13 Tahun Kemudian...
"Kak..." seorang gadis kecil dengan rambut kriting dan hitam menggantung mengenai bajunya memanggil seorang wanita yang sedang menulis sesuatu di selembar kertas di atas meja lalu menoleh.
"Iya sayangku Azkia," wanita yang masih dengan posisi duduk menghadap meja di kamarnya kemudian memeluk pipi Azkia dengan telapak tangan kirinya.
"Kak Adrine mau pergi ke mana? Azkia mau ikut." wanita itu tersenyum.
Wanita itu adalah Adrine. Adrine telah tumbuh menjadi gadis dewasa, pendidikan sekolah tinggi telah diraihnya hingga lolos wisuda dengan gelar Magister Administrasi Bisnis atau M.A.B di usia 22 tahun. Rambut panjangnya masih terpelihara dengan baik dengan warna aslinya hitam agak cokelat namun cenderung terlihat cokelat, kulit tubuhnya pun terawat sehingga ia tetap terlihat cantik. Tubuhnya tinggi hidungnya mancung dan ramping karna rajin meminum jamu khas orang jawa. Adrine selalu membeli pada mbah Siti, penjual jamu keliling. Mbah siti penjual jamu amat sayang dengan Adrine terlebih Adrine kadang bisa melawak bak artis komedi.
"Azkia sayang, kakak ngga kemana-mana. Mboten teng pundi-pundi sayangku." lagi-lagi Adrine mencampur bahasa yang diucapnya karna terbiasa.
"Azkia.." seorang lelaki memanggil dari depan pintu kamar Adrine. Azkia menoleh, rambut keritingnya bergoyang bak sedang menari-nari di kepalanya. Lucu sangat lucu bahkan Adrine suka memandang rambut Azkia. "Azkia, rambutmu goyang-goyang mirip lagi joged dangdut terus pipimu kok mirip bakpau? ahhh jadi pengen nyubit!. Azkia sini... kakak belum nyubit pipimu." Azkia buru-buru meninggalkan kakaknya telebih kakaknya hobi cubit pipi Azkia.
"Azkia sayang, bantuin ibu sama kakak jesi di dapur ya!" Azkia mengangguk kemudian berlalu meninggalkan ayahnya. Ghandi melangkah mendekati Adrine. "Adrine, hari ini ada pesta pernikahan di rumah tetangga apa kamu mau ikut?"
"Maaf om, Adrine ada janji sama Ambar, Dudo, juga Ezar. Kami mau ke Taman Sari. Aku rindu ingin jalan-jalan ke sana. Udah lama ngga ke sana." Ghandi tersenyum mengiyyakan.
"Adrine tunggu di sini, om ingin tunjukin sesuatu." Ghandi bergegas keluar dari kamar Adrine, selang lima menit Ghandi kembali dengan sesuatu berwarna Merah dan pink di tangannya.
Adrine penasaran apa yang dibawa Ghandi. Dia terus berusaha menebak apa yang lelaki itu bawa. "Adrine, om minta maaf baru sekarang om ingat, dulu saat sebelum kita ke sini om sempat bertemu tante Naura. Kita membuat janji bertemu orang tuamu tapi sayang sekali kita harus melihat tontonan yang tidak seharusnya. Di luar dugaan kita semua terpisah dan kamu harus terus menerus sembunyi bahkan kita semua ketakutan segala sesuatu bisa terjadi sama kamu kapan saja. Adrine kecil belum bisa menjaga diri dengan baik. Bahkan kamu hanya bisa teriak sambil menangis hingga tertidur di pangkuan te Sufi" Ghandi terus membuka kisah yang dulu terjadi pada mereka. Hati Adrine seolah teriris oleh pisau. Dendam di hati Adrine mulai memanas. Ingin rasanya cepat-cepat memukul dan menusuk penjahatnya dengan pisau runcing dan tajam atau menembak mati semua yang terlibat. Kedua bola Adrine berkaca-kaca menatap Ghandi.
"Bagaimana aku bisa melupakan semua itu om? aku tidak bisa! rasa sakit ini belum terbayar! Bahkan kabar mereka semua di Jakarta kita semua tidak pernah tau. Apa mereka masih hidup atau telah mati. Mereka juga tidak mencari kita dengan alasan apa. Kita tidak tau om! aku ingin ayah, aku ingin momy aku rindu om." Adrine tak sanggup menahan, air mata mengalir membasahi kedua pipinya. "Setiap kali Adrine usap lengan ini, saat itupula aku ingin membunuhnya dengan tanganku sendiri. Dan setiap aku memakan bunga melati yang ku campur dengan saus aku merasakan betapa pedas apa yang kulihat.Rasa pahit dari daun sambiloto dan brotowali yang kumakan betapa terasa sangat pahit yang kujalani tapi aku memakannya meskipun aku membencinya." Ghandi kemudian memeluk Adrine, kenyataan yang menimpa dirinya tidak sepahit Adrine hingga harus bersembunyi sejauh mungkin dan seaman mungkin. "Om, Adrine berencana ke Jakarta, apa om mengizinkan?"
"Kamu telah tumbuh dewasa sayang, aku tidak bisa lagi memenjarakanmu di hadapanku selalu. Aku akan berusaha mempercayaimu kamu bisa menjaga diri tetap selamat. Pakai sarung lengan pemberian tante Naura setidaknya untuk melindungi lenganmu dari mereka ketika kamu di luar rumah." Adrine melepaskan pelukan Ghandi dan menerima apa yang di tangan Ghandi.
Adrine membuka bungkusan Sarung Lengan pemberian Naura. Bibirnya tersenyum senang ketika sarung lengan tersebut kesayangan Naura yang biasa di gunakan ketika pesta. "Om, ini Sarung Lengan favorit tante" lalu Adrine mengenakannya. "Cantik, serius" Adrine mengusap lengan kirinya di hadapan Ghandi. Lelaki yang telah menemani Adrine dan menjaganya kini wajahnya sedikit keriput dan sedikit beruban.
"Adrine, kamu telah melalui banyak hal jika kamu ingin mencari dan menemui orang tuamu aku mengizinkan." ucap Ghandi berjanji.
"Tapi apakah Yangkubem membolehkan? apalagi dia takut aku pergi ke Jakarta. Dia takut terjadi sesuatu denganku. Sungguh aku sayang kalian semua. Aku ingin mengakhiri penjara ini. Aku ingin hidup bebas dan tertawa lepas seperti kupu-kupu yang sangat indah." Adrine terus membayangkan kehidupan yang ia inginkan. Ghandi terus memandang Adrine dengan sejuta rasa bercampur aduk antara takut, khawatir, bahagia melihat keberanian keponakannya. Tapi sayang hingga detik ini Adrine belum mengetahui Ghandi adalah adik tiri ayahnya.
*****
"Bos, gua butuh dana buat kasih makan anak gua. Gua tidak punya pemasukan dari mana-mana lagi bos, bantu gua bos." lelaki berjenggot tipis itu meminta bantuan pada lelaki bertubuh besar yang tengah duduk santai di kursi membelakangi meja. Kulitnya hitam sepertinya tubuhnya sangat keras jika di pukul dengan besi bisa jadi hanya tersenyum karna tidak mempan.
Lelaki yang tengah duduk santai adalah Khetek bos dari segala aliran penjahat. "Alex?" Khetek memutar kursi yang ia duduki dan terkejut salah satu anak buahnya datang menemui dan meminta uang. Khetek tertawa geli mendengar permintaannya. "Alex, udah berapa kali lu minta duit ke gua? pekerjaan lu aja kagak ada yang beres!" Si bos Khetek marah. Dia mendorong meja di depannya hingga hampir mengenai Alex. "Lu inget, lu hampir seret gua ke sel karna lu ceroboh. Inget ngga lu?" Khetek mencoba mengingatkan Alex atas kejadian di masa lalu.
"Iya bos, gua minta maaf" Alex menundukkan kepalanya, kedua tangannya melemas membuat sebuah tumpukan di depan tubuhnya.
"Coba aja bocah cilik itu kagak ilang, lu pasti udah makmur idupnya! Pesseh tau pesseh?" Khetek mencoba mengatakan dengan bahasa Madura. Alex terus terdiam bosnya terus memarahinya. "Peseh itu duit Alex! duit! kagak ngerti lu duit?" Khetek menunjukan tanda duit melalui jari jempol yang saling menggosok dengan jari telunjuk tangannya sebelah kanan.
Khetek bangkit dari duduk santainya kemudian mendekati Alex lalu memukul wajah dan perut Alex. "Pergi lu! lu pikir gua atm lu!". Harapan Alex lenyap seketika kemudian Alex pergi berlalu meninggalkan Khetek dengan perasaan kecewa.
Ketika Alex berjalan meninggalkan markas Khetek, dia melihat dua orang dihajar oleh anak buah Khetek yang lainnya karna melakukan kesalahan yang hampir menyeret bosnya ke penjara pula. Kasus penjualan Ekstasi dan Ganja seberat 500g. Orang tersebut gagal mengirimkan barang ke pembeli langgananya. Mereka melemparnya ke bawah jembatan tepi bantaran sungai. Bagaimana sangat tidak marah, mereka hampir tertangkap lalu barang yang mereka lempar diketemukan oleh polisi.