Chereads / Lengan Berdarah / Chapter 22 - 21. Penyerangan tiba-tiba

Chapter 22 - 21. Penyerangan tiba-tiba

Ferit meneteskan obat merah di luka memar Adrine tepat di sikunya. Warna merah kebiruan serta sedikit berdarah terlihat sangat kontras dengan warna kulitnya. Adrine sedikit merintih tanpa suara, dia menahan rasa sakit di sikunya.

Ferit terus menerus merawat luka Adrine sedangkan pandangan Adrine tidak menghadap Ferit. Ingatan Adrine terus menerus kembali ke masa lalu tanpa ia bisa menolak.

Dress hijau tanpa lengan yang Adrine kenakan memperlihatkan bekas luka agak lebar dan sedikit menebal. Ferit melihatnya, sangat jelas.

"Adrine, bekas luka apa ini?" Ferit menyentuh bekas luka itu dengan lembut.

Adrine menarik lengan kirinya hingga terlepas dari tangan Ferit. Dia mencoba menutupi lengan kirinya itu dengan jari jemari tangan kanannya. Adrine terdiam membisu, bulu matanya turun dan tertutup rapat. Adrine tetap mengalihkan pandangannya ke lawan arah. Dia terus teringat dan terngiang peristiwa 14 tahun silam.

Ferit menarik tangan kiri Adrine kembali dan memandang Adrine lekat, dia tak melanjutkan pertanyaan yang terlontar dari mulutnya. Hatinya penasaran, keingintahuan Ferit semakin membesar ketika melihat reaksi Adrine. Tak biasa....

"Sudah... sudah selesai" Ferit melepas tangan Adrine.

Dari balik dapur, ayah Sella keluar dengan membawa tumis udang saus tiram dan ikan tuna bahkan ayam goreng di suguhkan khusus untuk Ferit dan kekasihnya. Kekasih menurut ayah Sella dan Sella. Tak lupa nasi putih dan lalapan juga sambal khas Wedi Ombo.

"Nak Ferit, silakan di nikmati ya hidangannya. Jarang-jarang nak Ferit ke sini apalagi singgah di kesehan kami. Sudah sangat lama nak Ferit ndak main ke Jogja. Apa kabar ibu nak?" tanya ayah Sella sembari meletakan piring berisi udang.

"Baik-baik saja, beliau sehat hanya kemarin sedang sibuk jadi ngga ikut ke sini." Ferit menjelaskan kondisi ibunya.

Adrine terheran mendengar percakapan pemilik warles dan Ferit. Mereka saling mnegenali satu sama lain. Sedangkan Adrine telah lama tinggal di Wonosari dan sering main ke lokasi tapi tak satupun pemilik warles yang ia kenal. Jarang mampir kali yak!

Adrine makan tanpa malu-malu di lihat Ferit, cuek dan sangat menikmati. Mungkin sedari pagi tidak makan sehingga tak ada rasa malu untuk menyantapnya.

Ketika mereka telah selesai menyantap hidangan, kemudian Adrine pergi ke toilet. Dia di arahkan oleh Sella, ketika tepat di depan pintu toilet Adrine melayangkan beberapa pertanyaan kepada Sella "Apa kalian telah lama kenal dengan Ferit?" tanya Adrine menatap Sella yang tengah berdiri di hadapannya.

Sella tersenyum menatap Adrine, "mereka adalah keluarga yang sangat baik dengan kami. Mereka sering membagikan sedekah berupa bahan pangan atau uang untuk kami. Bahkan lesehan yang kami buat di sini karna bantuannya. Ferit selalu menemani ibunya datang ke sini. Tapi semenjak tiga tahun dia baru singgah lagi ke sini. Mungkin karna sibuk belajar." ujar Sella mengerti.

"Ooohh..." Adrine mengangguk kecil. "Saya ditinggal saja ngga apa-apa, tenang tidak akan nyasar." Adrine menenangkan Sella dan meminta Sella untuk tidak menunggunya. Sella mengangguk dan pergi berlalu meninggalkan Adrine. Adrine memastikan Sella pergi darinya kemudian masuk ke dalam toilet dengan cermin yang menggantung di dinding.

Adrine mencuci wajahnya kemudian ia menatap dirinya ke cermin. "Luka ini! mungkin tidak masalah jika aku membiarkannya terlihat jelas. Bahkan selama ini om Ghandi selalu melarang aku untuk tidak memperlihatkan luka ini. Ini kali pertama begini." Adrine menyentuh bekas luka tersebut dengan jari telunjuk kanannya. "Huft!"

Adrine keluar dari toilet dengan wajah sedikit basah, sikunya yang memerah akibat terbetur benda keras tanpa ia sadari terlihat sangat jelas. Adrine kemudian menghampiri Ferit yang tengah asik berbincang dengan pemilik lesehan. Ferit kemudian mendorong amplop di depan dirinya menuju pemilik lesehan tersebut. Adrine bingung mengapa keluarganya sangat baik terhadap keluarga Sella. Tapi itu bukanlah urusannya, dirinya tidaklah ingin kepo atau ikut campur dalam hal ini. Hanya sebatas tau saja.

"Pa' makasih ya atas bantuannya. Hidangannya pun sangat enak bahkan pacar saya lahap memakannya." Adrine terkejut apa yang telah keluar dari mulut Ferit.

´Pacar?´ tanya Adrine pada diri sendiri.

"Ferit, ayo pulang!" Ferit mengangguk dan bangkit dari duduknya.

"Sekali lagi saya ucapkan terimakasih pa'." kata Ferit sembari sedikit membungkukan badan dan menjabat tangannya. Begitu pula Adrine dia ikut menjabat tangan pemilik lesehan tersebut.

"Sella..! mas Ferit mau balik" ayah Sella memanggil tapi tak ada sahutan darinya. "Mungkin sedang ke sebelah nak Ferit. Saya juga sampaikan terimakasih nak Ferit, nak Ferit mau singgah ke sini setelah lama ngga pernah singgah."

Ferit dan Adrine melangkah keluar meninggalkan warles tersebut. Matahari telah mulai turun ke arah barat. Cuaca juga sudah tidak terlalu terik. Adrine dan Ferit berjalan menuju arah parkir.

Dari balik pohon berdiri seseorang menggunakan jaket abu-abu terang dengan motor di depannya. "iya bos, siap bos!" ujarnya sambil menutup telpone. Kemudian orang tersebut menaiki motornya dan menghampiri Adrine. Sebuah pisau belati kecil diarahkan ke lengan kanan Adrine. Ferit melihatnya lalu spontan menarik lengan kiri Adrine hingga tertangkap di pelukan Ferit.

"Gila lu ya!" teriak Ferit keras hingga terdengar oleh beberapa pasang telinga.

Adrine meringkuk di pelukan Ferit, alisnya saling bertemu hingga mengeriput. Sikap Ferit sangat membuat Adrine terkejut. Jantungnya berdebar naik turun tak teratur.

"Ferit..." Adrine menyebut namanya.

"Adrine, apa kamu terkena pisaunya?" tanya Ferit panik dan khawatir.

Adrine menggelengkan kepala, jari jemari tangan kanannya menyentuh bekas luka di lengannya. "Mungkin karna ini Ferit, antar aku kembali ke hotel" ujar Adrine.

Ferit mengangguk, kemudian Ferit melepas jaket yang ia kenakan dan memakaikannya di Adrine. Ferit merangkul Adrine hingga masuk ke dalam mobil, memastikan dia aman.

Dalam benak pikiran Ferit, ini ada hubungannya dengan ayah kandungnya, Surya. Karna pendapat ayahnya selalu di tampik oleh Ferit hingga soal pasangan hidup.

Ferit menutup pintu mobinya, tiba-tiba dia diam membatu dengan pandangan ke arah depan. Sejuta pertanyaan menghantui pikirannya. Jari jemarinya memegagang stir mobil sedangkan jari telunjuknya menepuk-nepuk stir mobil. Tanpa berbincang tiba-tiba Ferit mengeluarkan suara yang tak dipahami Adrine.

"Ahhhh..." Ferit menggelengkan kepalanya. Pikirannya terus mengarah pada Angga yang telah melapor aktivitas dirinya yang sedang bersama Adrine.

Ferit melajukkan mobilnya, dia diam sepanjang jalan begitupula dengan Adrine. Dia terus memikirkan kejadian yang baru saja di alaminya. Adrine type gadis menurut jika beralasan dan ini kali pertama ia melanggar mandat dari om Ghandi dan membuahkan jawaban hanya saja bersyukur tidak terjadi apa-apa.

Sesekali Ferit memandang Adrine dari seberang bangku mobil sambil menyetir. Sedangkan Adrine sendiri memandang ke arah luar jendela mobil pikirannya dipenuhi pertanyaan `Siapa dan mengapa?´ Pikiran Adrine kembali di masa lalu

*****