"Adrine..."
"Adrine..." Ferit memanggil dan sudah dua kali ia memanggil namun tak ada respon dari Adrine.
"Adrine...." melihat Adrine tak menoleh sama sekali akhirnya Ferit menghentikan laju mobilnya kemudian mencoba menyentuh sedikit wajahnya untuk menyibakkan rambut kecoklatan Adrine.
Adrine terkejut, Ferit memecahkan lamunannya. Pandangan matanya yang mengarah ke arah luar mobil kemudian menoleh ke arah Ferit.
"Iya Ferit, kenapa ya?" tanya Adrine sedikit gugup.
Ferit tersenyum melihat ekspresi yang keluar dari wajah Adrine. "Apa suaraku terdengar merdu sehingga kamu nggak fokus apa yang aku bilang?" Ucap Ferit membanggakan diri sendiri di hadapan Adrine yang masih gelagapan menjawab Ferit bahkan panggilan Ferit dari mulut awal-awal ngga masuk di kepala Adrine. Dia sibuk melamun.
"Apa yang kamu pikirkan Adrine? kamu melamun di sepanjang jalan." tanya Ferit penasaran apa yang ada di dalam otak Adrine.
"Nggak, nggak ada kok," Adrine menggelengkan kepalanya. "Hanya saja aku penasaran kenapa aku di serang mendadak. Selama aku pergi liburan tak pernah sekalipun aku di serang seperti tadi." ucap Adrine sedikit menutupi apa yang telah datang di lamunannya. Teringat amanat om Ghandi di saat usianya 9 tahun.
Adrine menghela nafas dalam kemudian pandangannya kembali keluar ke arah depan, berusaha tak kembali ke lamunan saat dia masih kecil.
Ferit kembali melajukan mobilnya. Dedaunan kering terbang melayang ke udara karena hempasan angin yang berasal dari mobil biru yang telah Ferit pinjam.
Ferit mengambil berberapa koin yang tergeletak di kotak di dekat rem tangan mobil kemudian dia melemparkannya ke arah seorang pengemis yang tengah duduk tanpa kaki di pinggir pembatas jalan di bawah lampu lalu lintas. Ferit menyadari bahwa dia tidak bisa turun dari mobil karna lampu masih berwarna hijau tidak saatnya untuk berhenti. Sedangkan seorang pengemis itu tak mampu berdiri sambil mengejar dirinya.
Ketika Ferit melempar koin dan mengucapkan `maaf´ terlihat mobil berwarna hitam milik pamannya tepat berada di belakangnya. Ferit tersenyum remeh. "Heleh.... Angga" ujar Ferit bergumam sendiri.
"Kamu kenapa?" tanya Adrine heran melihat sikap Ferit aneh.
"Nggak, nggak apa kok?" jawabnya singkat dan tak ingin melanjutkan apa yang telah ia lihat.
*****
"Hallo om..." ucap Angga dengan pandangan mata ke depan. Dia sedang berbicara dengan seseorang di sana, di dalam ponselnya sambil menyetir mobil. "Iya, Angga masih di belakangnya. Tenang aja om Ferit nggak bakal aneh-aneh kok! Tapi tadi sempet ada yang hampir nglukain ceweknya pake pisau dengan berkendara motor om" ujar Angga menjelaskan kronologi yang telah ia lihat dengan kedua matanya.
"Baiklah om.. besok kita balik ke Jakarta." tukas Angga dan mengakhiri pembicaraanya di ponsel. Tapi entah dengan siapa dia berbicara.
Mobil yang Angga kenakan terus melaju mengikuti mobil yang dikenakan Ferit. Tak lepas dan tak jauh dari jarak di antara mereka.
Ferit mengetahui Angga ada di belakangnya dia tidak melakukan apapun. Ferit tetap bersikap santai jika temannya membuntutinya. Ferit tetap fokus menyetir menuju kembali ke hotel dia bahkan tak peduli jika sahabat Adrine akan sangat marah pada dirinya. Baginya sudah tak penting lagi dia menutupi dirinya menyukai Adrine.
`Adrine, aku meyakini kamu adalah anak kecil itu dan sekarang tumbuh dewasa. Gadis kecil yang selalu mengusap dinding di Taman air dan yang selalu memandang airnya. Bahkan aku meyakini kamu yang selalu suka memukul gelas hingga menimbulkan bunyi dengan sendok teh dengan gagangnya yang panjang, meskipun aku tak mengerti kenapa´
Ferit bergumam tiada henti di dalam hatinya. Sesungguhnya dia ingin mengajak Adrine jalan-jalan lagi ke tempat lain namun kondisinya tak memungkinkan.
Sepanjang perjalanan Adrine dan Ferit diam membisu, tidak ada suara atau percakapan apapun. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
*****
Bagol berjalan ke sebuah rumah di sebelah ujung jalan. Rumah paling akhir di gang buntu tersebut, terlihat seorang anak gadis kecil berusia 5 tahun sedang bermain sendiri di halaman rumahnya.
"De' ayah mana?" tanya Bagol kepada gadis kecil tersebut.
"Di dalam om" gadis kecil itu menunjuk ke arah dalam rumah. "Masuk aja om, ayah di dalam kok!" ujar gadis kecil tersebut.
Bagol memasuki rumah kecil tersebut, terlihat Alex sedang berbicara dengan istrinya. Silir-silir terdengar sedikit mereka sedang membicarakan bahan makanan yang telah habis. Bagol tak sengaja melihat istrinya meitikan air mata sedih.
"Alex.. kalo gua yang puasa kagak makan berhari-hari kagak ape-ape! tapi gua kagak rela kalo anak gua kelaparan karna kita gak bisa cari duit buat die" ujar istri Alex sedih.
Alex menatap istrinya. Dia seolah seperti pengecut tidak bisa melakukan yang terbaik untuk anaknya, anak satu-satunya yang membuatnya menjauh dari pekerjaan gelap.
"Nina, gua minta maaf bikin anak sama lo sengsara, gak ade niat gua nyiksa elu. Maap ye." Alex menyeka air mata istrinya. Segudang rasa bersalah tertimbun di dalam dirinya.
"Alex.." Bagol memanggil Alex dari balik pintunya. Alex menoleh dan terkejut Bagol mendatanginya.
"Bagol? ngape lu tumben ke sini?" tanya Alex penasaran.
"Gua abis nganterin istri gua ke pasar, trus gua pengen mampir ke sini." Bagol tetap beridir di depan pintu tanpa ia di beri aba-aba untuk masuk.
Nina, istri Alex kemudian masuk ke dalam kamar untuk menenangkan dirinya. Sementara Alex menghampiri Bagol.
"Gimana kabar lu bang?" tanya Bagol sembari menepuk lengan kanan Alex. Alex tersenyum pilu, Bagol melihat senyumnya yang sedang tidak baik-baik saja mencoba mengerti kawannya.
"Maap ye bang, tadi ngga sengaja denger pembicaraan elu sama istri elu" Bagol mencoba mengerti sahabatnya itu.
"Kagak ape-ape Gol, lagian suara gua tadi kenceng, wajar aja orang pada denger apalagi elu lagi berdiri di depan pintu." Alex memaklumi kepiluan yang sedang ia rasakan karna ekonomi. "Duduk dulu Gol, kan dah lama kite gak ngobrol bareng" ujar Alex sambil menggiring Bagol ke kursi di halaman rumahnya.
"Sabar ya bang, semua pasti ade solusinye." Alex mengangguk mengiyakan yang dikatakan Bagol. Hatinya sedikit pulih akan kepiluan karna sahabatnya datang setidaknya untuk berbincang mengalihkan pikiran tidak enak yang sedang menjeratnya. "Bang, coba minjem ke Khetek udah belon?"
Alex membelalak mendengar nama Bos yang ia banggakan. Alex sedikit kesal dengan bos satunya itu. "Kemaren gua ke markas bos trus gua bilang mau minjem duit malah gua di pukul seenak jidatnye die. Bukannye dapet duit malah dapet pukulan, gile kan?"
Bagol terkejut dengan ungkapan Alex. Sekarang serasa dirinya sudah tak berguna untuk Khetek setelah kejadian 14 tahun silam sehingga dia sudah tidak dipercaya oleh Khetek untuk melakukan tugas-tugasnya sebagai penculik atau kurir narkoba.
"Lu yang sabar aje ye.., gua juga udah tobat. Istri gua juga sama kaya elu kagak mau liat gua jadi penjahat lagi. Meskipun kadang-kadang gua tergiur sama Bondan. Hehehehehee..." Bagol tertawa kecil, nafsu jahatnya masih ada di pikirannya meskipun tobat sudah di jalaninya.
"Lah Bondang kerja ape? ikut siape?" tanya Alex penasaran.
"Dia ikut bang Tato," Alex terkejut. "Tato bukannya partnernya Khetek?"
"Ya!!" jawab Bagol tegas. "waktu itu tepatnya udah lama, si Bondan berhasil nangkep Yanto, dia nyoba kabur dari Khetek karna gagal kirim ganja ke pelanggannye terus alhasil sekarang die ngabdi ke Tato atas persetujuan Khetek. Karna pas Yanto ketangkep ade bang Tato lagi sama Khetek." Bagol menceritakan panjang mengenai kawannya itu.
"Gua tobat Gol, udah kagak mau masuk ke perangkap gelap lagi. Kasihan anak-anak. Mana kayak elu anaknye cewek semuanye. Gak tega kalo ngalamin yang pernah kite bikin. Anak gua cewek kalo sampe kenape-kenape berati salah gua dulu pernah tega sama anak orang" tukas Alex teringat apa yang pernah dilakukannya.
Bagol dan Alex sama-sama telah mengakhiri pekerjaan gelapnya. Mereka berusaha hidup dengan cara yang baik dan halal. Meskipun jerat ekonomi masih sangat memprihatinkan.