Seseorang langsung meninju rahang Nicholas. Mengakibatkan lelaki itu langsung terhuyung, lantaran tak ada persiapan.
"Anak kurang ajar!"
Teriakan menggema yang bersahutan dengan suara pukulan yang dilakukan oleh Thomas Jackliem pada Nicholas. Lelaki paruh baya itu terlalu murka pada anak laki-lakinya.
Awalnya, Thomas masih menghandle pekerjaan di New York. Namun, Karina — istri dari Thomas Jackliem — segera menghubungi pria itu. Karina pun menjelaskan semua ulah yang diperbuat oleh Nicholas. Thomas yang langsung naik pitam, akhirnya memutuskan untuk segera pulang ke Tanah Air.
Bahkan, setelah turun dari bandara, pria paruh baya itu langsung menyambangi apartemen anaknya. Tak peduli dengan rasa lelah yang membebani tubuh. Ia lebih memilih untuk memberikan pelajaran pada Nicholas
"Ka—kamu bukan Jenny sialan itu ternyata," kekeh Nicholas dengan mengusap sudut bibirnya yang terluka.
"Padahal aku menunggu gadis itu. Gadis yang selalu membuatku pusing. Gilanya lagi, dia memilih terjun, daripada menandatangani kontrak yang aku ...,"
Bugh!
Lagi-lagi, Thomas kembali melayangkan bogeman pada Nicholas. Pria itu amat geram, kala melihat anaknya yang ternyata berada di bawah pengaruh alkohol.
"Bangun!" Suara bariton itu hanya mampu membuat Nicholas menggeliat kecil.
Lelaki muda itu sudah tak kuat menerima serangan yang bertubi-tubi. Tubuhnya sudah tumbang di lantai. Sialnya ... mulut Nicholas masih saja meracau tak jelas.
"Anak sialan!" desis Thomas menarik paksa lengan Nicholas.
Mau tak mau, Nicholas langsung bangkit, mengikuti alur tarikan tersebut. Lelaki itu mencengkram erat kerah kemeja sang ayah.
"Ternyata, kamu Pak tua yang menyebalkan itu. Cih!" Decihan itu terdengar sangat meremehkan di telinga Thomas.
"Tutup mulutmu, Nicholas! Sejak kapan keluarga Jackliem mengajarkanmu untuk meminum minuman sialan itu?" Thomas masih tak bergeming. Dia membiarkan Nicholas semakin melilit kerah lehernya.
"Sejak kapan kamu peduli padaku, Thomas Jackliem?"
"Ingat, Nic! Aku adalah Ayah—"
"Ayahku? Sejak kejadian itu, kamu bukan Ayahku lagi! Aku hanya memiliki Mom dalam hidupku!" sungut Nicholas dengan mata memerah.
Thomas pun memilih bungkam. Kerap kali anaknya menyinggung suatu kejadian, tapi dia sendiri tak tahu kejadian apa yang sebenarnya Nicholas maksudh. Sementara itu, Nicholas perlahan menjauh. Mundur beberapa langkah dan menatap tajam pada Thomas.
"Aku tidak sedang membicarakan hal yang kau maksud!"
"Lantas?" sergah Nicholas yang masih sempoyongan.
Thomas menghembuskan napas gusar. Pria paruh baya yang ketampanannya masih terjaga itu, lantas memandang sendu pada putranya.
"Dua hari lagi, kau harus ikut denganku menemui ibunya Jenny."
Setelah mengatakan hal tersebut , Thomas berbalik. Berniat pergi dari apartemen anaknya.
"Kalau aku tidak mau?" Pertanyaan Nicholas, sukses membuat langkah Thomas berhenti. "Ternyata, kau sudah mengetahui berita hilangnya gadis yang selalu menyusahkan itu. Siapa yang memberitahu dirimu? Mom?" lanjut Nicholas.
Pria itu menoleh sekilas pada anaknya. "Aku akan tetap memaksamu! Satu lagi, mau tidak mau. Suka tidak suka. Kau tetap akan menikahi Jenny. Aku harap dia segera ditemukan," ujarnya. Kemudian, berlalu begitu saja.
Setetes air mata membasahi wajah Nicholas. Lelaki yang beberapa hari ini terlihat kacau, kini semakin kacau saja. Luka lebam ada di mana-mana.
Pandangannya kosong. Seakan menerawang jauh tak tentu arah. Percayalah ... lelaki yang selama ini dianggap keras dan menakutkan, nyatanya memiliki sisi rapuh tersendiri. Walau begitu, Nicholas tetap menyimpan seorang diri kerapuhan itu.
"Mom, aku tak sebaik dirimu, yang masih bisa menerima Dad lagi!"
Nicholas menyenderkan tubuh di dinding. Tak butuh waktu lama, lelaki itu sontak menutup mata untuk tidur. Tak peduli dengan rasa sakit yang menyerang tubuhnya. Dia terlalu lelah.
***
Perlahan, tapi pasti. Kelopak mata seorang gadis, kini perlahan terbuka. Cahaya sekitar pun berlomba-lomba memasuki retina.
Seorang wanita paruh baya tengah tersenyum hangat. Naasnya ... dari senyuman itu, menghasilkan air mata yang tak henti-hentinya jatuh membasahi pipi. Wanita itu menangis, melihat gadis yang terbaring lemah di ranjang.
"A—air!"
Ucapan yang sangat lirih, dengan mata yang menyorot sendu. Wanita tadi pun terkesiap. Langsung saja mengambilkan segelas air dan membantu gadis tersebut untuk membasahi tenggorokannya.
"Hati-hati, sayang!" peringatnya, sembari menyeka tumpahan air yang mengenai baju gadis itu.
"Akh ...."
Beberapa kali, gadis tersebut mengaduh kesakitan. Tubuhnya masih sangat lemah. Bergerak sedikit saja sudah menimbulkan rasa sakit yang amat luar biasa.
"Jangan banyak bergerak dulu! Kondisimu belum cukup stabil."
"Aku di mana?" tanya gadis itu dengan menitikkan air mata.
Bukan karena apa dia menangis. Sebab, sekujur tubuhnya terlalu memberi respon rasa sakit yang begitu dahsyat. Rasanya, tulang-tulang yang ada di tubuh itu ingin terlepas saja.
"Tidak perlu dipikirkan, ini ada di mana. Yang penting, kamu harus sembuh, ya, sayang!"
Wanita itu beberapa kali mencoba untuk menghapus air mata. Sialnya, tetap saja tak ingin berhenti. Terlebih, saat melihat ringisan kesakitan dari gadis itu. Rasanya sangat tak tega.
"Ka—kau ini ...,"
"Ada apa? Apa kau butuh sesuatu? Biar Mom ambilkan!"
Gadis itu hanya menggeleng saja. Dia justru menarik lengan wanita itu, agar mendekat. Perlahan, tapi pasti, gadis itu mulai membisikkan sesuatu.
Tak lama kemudian, wanita paruh baya itu menjauh. Memandang sebentar pada tubuh lemah tersebut, sebelum pergi meninggalkannya.
Terdengar helaan napas beberapa kali di balik pintu. Dengan menyender di pintu kamar tadi, wanita tersebut langsung menelepon seseorang.
"Halo!"
"Aku hanya ingin mengatakan, dia sudah siuman! Besok atau lusa, kau sudah bisa menemuinya!"
Setelah mendengar jawaban yang tepat, ia langsung memutus sambungan telepon. Tersenyum simpul sembari menggenggam erat ponselnya dan meletakkan di dada.
***
Cahaya mentari pagi sontak mengganggu tidur Nicholas. Lelaki itu membuka mata lebar-lebar.
"Argh!"
Refleks, ia memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Sementara punggungnya terasa begitu sakit, lantaran tidur dengan posisi menyender di dinding.
"Sakit sekali. Apa yang terjadi padaku?" Nicholas tampak mengingat-ingat kejadian semalam.
Perlahan, sepintas bayangan Thomas menghajarnya pun kian menghampiri. Dia hanya ingat, saat dirinya dihajar dengan brutal. Hanya itu, bukan hal lain, atau bahkan apa saja yang sudah mereka bicarakan. Nicholas tak ingat.
"Sudahlah! Si menyebalkan itu kembali mengganggu hidupku. Lebih baik aku mandi, daripada memikirkannya!"
Nicholas bangkit dengan hati-hati. Dia bergegas pergi ke kamar mandi. Mungkin saja air pagi dapat menyegarkan kembali tubuhnya yang sudah kusut itu.
Nicholas memutuskan untuk berendam sejenak di dalam bathub. Setelah mengatur suhu air dan mengisinya, lelaki itu lekas masuk di dalamnya. Menyisakan celana boxer tanpa atasan lagi.
"Ah, segarnya!"
Kira-kira, tiga puluh menit lelaki itu berendam. Setelahnya, dia pun membilas tubuh di bawah guyuran shower yang hanya membutuhkan waktu sebentar saja.
Selesai melakukan ritual mandi sekaligus relaksasi, kini, Nicholas pun sudah siap dengan balutan kemeja dan celana dengan warna senada, navy.
"Baiklah, Nicholas. Kamu sudah tampan, saatnya kini mencari gadis sialan itu, agar Mom tak marah lagi."
Nicholas sudah membulatkan tekadnya. Dia harus segera menemukan Jenny. Entah dalam keadaan hidup, atau mati.
Harapan Nicholas adalah menemukan Jenny dalam keadaan yang sudah tak bernyawa. Namun, di sisi lain, dia juga takut bila harus berakhir di penjara.
"Argh ... apa aku harus ke tempat itu lagi? Sudahlah, aku akan menyewa detektif paling handal sedunia."
Tanpa ambil pusing lagi, lelaki itu keluar dari kamar dan sibuk menata letak alorji mahal di tangan kirinya.
"Nicholas!"
"Astaga ...." sungut Nicholas yang terkejut, saat mendapati seseorang yang sudah berada di sofa.
Dia kira tadi ada maling. Ternyata, itu adalah orang tersayang yang ada di hati.