Chereads / Lengan Berdarah / Chapter 13 - 12. Pesan Singkat Ferit

Chapter 13 - 12. Pesan Singkat Ferit

Adrine berhenti tertawa seketika saat melihat Ferit sedang berbicara dengan pelayan kantin. Ingin rasanya Adrine menghampiri namun rasa tidak enak dengan sahabat-sahabatnya, dia lebih memilih diam di tempat. Ketika sarapan selesai mereka berencana mengelilingi Borobudur. Memang itu wahana Jogja dan mereka pun tinggal di Jogja, mereka tidak pernah bosan berjalan-jalan mengelilingi Jogja. Sahabat-sahabatnya selalu mendapat mandat dari Om Ghandi, paman Adrine agar tidak mengajak Adrine jauh-jauh dari Jogja.

"Bayar dulu yuk, sudah itu kita pergi lanjut. Tapi ke pantainya besok saja. Karna Aurora kita kesiangan.." ujar Adrine menggoda Ambar.

Dudo mengumpulkan uang mereka untuk membayar sarapan pagi yang telah mereka santap kemudian pergi membayar. Setelah Dudo selesai membayar dan kembali ke meja mereka berkumpul, kemudian mereka lekas bangkit dari duduknya dan melangkah melewati kasir untuk keluar dari kantin tersebut. Adrine berjalan di jajaran paling akhir setelah Ezar. Tiba-tiba seorang pelayan mendatangi Adrine dan memberi selembar kertas dilipat menjadi dua berwarna orange.

`Aku menunggumu menghubungiku´

Hanya itu yang di katakan dalam selembar kertas berwarna orange. Adrine mengusap kertas yang berukuran 12cmX8cm tepat di bawah kata-kata tersebut. Adrine tersenyum ketika ada rangkaian angka di bawahnya tidak terlihat oleh mata. Adrine memasukkan kertas itu ke dalam saku bajunya. Mereka kemudian keluar dari hotel menuju tempat parkir mobil.

Dudo, Ezar dan Ambar telah siap di depan mobil Dudo. Namun langkah mereka terhenti lantaran Adrine izin ke kamarnya untuk mengambil sesuatu. "Dudo, tunggu sebentar ada yang ingin ku ambil di kamar."

"Yah.... Adrine.. sejak kapan kamu melupakan sesuatu." ucap Ambar kesal.

"Tunggu ok! tunggu 10 menit." Adrine menunjukkan semua jari tangannya, tubuhnyapun sedikit membungkuk meyakinkan teman-temannya.Adrine kemudian berbalik dan bergegas melangkah meninggalkan teman-temannya.

Adrine begitu cepat melangkah seolah akan lari, seperti dikejar hantu. Ketika dia telah tiba di depan pintu kamarnya dengan sigap ia membuka kunci lalu menutup kamarnya dan menguncinya dari dalam.

"Pakai apa ini?" Adrine terus berfikir sembari membuka tas berharap menemukan sesuatu untuk memperjelas angka apa yang ada di kertas tersebut. "Pena?" Adrine menggoyangkan pena yang ia temukan di tasnya. "Tidak, bukan pena!!" lalu Adrine membuka seluruh isi tasnya. Dia menemukan bedak tabur berwarna kuning kecoklatan. "Aha!, ini dia!" Adrine bergegas dengan cepat mengambil kertas di dalam saku bajunya tersebut dan membuka wadah bedak tabur berbentuk bulat itu. Kertas itu dibukanya dan menaburkan bubuk bedak itu.

Adrine tersenyum bahagia seperti menang lotre bahkan lebih. Adrine melompat-lompat bak seperti dia masih kanak-kanak. Wajahnya menengadah ke atap plafon bibirnya tersenyum menang sembari memeluk kertas dan menciumnya. Ini kali pertama dia seperti itu.

Setelah angka-angka di kertas itu terlihat, Adrine dengan cepat meraih ponselnya yang berada di kantong celana jeansnya. Dia beri nama P. Ferit Adrine menjatuhkan tubuhnya di atas dipan kasur "Paling tidak mereka tidak akan banyak tanya siapa P. Ferit. Dia seperti Pangeran untukku. Apa aku jatuh cinta? Rasanya konyol aku jatuh cinta dengan lelaki yang baru ku kenal. Pangeran Ferit"

Adrine tersenyum tiada henti, wajahnya terus berseri. Cinta di hatinya mulai tumbuh. Cinta Pertama, iya.. Ferit Cinta Pertama lahir dari Pandangan Pertama.

Tujuh menit Adrine masih di atas dipan kasurnya dia belum menyadari sahabatnya telah menunggu. Ponselnya tiba-tiba berdering membangunkan kekonyolannya, membangunkan khayalannya.

"Ya ampun.. aku lupa."

Tring.. tring..

Begitulah suara ponsel Adrine ketika ada pesan whatsapp masuk. Ambar mengirim pesan lalu Adrine membaca dan menyadari bahwa dirinya membuat khawatir sahabatnya.

Adrine bergegas bangkit dari dipan kasurnya lalu membereskan semua yang telah dia acak-acak. Dengan cepat kilat tanpa bersisa, kembali rapi seperti sediakala. "Ughh..." Buru-buru Adrine keluar dari kamar dan mengunci pintunya.

*****

Dudo berkendara dengan sangat baik. Cepat tapi penuh kehati-hatian. Sahabat yang satu ini selalu menebarkan pesona yang luar biasa ketika berkendara. Sikapnya penuh kontrol namun tidak dingin.

Dudo mengentikan mobilnya di parkiran, dengan memandang langit di luar mobil lumayan cerah dan sedikit terik. Kemudian Dudo mengambil kacamata hitam dan memakainya. Ambar melirik melihat raksi Dudo. Ingin rasanya Ambar memandang Dudo namun rasa gengsi sebagai wanita sangat tinggi. Tapi melawan perasaan bukanlah hal mudah. Antara urusan hati dan otak selalu tidak selaras. Bahkan bagi Ambar Cinta tidak ada yang Waras.

Ke empat gadis dan bujang itu keluar dari mobil dengan memakai kacamata hitam. Namun tidak bagi Adrine. Dia tidak begitu menyukainya kecuali keadaan darurat. "Adrine, kok kamu ngga pakai kacamata?"celetuk Ambar melihat sahabatnya polos tanpa kacamata. Hanya tas ransel kecil yang selalu stay menggelatung di sebelah punggungnya. Pakailah kacamatamu, lumayan terik nih!" Adrine hanya tersenyum.

"Terik dari mana? ini cerah Ambar" ujar Adrine membenarkan.

Ini bukanlah kali pertama mereka berkunjung ke Borobudur. Karna terlalu sering alhasil banyak pedagang hafal dengan mereka. Apalagi Adrine suka membaur dan bergaul dengan siapa saja.

"Ezar, ayok...!" Dudo mengajak Ezar jalan didepan para gadis. Mereka berjalan menuju lokasi.

Ketika mereka telah sampai di pintu masuk, Adine sedikit melangkah pelan berharap mereka lebih depan. Ia kemudian mengambil ponsel dari dalam tas ranselnya dan mencoba mengirim pesan ke Ferit.

`Ferit, aku di Candi Borobudur, kamu di mana?´ Adrine

Adrine kembali ke rombongan ketika telah selesai mengirim pesan.

Tring... tring...

Mendengar suara ponselnya berbunyi bergegas Adrine membuka pesan. Ferit membalas dengan cepat.

`Aku di dekatmu´

Adrine menganga, kedua matanya beranjak mencari ke kanan ke kiri. Jantungnya berdebar kencang. Lalu ia mengusap dadanya dengan debaran yang tak terhentikan. Hatinya gelisah ia tak melihat batang hidung Ferit. Namun pikirannya mulai terganggu ingin melihat wajah Ferit. "Sungguh.. aku baru merasakan dan mengalami hal ini. Apakah aku jatuh cinta?" kedua bola matanya terus menyusuri bagian demi bagian, ujung ke ujung bahkan ke atas candi namun Adrine tak menemukannya.

Adrine tertinggal jauh dari rombongannya. Mereka tak menyadari jika Adrine sudah tak bersama mereka.

"Adrine, aku minta premen karetnya dong." pinta Ambar dengan mengulurkan tangan kanannya tatapan matanya tetap dengan pandangan ke depan. Dia terlalu sibuk memandang Dudo. "Adrine?" Ambar terkejut lantaran tak ada suara apapun dari sahabatnya. "Adrine?"

Dudo dan Ezar tiba-tiba panik mendengar suara Ambar mencari Adrine. "Ambar, ke mana Adrine?" mimik wajah Dudo penuh rasa khawatir. Tanpa mendengar jawaban Ambar, spontan Dudo mencari gadis yang di cintainya. Meskipun Adrine tidak pernah tanggap atas perasaan Dudo.

Sementara Adrine masih sibuk dengan ponselnya. Tubuhnya tidak terlihat oleh sahabat-sahabatnya karena penuhnya pengunjung berlalu lalang.

`Kembalilah ke rombongan. Aku akan ada selalu di dekatmu´

Adrine menghela nafas panjang membaca balasan pesan Ferit. Dirinya merasa terjaga saat itu juga. Ketika Adrine hendak berjalan tiba-tiba seorang bocah laki-laki menghampirinya. Dia memberikan bunga Melati satu tangkai dengan daunnya.

"Saking sinten de'?" bocah itu diam lalu pergi. Adrine hanya bisa menolah noleh tak jelas. Seperti orang ling lung mencari-cari tapi tak ada apapun.

"Bagaimana Ferit tau kalo aku suka dengan Melati?". Tiba-tiba Adrine terdiam membisu diantara kerumunan pengunjung. Pikirannya terus kembali ke masa lalu. Adrine menutup kedua matanya, hatinya serasa ditusuk dan di tembak mati. Kemudian tangannya mengusap lengan kirinya. Air matanya menetes membasahi pipi. Adrine diam membatu di bawah terik matahari pagi.

Ferit terus memperhatikan Adrine dari kejauhan. Ada sedikit rasa bersalah berkecamuk didirinya. Rasa penasaran meninggi ketika melihat reaksi Adrine setelah menerima Melati yang ia berikan melalui bocah kecil.

Adrine membuka kedua matanya, wajahnya sedikit murung dengan melati di tangannya. Peristiwa 13 tahun silam teringat jelas di memori kepalanya. "Tenang Adrine" ucap Adrine menyebut namanya sendiri dan memasukkan melati tersebut di tasnya.

Dudo kalang kabut kehilangan Adrine, hatinya gelisah takut terjadi sesuatu dengan Adrine. Dari kejauhan Adrine keluar dari kerumunan para pengunjung. Sontak Ambar berlari dan memeluk Adrine. "Ambar, aku baik-baik saja. Jangan khawatir." Adrine menenangkan Ambar.

"Adrine, kamu membuat takut kami" Ezar menimpali. Ezar yang menyebalkan tiba-tiba khawatir dengannya. Mungkin karna ikatan batin antar teman mulai terasa akan ada sesuatu. Sedangkan Dudo yang super duper gelisah dan kelimpungan mencoba menutupi perasaan itu.

Adrine berakhir membaur rombongannya lagi. Sepanjang perjalanan Ambar terus membicarakan Adrine tiada henti. Memarahinya lantaran keluar rombongan tanpa sepengetahuan dirinya atau teman-teman lainnya.