--Dunia nyata memang menyakitkan dan dunia imajinasi terlihat lebih menjanjikan kebahagiaan. Tetapi jika kamu terus hidup di dalamnya, saat kamu tersadar, itu akan jauh lebih menyakitkan.--
Melewati hari-hari tanpa mata pelajaran sekolah, tidak ada lagi tugas yang menumpuk akibat dari bentrok dengan jadwal manggung, ditambah lagi lelah, yang berujung malas menyelesaikan tugas sekolah. Kini gue punya waktu yang sangat banyak untuk manggung. Makanya gue memutuskan untuk mengambil jadwal manggung penuh hampir setiap hari. Dan alhamdulillah selalu ada rejeki. Bahkan setiap weekend selalu keluar kota. Rasanya jauh lebih plong dan lebih leluasa. Bebas sekali. Tidak perlu lagi pusing dengan notifikasi grup kelas yang rame karena sehari lagi tugas harus selesai dan dikumpulkan.
Kurang lebih dua bulan setelah benar-benar diakui kelulusan gue sebagai alumni anak SMA, gue seperti menjelma menjadi sosok Arka Derrien Mahendra yang baru. Karier gue di dunia musik pelan tapi pasti mulai menunjukkan hasil. Tawaran untuk mengisi beberapa acara di luar kota selalu ada setiap hari. Tetapi gue dan tim hanya memilih weekend untuk manggung di luar kota. Hal ini untuk meminimalisir kondisi tubuh agar tidak terlalu terforsir habis-habisan.
Tim juga, alhamdulillah bertambah. Sekarang gue officialy sebagai anak band. Bahkan sudah punya manajer yang membantu mengatur jadwal manggung kami. Meskipun dia masih kerabat gue sendiri, tapi itu sangat membantu.
Weekend ini jadwal gue ke kota gudeg. Ini adalah untuk pertama kalinya gue ke sana. Penasaran sih. Banyak yang bilang katanya kota itu sangat istimewa. Seperti nama yang disandangnya, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gue sempat searching juga tentang banyak tempat wisata yang nanti jadi agenda gue buat keliling-keliling. Seperti beberapa pantai yang ada di gunung Kidul. Atau tempat khas Jogja yang nggak boleh ketinggalan, Malioboro. Dan masih banyak lagi tempat-tempat nongkrong yang hits di Jogja. Gue lupa namanya. Kalian yang tinggal di Jogja atau yang sering kesana pasti tahu. Nah, kebetulan juga seminggu kedepannya, jadwal kosong. Jadi, gue bisa liburan. Memanfaatkan waktu luang.
Tok tok tok!!!
Suara pintu kamar kos gue ada yang mengetuk. Feeling gue mulai nggak enak. Benar saja, begitu gue buka pintu.
"Surpriseeee..." Suaranya kencang sekali.
Sudah bisa ditebak. Dan gue sama sekali nggak terkejut. Yang ada malah aneh kalau gue terkejut.
"Ih kok lo B aja sih, Ka?" Tanyanya, setelah itu langsung nyelonong masuk ke dalam sebelum gue suruh.
"Lo nggak kaget gitu? Lihat gue tiba-tiba dateng?" lanjutnya.
"Enggak."
"Ih masa sih?"
"Gue udah tahu dari cara lo ketuk pintu yang nggak ada aturan."
"Hahahaha," tawanya terbahak.
"Mau ngapain lo?"
"Jalan yuk," ajaknya.
"Kemana?"
"Ya, nggak tahu. Yang penting keluar. Gue bosen banget."
"Sebelum lo tentuin mau kemana, gue nggak akan mau pergi."
Hal ini gue lakukan karena gue nggak mau kejadian yang lalu-lalu itu terulang lagi. Dia itu kebiasaan bilang bosan, setelah itu ngajak jalan, tapi enggak tahu tujuannya ke mana. Ujung-ujungnya cuma muter-muter nggak jelas. Buat gue itu buang waktu.
"Ya ke mana aja lah, Ka. Yang penting kita keluar. Udah lama loh kita nggak main bareng semenjak lulus."
"Apaan, baru juga minggu lalu gue ajak lo makan."
Iya. Minggu lalu untuk pertama kalinya gue yang ajak Naira jalan-jalan keliling kota tua. Selama seharian gue menuruti apa pun keinginan dia. Gue berusaha menjelma menjadi Arka yang manis, tanpa berdebat sama sekali. Ya, hitung-hitung menyenangkan sahabat. Mumpung ada rejeki lebih. Lagi pula selama ini dialah yang selalu ada buat gue dalam kondisi apa pun. Ya, meskipun nyebelin, tapi dia tetap sahabat terbaik gue.
"Jadi gimana?"
"Apanya?"
"Ya elo mau kemana, dodol."
"Makan taichan aja deh. Gue laper."
Lima menit siap-siap, lima belas menit waktu perjalanan. Akhirnya kita sampai di tempat makan pinggir jalan. Sebenarnya ada banyak penjual yang berjajar. Tapi kita lebih suka sate taichan dan juga aneka seafood yang ada tepat disebelah penjual taichan.
Ini adalah tempat favorit kita dari jaman masih sekolah. Kalau gue libur manggung dan lapar tengah malam, tempat ini jadi penyelqmat perut gue. Andalan gue banget. Dan Naira jadi ikut-ikutan suka sate gara-gara sering ikut gue kesini.
Namanya adalah sate taichan shinchan. Agak aneh di dengar. Kenapa harus memakai nama karakter shinchan di belakangnya? Dan gue pernah nanya, katanya pemilik aslinya adalah orang keturunan jepang yang sudah lama tinggal di Indonesia, dan dia memiliki alis yang tebal seperti shinchan. Tapi selama gue makan di tempat itu, belum pernah gue ketemu sama pemilik dengan ciri-ciri seperti itu. Ada-ada saja memang.
"Pak, seperti biasa ya."
Sambil terus melayani pembeli, dia mengacungkan jempolnya ke arah gue.
"Ka, gue mau nasi goreng gila juga, dong."
"Yaudah lo pesen, deh."
"Gue, yang pesen?" Tanyanya dengan raut muka enggak yakin.
"Iya."
"Tapi kan disitu banyak cowok-cowok, Arka."
"Ya, terus kenapa? Namanya juga tempat umum."
"Gue takut digangguin."
"Hahahaha. Sejak kapan lo takut? Lagian siapa yang mau gangguin elo??"
"Kayaknya mereka cowok nggak bener, deh."
"Tau dari mana lo?! Jangan suka menilai orang cuma dari penampilannya aja. Bisa jadi apa yang lo lihat nggak baik justru malah yang sebaliknya."
Dia masih diam dengan kegundahannya.
"Sekarang gue tanya. Lo bisa lihat kalau mereka orang baik dari mananya?"
"Gini ya, Naira Kemala, yang rambutnya keriting. Nggak semua orang yang bajunya acak-acakan, badan penuh tato dan pake kalung rantai itu preman. Bisa jadi mereka cuma ingin mengekspresikan diri mereka."
Entah malas berdebat lebih panjang atau karena alasan yang lain, Naira pun bergegas menghampiri Abang tukang nasi goreng.
"Bang, nasi goreng gila satu porsi ya."
Baru selesai memesan, tiba-tiba Naira berteriak. Kencang sekali. Lebih ke, menjerit sebenarnya.
"Arkaaa..."
Mendengar teriakan Naira, gue langsung menghampiri. Gue tahu, dia nggak akan minta tolong selagi masih bisa mengatasi suatu masalah. Tapi kalau sudah teriak, artinya gue diminta untuk turun tangan.
"Kenapa, kenapa?"
"Ada kecoak," katanya.
"Astaga Naira. Cuma kecoak doang lo bikin heboh."
"Ya lo kan tahu, kalau gue takut sama kecoak, Ka."
"Yaudah, tu.. Tu.. tu... Udah pergi dia."
Gue menghentakkan kaki di samping kecoak itu, dengan cepat pula hewan berkaki empat yang bisa terbang itu pergi.
Beberapa orang yang ditakuti Naira terlihat menahan tawa, pun halnya dengan Abang penjual nasi goreng. Meskipun awalnya mereka juga sempat kaget sama seperti gue, tapi ketika tahu apa yang menjadi sebab teriakan itu, mereka seperti berkata, yaelah lebay banget sih. Cuma gara-gara hewan kecil bernama kecoak, bikin heboh orang makan.
Setelah drama kecoak selesai, gue dan Naira kembali ke tempat duduk semula. Sembari menunggu pesanan datang, gue cerita ke dia, kalau besok gue akan ke Jogja buat manggung bersama band gue. Dan reaksi dia...
"Eh serius lo? Gue ikut dong."
"Enggak. Gue cuma kasih tahu elo, bukan ngajak elo."
"Ayolah, Ka. Please..." Ucapnya sambil memohon. Mulai memasang wajah melasnya. Kebiasaan memang.
"Sekali gue bilang enggak ya enggak! Ini di luar kota. Gue nggak mau lo bikin ulah disana."
"Gue janji nggak bakal bikin lo susah, Arka."
Dia tersenyum simpul. Matanya disipitkan. Lalu kedua jarinya ditaruh sejajar dengan kepalanya. Duh gusti, gemas sekali orang ini. Kenapa sih gue harus dihadapkan dengan makhluk selucu ini.
"Eh, dulu waktu lo datang di acara gue, lo juga bilang kayak gitu. Tapi nyatanya?"
"Tapi..."
"Dah, makan dulu. Nih nasi goreng gila lo. Sama kayak yang pesen. Hahahaha."
Gue tertawa sambil mengacak-acak rambut Naira. Yang justru malah membuat dia jadi semakin cantik, imut, dan lucu. Pipinya makin terlihat chubby. Pokoknya saat cepolan rambutnya itu semakin acak-acakan dia akan semakin lucu. Menggemaskan.
Hampir satu jam kami ada di tempat itu. Bukan hanya makan saja, tapi sambil berbincang-bincang juga. Iya, seperti yang sudah gue bilang, bahwa kita berdua itu sangat suka ngobrol. Apa pun temanya bisa menjadi pembahasan yang menarik bagi kita. Terlebih Naira adalah tipe perempuan yang sangat kritis. Sama seperti gue, dia juga suka membahas hal-hal yang nggak penting. Tapi dia lebih parah dari gue. Seperti saat dia membahas soal style Abang penjual nasi goreng yang menurutnya warna pakaian si Abang itu nggak matching. Dia memakai kaos oranye, celana berwarna hijau neon, dan topi warna merah. Warna-warni kayak gulali. Dan itu sangat mengganggu pandangan, katanya.
"Yaudah sih, terserah dia. Kenapa jadi elo yang repot."
"Ya gue jadi nggak enak lihatnya."
"Yaudah jangan dilihat. Simpel."
"Udah keburu lihat gue."
Gue cuma bisa geleng-geleng kepala, melihat tingkah sahabat gue sendiri.
"Kira-kira inspirasi dia dari mana ya?" Dia terlihat merenung. Kedua matanya melirik ke atas. Sesekali matanya berkedip pelan.
Astaga. Itulah Naira. Bisa sangat memikirkan hal sekecil apa pun itu. Padahal itu nggak penting. Nggak ada pengaruhnya juga dalam hidup dia.
"Gini ya. Setiap orang itu punya selera masing-masing dalam berpenampilan. Elo nggak bisa memaksakan selera lo harus jadi patokan penampilan orang lain. Ya, mungkin yang menurut lo keren, bisa jadi biasa aja dimata abang itu. Dan dia punya ciri khas sendiri tau, dengan pakai baju warna-warni gitu. Menurut gue abang itu keren sih."
"Keren dari mananya?"
"Abang itu berani tampil beda. Dia bisa mengekspresikan dirinya."
Sebenarnya dia masih belum puas dengan akhir dari perbincangan kita, tapi gue buru-buru ajak balik karena sudah malam. Nggak baik juga buat dia kalau pulang terlalu malam.
Dan baru setengah jalan, ternyata bensin motor gue habis. Dan gue terpaksa balik jalan ke belakang untuk beli bensin. Awalnya gue ajak Naira untuk ikut sekalian jalan kaki, tapi dia menolak dengan alasan capek kalau harus jalan dan dia juga kekenyangan. Akhirnya cuma gue yang jalan, sedangkan Naira tetap di tempat motor mogok. Dia duduk di trotoar jalan sambil jagain skuter kesayangan gue. Oh iya, gue lupa bilang. Alhamdulillah gue bisa beli dua motor. Pertama motor dilan dan yang kedua skuter kesayangan. Kenapa gue bilang kesayangan? Karena dari dulu gue pengen punya motor bebek yang unik dan antik.
Oke. Jujur, sebenarnya gue takut ninggalin Naira sendiri di pinggir jalan. Kalian semua tahu kan, betapa gue nggak mau hal buruk terjadi sama Naira, sekecil apa pun itu. Dan jalanan tempat motor gue mogok juga lumayan sepi.
Gue mempercepat langkah kaki gue. Karena semakin lama pikiran gue semakin nggak enak. Takutnya nanti kalau Nakra ada apa-apa dan dia teriak minta tolong gue nggak dengar. Oke. Lari sepertinya lebih baik.
Sampai di tempat penjual bensin eceran, gue langsung ambil 1 dan kasih uang.
"Mas ini uangnya,"
"Udah mbak kembaliannya ambil aja." Tanpa melihat, gue buru-buru mau pergi.
"Tapi mas..."
Si mbak penjual bensin itu mengikuti langkah kaki gue.
"Udah mbak. Nggak apa-apa ambil aja."
"MAS!!!"
Gue berhenti dan nengok ke belakang.
"Uang sampean itu cuma dua ribu."
Gue kaget dan kembali. Pas gue lihat, ternyata benar. Gue salah kasih uang. Asli malu banget sih. Tapi yasudah, akhirnya gue minta maaf dan ganti dengan uang lima puluh ribu.
Sepanjang jalan rasanya ingin menertawakan diri sendiri. Bodoh banget gue hahaha.
Arkaaaaa....
Arkaaaaa...
Arkaaaaa....
Semakin lama teriakan itu semakin kencang.
"Astaga, Naira."
Gue lari sekencang-kencangnya. Sepertinya ini bukan masalah kecoak. Teriakan Naira disertai dengan suara tangisan. Tuhan, lindungi dia.
Gue sampai. Gue letakkan bensin di samping motor. Dan Naira, sudah penuh dengan air mata. Dia teriak sambil menangis. Berusaha sekeras mungkin melepaskan tangannya dari si cowok brengsek.
"LEPASIN NGGAK!!!
"Wah wah... Cowoknya datang nih," ucap cowok itu.
"Dia tarik tangan gue, Arka," ucap Nakra terisak dan menahan sakit karena tangannya ditarik terlalu kencang.
Begitu bisa lepas, dia langsung lari dan peluk gue. Pertama kalinya gue lihat Naira ketakutan.
Jujur, gue sangat membenci yang namanya perkelahian. Tapi gue juga nggak bisa lihat perempuan dilecehkan. Apalagi ini Naira. Bisa dibilabg oang yang penting dalam hidup gue.
Awalnya gue mencoba untuk menahan amarah. Sampai pada akhirnya, laki-laki itu berkata, "Cewek lo boleh juga. Buat gue aja."
Secepat kilat, kepalan tangan gue menonjok muka dia. Sekeras mungkin tenaga tangan kanan gue mendarat di pipi orang itu. Dia sudah keterlaluan. Padahal Naira enggak memakai baju seksi. Dia hanya memakai jeans dan hoodie hitam. Bahkan jeans yang dia kenakan jauh lebih longgar dari biasanya. Memang otak lelaki itu sudah rusak. Kurang ajar.
Kelakuan tidak cocok dengan penampilan. Bahkan terlihat sekali, dia bukan anak orang sembarangan. Dari apa yang dia kendarai dan barang-barang yang menempel di badan dia. Memang, orang yang berpenampilan bagus tidak menjamin memiliki perilaku yang bagus pula.
Sekali lagi gue lihat wajah dia ganggu orang yang gue sayang, gue enggak akan tinggal diam.
"Lo nggak apa-apa kan?"
Tanpa menjawab, Naira hanya menangis. Kakinya terasa lemas. Untuk pertama kalinya gue melihat Naira menangis ketakutan. Dia sampai menggigit jemarinya. Wajah cerianya berubah menjadi sendu.
"Arka... Kenapa dia jahat sama gue?" Tanyanya masih dalam tangis.
"Udah. Enggak usah dibahas . Yang penting lo nggak kenapa-kenapa."
Sesekali dia menahan sakit ditangan kanannya. Dan pas gue lihat,
"Astaga. Sampe merah gini. Ke kos gue dulu ya. Gue obati."
Dia menggeleng. Dan hanya mau pulang.
"Oke, kita pulang."
Sumpah, gue enggak tega lihat Naira nangis. Dia itu seperti keceriaan gue. Kalau keceriaan dia hilang, ya kalian bisa bayangin seperti apa hidup gue.
Ayah selalu mengajarkan gue untuk menjaga perempuan yang ada dalam hidup kita. Sebagai laki-laki, seharusnya kita itu menjadi pelindung bagi mereka. Agar mereka merasa aman saat berada di dekat kita. Bukannya malah merasa terancam.