" Arka, gue deg-degan parah."
"Tenang... Tenang..." Gue mencoba menenangkan kegugupan si Naira.
"Ini pertama kalinya gue tampil di depan orang banyak."
"Jangan bilang lo lupa semua dialognya."
"Gue ingat kalau sekarang, tapi nggak tahu pas di atas panggung nanti."
"Duh, Naira..." Gue menepuk jidat gue sendiri.
"Iya, namanya juga demam panggung, Ka. Gue nggak tahu apa yang akan terjadi diatas panggung nanti. Baru di belakang aja udah segemeter ini badan gue. Gimana pas udah naik nanti? Liat orang begitu banyak. Itu nggak bisa gue prediksi. Ya, pokoknya ntar lo harus bantuin gue, kalau gue lupa. Gimana pun caranya."
"Ih, dasar lo. Nyebelin disituasi genting."
Selama beberapa menit gue berdebat sama dia. Dan perdebatan itu diakhiri dengan teriakan Naira yang lumayan kenceng di detik-detik terakhir sebelum kami semua naik panggung, untuk perkenalan semua pemain. Dasar cewek aneh.
Untuk merayakan kelulusan, kami membuat semacam pentas seni. Dan kebetulan kelas kami kebagian drama musikal yang bercerita tentang kisah cinta dalam persahabatan. Tentang bagaimana mereka saling menyembunyikan perasaan masing-masing, karena jika salah satu diantara mereka tahu, dan rasa itu tidak berbalas, taruhannya adalah kemungkinan besar persahabatan akan renggang. Bahkan mungkin juga hancur.
Tapi kisah kali ini berbeda. Mari kita saksikan drama musikal itu.
๐๐๐
-Pentasma-
Ini adalah rutinitas Arjuna setiap hari. Pagi, menjemput Airin untuk berangkat sekolah bersama-sama. Oh iya, Airin adalah sahabat masa kecil Arjuna. Mereka sempat terpisah karena Airin harus pindah ke luar kota, mengikuti kemana ayahnya bertugas. Dan sekarang, saat sudah SMA, ternyata Tuhan mempertemukan mereka kembali di sekolahan yang sama, secara tidak sengaja.
Dan sejak saat Airin masuk di sekolah yang sama dengan Arjuna, dia ingin mengulang kebiasaan masa kecilnya dulu. Yaitu berangkat sekolah bersama.
"Sudah siap??" Tanyanya pagi ini.
"Juna..."
"Iya."
"Sepertinya kamu lagi sakit."
Ini cewek punya indra ke enam apa gimana? Kenapa dia bisa tahu? Padahal gue nggak cerita apa-apa kalau gue lagi nggak enak badan. Gumamnya seraya melepas helm.
"Enggak kok. Kamu jangan sok tahu deh. Udah ayo berangkat. 5 menit lagi telat kita."
Kehadiran Airin seperti cahaya bagi Arjuna. Sebab, semenjak ada Airin, Arjuna pelan-pelan mulai berubah. Dia bahkan sudah tidak pernah bolos sekolah lagi. Padahal sebelumnya, gaya sekolah Arjuna seperti puasa sunah. Hanya sekolah dengan benar setiap hari Senin dan kamis. Sisanya, hanya absen. Setelah itu nongkrong di kamar mandi atau di kantin. Dia juga jadi langganan guru BP. Entah karena rambutnya yang selalu gondrong atau bikin rusuh dengan kelas lain.
Hingga akhirnya Airin datang. Entah pakai rayuan maut apa, sampai-sampai seorang Arjuna bisa berubah 180 derajat.
Setelah kurang lebih 15 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di sekolah. Terlambat. Gerbang sudah di kunci oleh Pak Karim. Seandainya sendiri, sebenarnya bisa saja, Arjuna manjat gerbang atau putar balik pergi ke warung Bu Sri. Tempat Arjuna dan gengnya berkumpul. Pasti disana sudah ada Bowo, Andre, Panji, Eros, Tomi dan Susi, pacar Bowo yang jadi ikut beringas, semenjak dekat dengan Bowo.
Sekarang pilihannya ada di tangan Arjuna. Mau membawa Airin untuk ikut-ikutan enggak bener, mengikuti jejak Bowo dan Susan. Atau malah sebaliknya, Arjuna lah yang terbawa oleh sikap Airin yang lempeng. Nggak neko-neko. Tapi bisa menarik perhatian banyak orang. Intinya, tidak perlu menjadi nakal untuk dikenal.
"Juna. Telat!" Serunya sambil berkacak pinggang dan memasang muka sebel, bibirnya sedikit monyong.
Tuhan.. Gemes banget. Dalam hati Arjuna.
"Yaudah." Dia turun dari motor dan langsung jongkok di gerbang, "Ayo sini."
"Mau ngapain?"
"Ya mau angkat kamu. Ayo cepet kamu naik punggungku."
"Gimana caranya? Lagian itu ada Pak Karim."
Detik berikutnya, Airin sudah sesenggukan. Dia nangis. Saking takutnya.
"Loh, Heh... Kamu kenapa?"
Tidak ada jawaban.
"Ai.. Kamu ini kenapa? Kenapa tiba-tiba nangis?"
"Aku takut."
"Astagaa... Ini cuma telat 5 menit doang loh."
"Tapi ini untuk pertama kalinya aku telat ke sekolah. Nanti kalau ketahuan guru BP gimana? Terus kalau Ibuku dipanggil, aku harus bilang apa?"
"Ya ampun Airin. Kamu tenang aja. Nggak akan terjadi apa-apa. Ibu kamu nggak akan dipanggil guru BP. Percaya deh sama aku. Sekarang kamu naik punggung ku, cepetan."
Arjuna kembali jongkok dan bersiap menerima injakan dari Airin yang sekarang sudah besar. Ini pasti akan berat.
Dengan susah payah, akhirnya Airin bisa melewati gerbang besi. Tak lama datanglah pak karim dengan membawa tongkat hitamnya yang dipukul-pukulkan ke telapak tangan kirinya.
"Eh pak karim," sapa Arjuna duluan.
Di sebelah pak karim, Airin sudah seperti manekin. Wajahnya pucat. Dia ketakutan lagi.
"Junaaa..." Katanya lirih. Matanya sudah berair lagi wkwkwk.
"Nih pak," Arjuna menyodorkan dua lembar uang lima puluh ribuan, "Buat beli kopi sama rokok."
Wajah pak karim yang garang pun berubah jadi sangat manis. "Terima kasih mas Juna."
"Ini sahabat saya, namanya Airin. Jangan sampai ketahuan guru BP ya, Pak."
"Siap, mas."
"Terus kamu?" Tanyanya khawatir.
"Udah, tenang aja. Kamu masuk dulu, buruan. Keburu makin telat."
Setelah memastikan Airin benar-benar aman sampai kelas, barulah Arjuna pergi dengan skuternya. Ke warung Bu Sri.
***
"Weee... Pangeran kita akhirnya muncul juga nih," celetuk Bowo.
"Iya nih. Kemana aja lo. Sekarang udah jarang kumpul," sahut Andre.
"Teman kita yang satu ini sekarang jadi budak cinta. Makanya nggak mau kumpul sama kita-kita." Tambah Eros.
"Semenjak lo dekat sama si Airin. Lo berubah, Jun. Lo udah nggak mau temenan sama kita lagi. Airin udah ngerebut elo dari kita semua. Bener nggak?" Kata bowo.
Semuanya diam. Tidak ada yang berani menjawab. Karena mereka paham, seperti apa jadinya kalau sampai Arjuna marah. Bisa-bisa warung Bu Sri ini roboh dan hancur berantakan.
"Kenapa si Airin nggak lo ajak kesini aja, Jun. Kenalin juga lah sama kita semua." Panji mencoba memberi saran, tapi itu jelas tidak mungkin.
"Nah, bener. Kan si Susi jadi punya temen tuh."
"Eh, Bowo. Airin beda sama kita semua. Dia anak baik-baik. Gue nggak mau bawa-bawa dia dalam pergaulan kita."
Yang enggak bener ini. Tambahnya tapi hanya dalam hati.
"Udah... Udah... Kalian kesini sebenarnya mau kumpul apa mau berantem?" Susi menengahi.
Akhirnya mereka melupakan perdebatan tadi dan memilih untuk bersenang-senang. Meskipun di cap sebagai anak nakal, tetapi mereka masih tahu batas. Mereka tidak menggunakan obat-obatan terlarang, narkoba atau pun minum alkohol. Satu-satunya kenakalan yang mereka sering lakukan adalah bolos sekolah, dan malah bikin ulah di jalanan. Konvoi motor pakai knalpot brong. Ugal-ugalan di jalan.
***
"Kamu kemarin bolos?" Tanya Airin saat ada di perpus.
"Enggak kok. Aku kemarin balik pulang. Terus ke sekolah lagi, jemput kamu."
"Bohong."
"Iya, beneran. Suer." Dua jarinya diangkat sejajar dengan kepala.
Oh iya. Ini adalah untuk pertama kalinya, Arjuna menginjakkan kakinya di perpustakaan. Padahal ruangan itu hanya beberapa langkah dari kelasnya. Dan hari ini, dia keliling-keliling perpustakaan. Melihat buku yang tersusun rapi di rak. Jujur, tidak ada satu pun buku yang menarik perhatiannya. Satu-satunya alasan yang membuatnya tertarik untuk pergi ke perpus adalah Airin.
"Kenapa kamu suka tempat kayak gini?"
"Kayak gini?!"
"Ya... Ini membosankan. Ruangan gede, isinya orang-orang yang kayak patung. Diam. Nunduk. Baca buku. Nggak seru."
"Terus kenapa kamu sekarang ada disini?"
"Mau nemenin kamu lah."
Airin menoleh cepat. Wajahnya kaget.
"Ya... Sebagai sahabat yang baik. Aku harus ada kapan pun sahabatku membutuhkan." Kelakarnya.
Padahal Airin tidak pernah memintanya untuk menemani ke perpustakaan. Malahan Arjuna sendiri yang menawarkan diri untuk menemani.
Hari ini sebenarnya Airin tidak tahu mau cari buku apa. Dia hanya ingin ke perpus saja. Akan ada yang kurang kalau tidak menginjakkan kaki di perpustakaan.
Ini kejadian langka sekali. Untuk pertama kalinya Airin bertemu dengan lelaki yang sebodoh amat itu.
Apa ini Arjuna yang aku kenal dulu? Dia beda dari Arjuna kecil yang ku kenal dulu. Gumamnya dalam hati setelah kejadian terjatuh dari bangku.
Jadi, Airin mencoba meraih buku yang ada di rak atas. Sedangkan dia tidak cukup tinggi, bahkan jinjit sekalipun belum sampai. Akhirnya dia memutuskan untuk naik ke atas bangku. Tapi ternyata satu kaki bangku itu patah. Airin pun terjatuh. Dan Arjuna? Dia hanya melihat saja. Benar-benar tidak seperti yang ada di drakor atau pun novel-novel romantis. Ketika ada cewek jatuh dengan sigap si cowok menangkapnya, lalu saling adu pandang dan lain sebagainya. Ini justru sebaliknya. Arjuna hanya bengong, setelah sepersekian detik barulah dia berlari, bukannya menolong Airin, malah buru-buru membenarkan posisi bangku yang roboh.
"Arjuna tolongin..." Teriak Airin.
--gelak penonton pun menggema, melihat kelakuan Arjuna. Hahaha.--
Baru setelah itu, Arjuna membantu Airin untuk berdiri.
"Yang jatuh aku loh, Jun. Kenapa kamu malah sibuk sama bangku?"
"Ya maaf. Namanya juga panik."
"Panik???"
"Iya."
"Baru kali ini aku lihat orang panik sesantai itu. Arjuna memang laki-laki yang aneh. Kok bisa-bisanya aku..."
***
"Pagiiiii... Yuhuuuu," teriaknya pagi-pagi.
Namun tak ada suara yang membalas. Maka sekali lagi dia berteriak.
"Airin... Selamat Pagiiiii."
Bola matanya melirik ke pergelangan tangan kiri. Jam di tangan sudah menunjukkan angka 07.00.
"Wah... Lama-lama kacau nih Airin," gerutunya.
"Aii..."
"Apa sih Jun?!" Jawabnya dengan muka murung. Sepertinya dia baru bangun.
"Malah baru bangun. Buruan mandi. Kita udah telat banget nih."
"Telat kemana? Emang ada acara kemana? Kamu nggak bilang apa-apa kemarin," jawab Airin kebingungan.
"Pake nanya kemana. Ya sekolah dong..."
Tiba-tiba Airin memegang jidat Arjuna, "Kamu sehat?"
Arjuna pun ikut kebingungan.
"Hari ini tanggal merah, Juna."
"Emang iya? Masa sih? Kok gue nggak tahu ya?"
"Kamu bukan nggak tahu, tapi nggak peduli."
Arjuna menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali.
"Udah ah, aku mau tidur lagi. Mendingan sekarang kamu pulang lagi. Oke?"
"Eh... Eh.. Jangan dong. Kamu nih, jangan tidur lagi."
"Ya terus mau apa?"
"Gini deh, sekarang kamu mandi, siap-siap, dandan yang cantik, abis itu kita olahraga ke taman dekat rumah. Kita lari. Gimana?"
Airin menatap Arjuna dari atas sampai bawah.
"Lihat. Kamu pake seragam."
"Tenang. Semua sudah ada di sana."
Arjuna menunjuk ke arah mobil sedan berwarna kuning menyala. Kali ini dia membawa mobil kebanggaannya. Tidak ada lagi skuter tua yang antik itu.
***
Olahraga berdua dengan Airin. Ini adalah sebuah momen yang langka sekali. Bertahun-tahun terpisah, dan sekarang mereka bisa bersatu kembali. Dengan kondisi yang berbeda tentunya. Sebab kini mereka sudah tumbuh menjadi dua remaja yang tampan dan cantik.
Jika dulu hanya bermain monopoli dan lompat tali. Kini mereka bisa hangout bareng, lari bareng, dan masih banyak lagi hal-hal yang bisa mereka lakukan bersama. Kata Arjuna, sebagai ganti waktu yang hilang saat mereka terpisah dulu.
Sampai juga di taman yang tak jauh dari rumah dengan berjalan kaki. Setelah itu lanjut lari-lari kecil. Sekitar 20 menit berselang, Airin terlihat kelelahan. Dia memutuskan untuk duduk sejenak dibangku taman. Menghadap ke arah matahari terbit. Yang kini sudah mulai berangkat menuju arah kepala.
"Kamu masih suka ice cream?"
"Always hahaha"
"Vanila?"
"Yes. Of course."
"Tunggu sebentar."
Arjuna meninggalkan Airin sendiri. Dia menghampiri sebuah toko kecil yang kebetulan menjual ice cream.
Arjuna kembali dengan membawa dua varian ice cream. Coklat dan vanilla. Dan juga satu botol air mineral.
"Nih, minum air putih dulu."
Airin nurut saja.
Setelah itu mereka menikmati ice cream sambil mengamati beberapa anak kecil yang bermain prosotan. Ada juga yang lari-larian. Sesekali mereka saling berpandangan, setelah itu tertawa bersama. Mengingat masa-masa kecil mereka dulu, yang tak jauh beda dengan apa yang mereka saksikan saat ini.
"Emm Airin."
"Iya."
"Aku boleh ngomong sesuatu nggak?"
"Ya boleh lah. Ngomong aja."
"Tapi kamu janji ya, jangan marah atau benci sama aku."
"Ya ampun Juna. Kamu nih kayak mau ngomong sama siapa aja. Santai aja kali."
"Beneran nih."
"Iya.."
"Janji?"
"Janji apa?"
"Ya kamu nggak bakalan marah."
"Lama-lama kamu bikin aku marah beneran ini kalau nggak ngomong-ngomong."
"Iya udah. Jadi gini... Emmmm..."
Arjuna terlihat sangat grogi sekali. Dia meremas-remas kedua tangannya.
"Ih Juna jangan bikin aku penasaran. Apaan sih?"
"Jadi, sebenarnya... Aku itu..."
"Apa? Kamu kenapa?"
"Aku... Suka sama kamu. Kamu mau nggak menemani aku, mendampingi aku dan menjadi penyemangatku sampai aku jadi orang yang berhasil nanti. Kamu mau nggak, jadi orang pertama yang aku cari saat aku bahagia, jadi orang pertama yang memberiku kekuatan saat aku terjatuh. Kamu mau, kalau aku yang akan membahagiakan kamu?"
Airin hanya termenung. Jujur dia bingung dengan semua ucapan Arjuna. Speechels.
"Airin aku janji enggak akan membuat kamu nangis. Aku akan berusaha untuk selalu ada buat kamu. Kapan pun dan dalam kondisi apa pun. Kamu mau kan setiap hari melihat aku, aku dan aku lagi dalam hidup kamu?"
Tanpa sepatah kata pun, Airin hanya menjawab dengan anggukan kepala. Matanya berair dan hampir saja butiran bening itu menjatuhi kedua pipinya.
๐๐๐
Sorak-sorai penonton semakin riuh memenuhi seluruh ruangan. Mereka berteriak sambil bersiul. Terutama teman-teman kedua pemeran utama. Drama diakhiri dengan sebuah lagu dari Rizky Febian โ Seperti Kisah.
Kedua pemeran utama lah yang membawakan lagu itu sambil bermain gitar.
Ini adalah sebuah pementasan yang sangat ditunggu-tunggu. Akhirnya setelah tiga tahun berjuang, semuanya bisa bernapas lega. Ujian sekolah sudah usai. Kelulusan sudah di depan mata. Tinggal menata rencana ke depannya. Semoga Tuhan menghendaki rencana kita semua.