Adrine kelimpungan dia hanya bisa mengirim pesan singkat untuk Ambar. Dirinya masih berdiri menghadap laut lepas. Bajunya masih basah namun sudah sedikit asat tanpa air menetes.
"Ferit, ayok kita pulang.." ajak Adrine sedikit merengek. Kegelisahan mulai menyelimuti dirinya.
Ferit mengangguk menyetujui Adrine, pakaian yang mereka kenakan sama basahnya. Ferit dan Adrine kembali ke lesehan sederhana milik salah satu warga untuk mengembalikkan sepeda motor yang telah Ferit pinjam.
Adrine menggigil kedinginan, angin masih terasa kencang di sekitar area lesehan dekat tempat parkir. Ferit medekati seorang lelaki setengah tua dan seorang wanita cantik yang tak lain adalah anak gadisnya.
Terlihat dari dalam warles atau warung lesehan,Adrine terus melipat kedua tangannya kedepan dia terus menggigil kedinginan. Mungkin efek terlalu banyak nyemplung air laut.
"Mas, kayaknya pacar mas kedinginan." ujar gadis pemilik lesehan tersebut. Tubuhnya bonsor sama tinggi dan besarnya dengan Adrine.
Ferit mendekati Adrine lalu menyelimutkan jaket ke punggung Adrine.
"Mas, sini deh.." gadis tanggung tersebut memanggil Ferit. Kemudian Ferit berlalu meninggalkan Adrine di luar warles. "Mas, saya punya pakaian lebih tepatnya dress tanpa lengan, kira-kira pacar mas mau nggak ya makenya. Itu satu setel si cuma ya ngga bagus-bagus amat kaya baju mas sama pacar mas. Ngga tega saya liatnya, kayaknya dia mau sakit deh mas!" ujar gadis itu.
"Sella," begitulah sang pemilik lesehan memanggil anak gadisnya.
"Njih pa'" jawab Sella kemudian berlalu meninggalkan Ferit yang sedang termangu memandang Adrine kedinginan.
Ferit menatap Adrine kasihan. Bibirnya pucat pasi bahkan tubuhnya masih menggigil di balik jaket Ferit.
Dari dalam, Sella sang anak gadis tersebut keluar dari balik pintu kamar mungkin tempat intuk istirahat sang pemilik warung ketika lelah melanda. Kamar tersebut hanya satu-satunya di warles tersebut karna itu hanya sebuah warung tempat makan dan bukan rumah mereka. Rumah mereka lumayan jauh dari lokasi wisata.
Sella mendekati Ferit kemudian dia mengeluarkan baju berwarna hijau penuh bunga yang terlipat rapi. "Mas, coba dibujuk ceweknya buat ganti siapa tau mau. Tapi ngapunten bajunya ndak bagus"
Ferit menerima baju tersebut, "terimakasih ya nduk" ujar Ferit merasa berhutang budi banyak.
"Ngga usah terimakasih toh juga kita sering dibantuin ibu mas." sahut Sella. Rupanya Ferit sudah saling kenal dengan pemilik lesehan namun Adrine tidak mengetahuinya.
"Adrine.." Ferit memanggil Adrine kemudian Adrine menoleh ke arah Ferit. "Masuklah.." Adrine memasuki warles tersebut dan mendekati Ferit.
"Pakai ini," sepasang pakaian tanpa lengan disodorkan ke tangan Adrine.
"Milik siapa ini?" tanya Adrine penasaran.
"Milik saya mbak" Sella sang gadis pemilik warung menyela pembicaraan antara Ferit dan Adrine. Adrine melongo, bagaimana orang baru dan tak dikenal meminjamkan pakaian untuknya sedangkan nama saja Adrine tidak tau. Mereka bahkan tidak saling berjabat tangan untuk saling memperkenalkan diri.
"Pakailah... kamu kedinginan," ujar Ferit merasa tak tega melihat Adrine menggigil.
Adrine menatap Ferit dan Sella, mereka membuat yakin akan dirinya untuk mengganti pakaiannya. Adrine menatap dress hijau yang penuh dengan motiv bunga tersebut. Keraguan dalam dirinya dilenyapkan oleh Ferit dan Sella.
"Pakai aja mbak" ujar Sella
Ferit memandang Adrine yang masih tengah ragu kemudian dia sodorkan dress tersebut dan menggangguk kecil.
"Baiklah" Adrine mengalah, kemudian Ferit meminta Adrine melepas jaket yang menutupi dirinya. Adrine melepasnya dan menyerahkan jaket tersebut pada Ferit.
Sella mengarahkan Adrine untuk memasuki ruangan lebih tepatnya kamar. Kamar sederhana hanya berisi kasur yang hanya cukup di pakai satu orang dan sebuah lemari kayu kecil dan pendek. "Mbak, ganti di sini ya.." Sella mempersilakan Adrine.
Adrine berdiri mengahadap kasur dengan balutan sprei biru. Sedangkan Sella meninggalkan Adrine sendiri di kamar tersebut. Menyadari Sella pergi dan menutup pintu kemudian Adrine mengunci pintunya.
Adrine melepas pakaian yang basah kemudian mengganti dengan dress tanpa lengan tersebut. Dirinya terdiam membisu sejak melihat Sella meminjamkan pakaian untuknya. "Apakah aku cemburu atau aku hanya ingin diam?"
Adrine menoleh ke arah dinding sebelah pintu, terpampang jelas cermin panjang dengan bingkai coklat polos karna plistur.
Adrine melihat dirinya di cermin. Itu adalah pertama kalinya dia mengenakan pakaian tanpa lengan. Adrine menyisir rambutnya dengan sisir yang berdiri di dalam kotak sisir kemudian dia sibakkan rambut panjangnya.
Sepuluh menit berlalu Adrine masih di hadapan cermin. Dia melihat bekas luka di lengannya, terlihat jelas tanpa aling-aling. Jari jemari tangan kanan Adrine meraih bekas luka tersebut lalu menyentuh dan mengusapnya. Adrine teringat peristiwa itu, peristiwa yang sangat gila dan mengerikan terpampang jelas di mata dan pikirannya.
"Ayah... momy...apa yang kalian lakukan sekarang? apa kalian merindukanku? aku ingin bertemubkalian." Adrine menitikan air mata. Hatinya pilu, ingin rasa dia pergi saat itu juga untuk bertemu ayah dan ibunya.
Ketika sedang menyentuh bekas luka di lengan kirinya, terlihat pula bulatan merah di siku kirinya, memar. Lengan Adrine memar tanpa ia menyadari. Adrine menyentuh sikunya dan.. "aw... sakit ternyata!" ujar Adrine lirih khawatir terdengar lain telinga. Adrine membereskan pakaian basahnya untuk di bawa kembali ke hotel.
Setelah Adrine selesai mengganti pakaian, kemudian dia keluar dari kamar tersebut. Ferit terkejut melihat penampilan Adrine, kecantikan alaminya terlihat jelas. Jantung Ferit berdetak naik turun tak karuan.
Ferit mendekati Adrine sembari tersenyum lebar. Ferit mencoba meraih tangan kiri Adrine namun.. "Aaaaa..." Adrine merintih dengan sempurna setelah tidak merasakan apapun saat bermain air laut.
"Adrine... lenganmu?" Ferit mencoba melihat luka merah memar di sikunya.
Sella membelalak begitupula ayahnya. "Mas, kenapa itu mas?" tanya Sella penasaran. "Sebentar mas, saya punya alkohol sama obat merah. Tunggu ya.." Sella bergegas meninggalkan Ferit dan Adrine.
Adrine terkejut begitu pedulinya Sella dengan dirinya dan Ferit.
Ferit mengajak Adrine duduk di tikar mengahadap meja kecil, datang ayahnya Sella dengan dua cangkir teh manis hangat. "Ayo, diminum teh manisnya mumpung masih hangat" ujar ayahnya Sella sembari meletakan dua cangkir teh tersebut.
Setelah meletakan cangkir berisi teh manis, ayah Sella kemudian berlalu meninggalkan mereka. Terdengar dari luar letupan-letupan minyak goreng panas. Ayah Sella sedang menggoreng sesuatu di wajannya.
"Minumlah tehnya agar tubuhmu lebih baik." Ferit menyarankan dan mengambil cangkir berisi teh manis lalu menyerahkannya pada Adrine.
"Terimakasih" Adrine menerima cangkir tersebut kemudian meminumnya.
"Mas, ini alkohol dan obat merahnya" suara Sella terdengar dari balik tubuh mereka. Sella mengulurkan obat merah dan alkohol tersebut.
"Adrine, sini ku bantu obatin." ucap Ferit menawarkan bantuan.
"Biar aku saja" Adrine menolak lembut. Dirinya tidak ingin Ferit menanyakan bekas luka yangvterpampang jelas di lengan kirinya.
"Udah, sini ku bantu" Ferit memaksa lalu menarik lengan kiri Adrine dengan lembut. Ferit menumpahkan alkohol ke kapas lalu kemudian ia membersihkan luka merah memar yang berada di siku kiri Adrine.
"Ferit, thank you untuk hari ini. Tapi ngomong-ngomong sejak kapan kamu berubah seperti satria baja hitam?" tanya Adrine sedikit membuat Ferit bingung.
"Maksudnya?" Ferit terus menekan-nekan lembut luka di siku Adrine.
Adrine mencubit celana pendek selutut yang Ferit kenakan dan berkaos putih kering. "Oohh.." jawab Ferit datar. "Jadi gini, tadi kan kamu ganti baju terus ada Nyai roro kidul panggil aku katanya bajuku basah takut masuk angin jadi aku ke istananya buat ambil baju yang udah di siapin oleh nyi ratu buat aku. Katanya aku tampan kalo pake baju ini" kata Ferit menjelaskan hal yang tak masuk diakal manusia. Kagak nyampe. Hahahah liat muka nyai roro kidul aja Ferit kagak pernah liat apalagi suruh ke istananyaa.. kagak pernah. Ferit ngebanyol ngelantur nggak jelas. Kebanyakan orang lihat nyai roro kidul di tipi atau di mimpi.