap mendekam di penjara?" sarkas Jenny yang kini menaikkan intonasi beberapa oktaf.

"Aku masih punya uang untuk membebaskan diri!" Nicholas pun tersenyum miring dan mensejajarkan wajahnya pada wajah Jenny.

Bahkan, mata lelaki itu masih saja memancarkan aura kebencian yang amat dominant. Jenny pun balas menatap sinis pada Nicholas. Dia meraih kerah kemeja tunangannya. Mengabaikan rasa sakit yang ada di tangannya.

"Dengar, Tuan Nicholas yang terhormat! Uang mungkin bisa menyelamatkan ragamu. Tapi, tidak dengan jiwa yang nantinya akan dihantui oleh rasa bersalah yang amat mendalam." Jenny pun menekan setiap kalimat yang dia ucapkan.

"Dasar jalang!"

"Kamu brengsek! Lalu, apa bedanya kita ini, hah?" sarkas Jenny yang tak mau kalah.

Sontak, ini membuat Nicholas kembali emosi. Dia pun menghempaskan tangan Jenny dan menguncinya di atas kepala gadis itu.

"Akh, sakit, Nic!" 

"Apa peduliku?" sinis Nicholas. "Kamu harus benar-benar mati! Aku muak dengan semua drama ini!" Dengan kurang ajarnya, Nicholas pun beralih mencekik leher Jenny dengan kuat. Jenny sendiri tak berdaya dan tak bisa berontak.

"To—tolong!"