--Ini tentang kamu dengan segala keunikan yang kamu miliki. Jangan mencoba menghilangkan sisi unik itu hanya karena ingin menjadi seperti orang lain.--
Tiga tahun mengenal sosok perempuan unik seperti Naira, rasanya nggak cukup untuk benar-benar memahaminya. Dia itu seperti barang antik. Unik. Meskipun suka bertingkah aneh dan sering melakukan hal-hal yang nggak diduga sebelumnya, tapi dia orang yang menyenangkan. Butuh kesabaran ekstra dalam mengerti sifatnya.
Selama gue kenal dia, jarang sekali kita akur. Kita itu lebih mirip tom & jerry sebenarnya. Setiap hari selalu bertengkar dan berdebat. Tapi ada satu hal yang membuat kita nyambung yaitu kita mempunyai satu kesamaan, sama-sama suka ngobrol. Mulai dari hal kecil sampai sesuatu yang penting kita suka membahasnya. Meskipun selalu di selingi dengan perdebatan sengit. Tapi kita suka melakukannya.
Gue mau bilang, dia sering mendapat label buruk dari orang sekitar, dari teman, tapi jauh dari sikapnya yang memang kadang beringas dan suka seenaknya, dia adalah cewek yang penuh dengan kepedulian. Hanya saja dia menyampaikannya dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang. Dan itu, bukan berarti dia salah dan cara lo yang benar. Hidup ini terlalu singkat kalau hanya dihabiskan untuk sinis pada yang nggak sesuai dengan hati.
Ada satu kalimat Naira yang gue suka banget. Dia pernah bilang ke gue gini,
'kalau kita itu hidup tidak berdasarkan versi orang-orang hebat di seluruh dunia. Hidup kita indah kalau kita bisa menghargainya. Kita harus bisa bahagia menurut versi kita sendiri.'
Ini adalah kalimat terbaik yang pernah gue dengar keluar dari mulut Naira Kemala Bimantara.
Butuh waktu yang enggak sebentar untuk menceritakan segala keunikan sahabat gue itu. Nanti akan gue lanjut, setelah gue pulang dari acara makan gratis. Saat gue udah sampai kos dan relax. Gue mau balas chat dari tuh cewek dulu. Handphone dari tadi getar-getar terus soalnya.
'Arka, udah sampai mana lo? Gue udah sampai di lokasi ini. Sorry ya tadi gue tinggal.'
Sepuluh pesan belum dibaca, disertai dengan tujuh panggilan tak terjawab.
Iya bawel. Bentar lagi gue sampe.
Sepanjang jalan, gue terus memikirkan dia. Nggak tahu kenapa, tiba-tiba otak gue ingin memutar momen ketika gue bersama dia. Seperti hari ini, kena angin apa dia minta gue temenin ke salon dan belanja, meskipun ujungnya tetap nyebelin. Karena gue ditinggal sendiri. Di bilang harus buru-buru pergi ada urusan penting. Dan gue disuruh datang ke tempat makan gratis sendiri.
Waktu yang gue butuhkan untuk sampai di tempat makan sekitar 20 menit dari tempat sebelumnya. Naira bilang nama tempatnya kafe tanpa nama.
Parkir motor, lepas helm, benerin rambut sebentar, gue baca nama kafenya,
"Kafe tanpa nama."
Naira bilang tempatnya ada di lantai atas. Tanpa menunggu lama, gue langsung naik ke atas.
Tapi aneh. Di lantai atas malah sepi. Semua lampu mati. Enggak ada orang sama sekali. Gue mengeluarkan ponsel dari saku celana, mencoba menghubungi Naira. Tapi tiba-tiba terdengar suara kaki berjalan, dan...
Surpriseeee.....
Semua berteriak, lampu menyala. Gue bingung. Ada apa ini?
"Selamat ulang tahun anak bunda," ucapnya menyembul dari belakang Naira dan Halil.
Astaga, gue lupa kalau hari ini gue ulang tahun. Setelah menepuk jidat, gue menghampiri mereka semua.
Adegan berjalan seperti acara ulang tahun pada umumnya. Tanpa tiup lilin, hanya memotong kue dan dibagi rata ke semua yang hadir. Setelah itu, acara makan-makan dimulai. Disini gue merasakan nikmatnya berkumpul dengan keluarga. Ini adalah momen langka. Meskipun Ayah enggak bisa hadir, karena mendadak harus pergi ke luar kota. Biasa, urusan pekerjaan. Pun halnya dengan papanya Naira yang enggak bisa hadir karena sedang ada kerjaan di Papua.
Kehadiran Bundahara. Sepupu gue, si Halil. Mama Raya, Mamanya Naira. Adiknya Naira, si Shaga, itu sudah cukup buat gue.
"Terima kasih loh Naira, sudah repot-repot bikin acara kayak gini," ucap bunda.
"Iya, sama-sama tante," jawabnya seraya manggut kepalanya.
"Naira, gimana sekolahnya? Setelah lulus mau lanjut kemana? Atau punya planing lain?" Tanya bunda gue.
"Masih bingung tante."
"Bingung kenapa?" Tanya bunda gue lagi.
"Ini lo mbak, dia bingung, mau lanjut sekolah disini aja atau diluar," sahut tante Raya, Mamanya Naira.
"Udah, disini aja barengan sama Arka lagi."
Naira hanya diam sambil senyum-senyum.
"Kualitas pendidikan disini juga nggak kalah bagus kok, Nai. Dari pada jauh-jauh kan mending disini aja,"
"Bunda ih. Jangan menghalangi orang yang mau mengejar cita-cita gitu dong." Gue mencoba membuat bunda untuk berhenti bertanya.
"Halah, kamu juga senang kan kalau Naira tetap ada disini nggak jadi sekolah di luar. Udah ngaku aja deh."
Meledek sekali bunda ini. Gue jadi malu sama mamanya Naira. Meskipun kita sudah bersahabat lama, tapi kalau membahas hal-hal penting, gue dan Naira masih terlihat agak kaku. Beda dengan ketika kita semua ngobrol santai seperti biasanya.
Tak lama setelah pembahasan sekolah, Naira pamit ke kamar mandi. Gue pikir ini adalah cara dia menghindar dari obrolan kami barusan. Ternyata salah. Detik berikutnya, gue malah mendengar suara petikan gitar. Buru-buru kepala gue berputar arah.
Di depan sana dia sudah duduk di kursi ditemani oleh Halil yang bermain gitar. Naira membawakan lagu yang akhir-akhir ini selalu dia dengarkan. Happier.
We broke up a month ago
Your friends are mine, you know, I know
You've moved on, found someone new
One more girl who brings out the better in you
Sangat menghayati sekali. Suara Naira itu keren. Bagus, indah, lembut. Ah, pokoknya enak di dengar. Kalau kata orang-orang, sopan banget masuk ke telinga. Dari bait pertama sampai di akhir lagu, dia membawakannya dengan sangat indah sekali. Dan gue? Cuma bisa bengong, mata terbelalak, mulut melongo. Sulit di percaya, seorang Naira bisa bernyanyi seindah itu. Gue bingung bagaimana caranya mengungkapkan indahnya suara dia dalam bentuk tulisan.
Yang harus selalu kalian ingat adalah, Naira selalu mengikat rambut ikalnya itu. Dia cepol ke atas. Rambutnya keriting tapi bagus. Bukan kribo ya, tapi keriting. Dan dia selalu memakai pakaian yang simpel. Hanya jeans dan t-shirt. Atau hoodie. Pokoknya pakaian yang simpel-simpel. Dia hampir nggak pernah pakai rok.
Dan malam ini, dalam sejarah pertemanan gue sama dia, untuk pertama kalinya gue lihat dia pakai midi dress berwarna hitam polos dipadukan dengan heels berwarna senada. Dan seperti yang tadi gue bilang, dia cepol rambutnya. Kali ini ditinggal beberapa helai di bagian depan. Ini adalah pemandangan langka buat gue. Gue bukan hanya mendengar suara yang indah, tetapi juga pemandangan yang menakjubkan.
"Naira... Elo itu sebenarnya cantik. Tapi kenapa harus nyebelin???"
"Naira cantik banget ya, Ka," kata Bunda menepuk pundak gue.
"Iyalah. Kan dia perempuan, Bun."
Muka Bunda melengos mendengar jawaban gue. Kemudian dia kembali menikmati penampilan Naira bersama Halil.
Kami semua yang duduk seperti sedang menyaksikan acara pencarian bakat. Begitu selesai bernyanyi, semua spontan tepuk tangan.
"Lo ngapain ganti baju?" Tanya gue begitu Naira kembali ke tempat duduk.
"Ya terserah gue lah. Kan gue yang ganti baju. Kenapa elo yang repot?"
"Ya gue cuma nanya aja. Tumben banget soalnya lo pakai dress gini."
"Tapi gue cantik kan?" Sikunya menyenggol tangan gue yang mau ambil minum.
"Enggak. Biasa aja!"
"Terserah apa kata elo. Yang penting kata nyokap lo gue cantik. Hahaha"
Gue enggak mau bilang kalau malam ini dia memang cantik. Gue enggak mau dia semakin besar kepala, setelah sebelumnya bunda memuji habis-habisan penampilan dia. Tapi memang dia cantik. Serius. Gue enggak bohong. Cuma ya sekali lagi gue enggak mau bilang itu di depan dia. Gila aja. Gengsi broo hahaha.