Chereads / Lengan Berdarah / Chapter 12 - 11. Rasa Cinta yang mulai tumbuh

Chapter 12 - 11. Rasa Cinta yang mulai tumbuh

Adrine mengenakan kemeja berwarna merah dengan motiv kotak-kotak garis hitam berlengan pendek dan kaos thank top hitam di dalamnya. Itu style kesayangannya dipadu dengan jeans hitam dan rambut di ikat ke belakang sedikit tinggi. Ambar tercengang melihat temannya telah siap tanpa membangunkan dirinya.

"Kamu mau ke mana?" Ambar menyibakkan selimut yang telah menutupi dirinya. Adrine tersenyum kemudian berlalu meraih jam tangannya tanpa menjawab. "Adrine! jawab dong! kalau om Ghandi telpone, aku harus bilang apa? aku saja ngga tau kemana kamu pergi. Jangan diam saja Adrine!"

Adrine menghela nafas sedikit panjang "Huft, ini sudah jam berapa Ambar? perutku lapar, aku akan sarapan pagi. Semalam kamu telpone siapa? jam dua baru kelar. Liburan apa ini? kamu yang merencanakan ke pantai pagi ini nyatanya zonk! malah aku nungguin kamu bangun ngga bangun-bangun." gumam Adrine. Gadis ini terbiasa disiplin waktu sehingga tidak melepas kemungkinan Ambar akan ditinggalkan di kamar hotel sendirian. "Aku tunggu kamu di kantin hotel lima belas menit lagi." ujar Adrine memberi waktu bersiap untuk Ambar.

Mendengar Adrine memberi waktu, Ambar kemudian bergegas turun dari dipan kemudian berlalu ke kamar mandi dan mandi. Sementara Adrine berlalu meninggalkan Ambar di kamarnya.

Adrine berjalan melangkah melewati pintu ke pintu. Ketika beberapa langkah melewati pintu kamar tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil namanya. "Adrine?" Adrine menghentikan langkahnya kemudian berbalik badan. Adrine tercengang melihat siapa yang memanggilnya.

"Ferit" bibir Adrine tersenyum manis melihat Ferit dengan jaket kulit berwarna cokelat susu tanpa dikancing dengan kaos putih di dalamnya dan celana hitam yang memberi kesan gagah dan tampan. Jantung Adrine berdebar kencang. Adrine Ingin sekali mengusap atau mencoba menenangkan debaran jantungnya menggunakan telapak tangannya ketika melihat Ferit namun itu tidak bisa terjadi. Adrine gengsi dan malu. Kedua pipi Adrine beseri dan sedikit memerah.

"Kamu mau ke mana?" tanya Ferit sangat penasaran ingin tahu apa yang akan di lakukan Adrine pagi itu sendirian.

"Aku akan sarapan, kamu?" Ferit melayangkan sedikit senyuman tanpa mejawab.

"Ferit, aku sudah siap." seseorang keluar dari balik pintu kamar Ferit. Seorang pemuda terlihat seusia dengan Ferit bertubuh sedikit lebih pendek 5 senti.Dia telah siap dengan kamera dan ponsel di tangannya. Terlihat pula tas kecil menempel di celana birunya.

Ferit kemudian menoleh, "Kasih aku waktu sebentar." pemuda itu hanya diam dan mengangguk,dia mempersilakan Ferit berbicara sedikit dengan Adrine.

"Aku akan menyusulmu. 15 menit dari sekarang aku pasti datang." ujar Ferit berjanji. Adrine hanya tersenyum dan mengangguk. Ferit memandang Adrine dan menatapnya sangat lekat. Padahal pertemuan mereka tergolong masih sangat baru. Belum menelan 24 jam namun mereka seolah telah saling kenal sejak lama. Mereka seperti memiliki ikatan batin yang sama kuatnya.

"Baiklah." Adrine kemudian berbalik kembali dan pergi berlalu meninggalkan Ferit dan teman sekamarnya.

"Ferit, siapa dia? bagaimana kamu kenal?" teman sekamar Ferit penasaran.

"Berkat doaku kemaren, aku ingin dia." ucap Ferit tanpa menyebut namanya. "Angga, kira-kira dia berbalik lagi ngga lihat aku?" Ferit terus memandang Adrine tanpa henti. "Aku akan hitung mundur dari hitungan ke tiga" Ferit terus saja penasaran. "Tiga.... Dua..... Satu....." Adrine membalikkan wajahnya menoleh ke belakang. Alih-alih ingin memeriksa Ferit pergi berlalu tidak tahunya Ferit masih berdiri membelakangi pintu kamarnya. Adrine tersenyum lalu kembali ambil posisi semula, berjalan meninggalkan Ferit menuju ke kantin hotel.

*****

Dudo dan Ezar telah duduk di kantin hotel, mereka sedang membicarakan sesuatu seolah mengasikkan membuat orang penasaran. Topik yang mereka bicarakan seperti serius. Adrine terus berjalan tanpa henti menghampiri mereka berdua. Spontan, pembicaraan mereka berhenti ketika mereka menyadari Adrine telah datang.

"Sugeng enjing..." Adrine menyapa kedua pemuda tersebut. Lalu Dudo tersenyum menganggukkan leher sedikit.

"Sugeng enjing princes Adrine..." ucap Ezar meledek Adrine dengan kepala yang menggeleng.

"Hemmmm..... mulai-mulai kumat, kumat alaynya. Bisa nggak si nggak dilebih-lebihkan. Kebanyakan tau!" sahut Adrine sembari menarik kursi yang masih tertata rapi menghadap meja kemudian dia duduk.

"Ambar mana? Kok kamu sendiri?" tanya Ezar sedikit kepo.

"Akhhh... dia baru bangun. Sedari pagi buta di bangunin nggak bangun-bangun. So, aku biarin." Adrine terus memberitahu teman-temannya. " Mana semalam Ambar brisik banget. Dia telponan dengan orang sampai jam dua pagi. Apa nggak ngantuk tuh?" Adrine memberitahu kedua temannya berharap Ezar kepanasan dengan rasa kepo yang amat panjang dan mendidih.

"Loh, emang siapa yang dia hubungi?" Dudo menambahkan pertanyaan sehingga terlihat wajah Ezar sedikit memerah karna rasa dan pikirannya mulai cemburu.

"Wahhh itu yang aku tidak tahu. Tapi kedengarannya suara laki-laki." melihat Ezar mulai gelisah, Adrine menghentikkan tema karna dia melihat makanan telah sampai. "Wah... enak nih" pelayan tersebut hanya membawa dua piring soto Jogja. Ketika mangkok soto telah take off di depan Ezar dengan cepat Adrine mengambil mangkuk tersebut. "Haaaaa ini baru Adrine namanya"

"Hei,hei,hei... itu punyaku, milikku." Ezar ribut dan berusaha mengambil kembali mangkuknya. Namun Adrine menampik tangan Ezar.

"Kagak bisa Zar, ini udah ada di depanku kenapa kamu rebut? aku udah lapar banget nih.. asli."ujar Ezar membuat perlawanannya melemah. Mereka berdua bak kucing yang ribut selalu ribut seperti anak kecil. Mereka terbiasa satu dengan yang lain seolah mereka menempati seperti saudara kandung. Maka ketika tiga tahun silam Dudo menyatakan cinta, Adrine menolaknya karna Adrine sangat paham satu demi satu sahabatnya itu. Dia lebih mencintai persahabatan daripada sebuah cinta.

Ezar mengalah pada Adrine kemudian memesan kembali soto dua mangkuk untuk dirinya dan Ambar.

"Ngomong-ngomong tumben kamu semangat banget. Terus wajahmu terlihat berseri-seri." tanya Ezar mencoba menebak.

"Semalam habis menang lotre!" jawab Adrine asal.

"Hah?" Ezar membelalak tidak percaya. "Sejak kapan kamu doyan lotre?"

"Pagi ini" Adrine terus menjawab pertanyaan Ezar dengan enaknya. Dia terlalu lapar sehingga tidak memperdulikan teman-temannya belum menyantap makanannya.

Dua puluh menit berlalu... telihat Ambar dengan dress warna soft blue dengan panjang selutut berlengan pendek mendekati ke empat temannya. Melihat penampilan Ambar, Adrine sedikit tersenyum dan tertawa. "Ehh.. mau ke mana kamu Mbar?"

"Sarapan pagi.!" jawab Ambar dengan enaknya padahal dia datang terlambat lima menit.

"Kamu terlambat lima menit. Makanan mau dibalikin" Adrine mengambil mangkuk berisi soto yang telah dipesan Ezar.

"Adrine...!!! kembalikan!!!" Ambar menaikkan nada suaranya. Buru-buru Adrine mengembalikannya lalu Ambar menyantap sarapannya.

Ketika bersenda gurau, Adrine tidak menyadari Ferit telah duduk dekat meja Adrine. Ferit tidak menyapa atau memberitahu Adrine bahwa dirinya telah datang. Ferit terus memandang Adrine tiada henti hingga Angga heran melihat sikap Ferit yang aneh karna mulai menyukai Adrine.

Adrine adalah gadis yang baru dikenalnya tapi Ferit menyukainya karna dia banyak melakukan hal yang membuat Ferit penasaran.

Sepuluh menit berlalu, Adrine masih tidak menyadari keberadaan Ferit. Dia asik dengan teman-temannya, bercanda dan tertawa. Karna bosan atau sedikit cemburu, lalu Ferit mengajak Angga mengakhiri kopi tersebut. ""Angga, ayo kita pergi!"

"Kopiku... " mimik wajah Angga kecewa karna kopinya belum sepenuhnya terminum. "Kalo bukan karna tante Lena, bocah ini dah ku biarin demi kopiku. Akhhh.... merusak kenikmatan pagiku saja!."

Ferit berlalu meninggalkan meja, kemudian pergi mendekati kasir dan pelayannya.

Ketika Adrine sedang tertawa lalu dia sadar jika Ferit berjanji akan menghampirinya. Adrine menoleh ke kanan dan ke kiri, dia mendapatkan Ferit sedang berbicara dengan seorang kasir dan seorang pelayan. Terlihat dia sedang menulis sesuatu di sana.