Drama yang yang baru saja terjadi di vila Danish membuat semua yang ada di sana ketakutan apalagi Pak Susanto dan istrinya menunggu keputusan dari Danish perihal hewan yang bisa masuk ke dalam kamar utama. Ibu Susanto terlihat lemah dan hanya bisa pasrah jika Danish memecat mereka menjaga vila hanya masalah hewan.
"Bagaimana nasib kita sekarang, Pak?" tanyanya pelan.
''Kita tunggu aja Tuan Muda, Bu.'' Ibu Susanto hanya bisa mengangguk pasrah.
Terdengar suara kaki melangkah turun ke bawah sepasang suami istri itu semakin takut melihat kedatangan sang majikan beserta dengan istri mudanya. Kali ini pemandangan indah terlihat pada sepasang suami istri karena wajah Marsha terlihat lebih segar daripada sebelumnya.
''Pak Susanto, saya mau keluar dengan istriku!" ucap Danish datar.
''Baik Tuan Muda,'' balas Pak Susanto lalu beranjak dari sana.
"Tuan, maaf kami tidak relevan bekerja hingga membuat anda bersama dengan Nona tidak nyaman liburan ke sini,'' ucap Ibu Susanto lirih.
"Oh soal hewan tadi?" tanya Danish dingin.
"Ya Tuan Muda.'' Danish tertawa kecil melihat wanita paruh baya tersebut benar-benar ketakutan.
"Tidak apa-apa tapi sering-seringlah membuat seperti itu karena aku baru aja mendapat banyak keuntungan dari istriku ini,'' ucap Danish dan menatap Marsha yang tercengang mendengar ucapannya.
''Maksud Tuan?" tanya Ibu Susanto tidak mengerti.
"Istriku akhirnya lunak kepadaku, Bu.'' Marsha tersedak dan langsung meninggalkan Danish karena malu. Danish tertawa kecil berhasil menggoda Marsha lalu tatapannya kembali kepada wanita paruh baya yang ada di hadapannya ini.
"Jangan takut Bu. Semua yang terjadi Danish yang lakukan,'' ucap Danish lalu meninggalkan ruang tengah menyusul Marsha yang sudah kebakaran jenggot.
Di teras, Marsha kepanasan padahal cuaca hari ini terlihat mendung namun tubuhnya bisa mengeluarkan keringat. Sebuah tangan kekar memeluknya dari belakang dan mengunci tubuh kecil Marsha.
''Jangan bergerak jika tidak sesuatu akan terjadi disini!'' ancam Danish.
"Tuan tapi jangan lakukan di sini?" balas Marsha panik karena mereka berdua berada di tempat area terbuka.
"Memangnya kenapa? Aku kan memeluk istriku.'' Danish semakin mempererat pelukannya dan tidak memperdulikan wajah Marsha memerah dan bercampur keringat. Pak Susanto akhirnya tiba dan turun cepat memberikan kunci kepada Danish.
''Pak, katakan kepada Ibu lakukan sesuatu nanti di dalam sebelum saya kembali!" pesan Danish.
"Baik Tuan.'' Marsha bingung dan tidak mengerti apa yang di obrolkan Danish. Mempersiapkan sesuatu namun dia tidak mengetahuinya.
''Bahasa orang kaya memang tidak akan pernah dimengerti orang sepertiku,'' batin Marsha dalam hati.
''Kau akan terus di situ berdiri, Istriku?" tekan Danish.
"Ya Tuan.'' Marsha panik lalu masuk ke dalam.
Perjalanan sore ini sama sekali tidak terencanakan namun bukan Danish namanya jika tidak melakukan sesuatu yang konyol selama liburan serta honeymoon. Mereka berdua kini berada di pusat kota kecil banyak para warga yang melihat kedatangan mereka kagum apalagi ketampanan Danish menarik perhatian para wanita.
Marsha kagum melihat kota kecil apalagi masyarakatnya baik dan ramah terhadap turis yang datang. Seketika Marsha langsung melupakan sejenak masalahnya bersama dengan Danish karena antusias melihat pentas seni yang dilaksanakan para warga di tengah kota.
''Cantik sekali lukisan ini!" jerit Marsha.
"Aku bisa membeli lukisan lebih cantik dari situ,'' ucap Danish arogan.
Wajah bahagia Marsha cemberut lalu dia sama sekali tidak memperdulikan omongan Danish dan kembali menyusuri lukisan yang sedang dipamerkan. Bagaikan anak kecil yang baru saja keluar dari kandang Marsha terlihat girang dan bermain-main dengan para anak-anak.
"Kakak cantik sekali,'' puji mereka bersamaan.
''Terima kasih dan kalian juga tampan,'' balas Marsha.
''Kakak mau tidak menjadi calon istriku di masa depan?" tanya anak laki-laki tersebut yang masih berusia kisaran tiga belas tahun.
Danish melotot mendengar pertanyaan anak kecil yang masih bau kencur meminang Marsha tanpa filter ucapannya. Tidak terima ada yang mau merebut Marsha, Danish langsung menghampiri mereka berlima.
''Siapa yang baru melamar dia?" tanya Danish galak.
"Revan Paman tua,'' balas anak yang satu yang tidak disebut namanya.
"Apa? Kau menyebutku apa barusan?" tanya Danish berang.
''Paman tua-tua,'' jawab mereka serempak.
"What?! Hei anak-anak kakak belum setua yang kalian lihat,'' bela Danish. Berbeda dengan Marsha sedari tadi tertawa menyimak Danish yang arogan ternyata bisa kalah dengan anak kecil.
"Tapi wajah Paman sama tuanya dengan Bapakku,'' jawab Revan.
''Oh My God?! Bagaimana bisa mereka beranggapan bahwa aku ini adalah pria yang sudah memiliki anak selusin mencetak aja belum pernah,'' kesal Danish.
"Kakak, tidak menjawab pertanyaan Revan tadi?" tanya Revan sambil meraih tangan Marsha.
"Hei, lepaskan tanganmu dari sana!" perintah Danish tidak terima ada pria yang menyentuh tangan Marsha kecuali dia.
"Paman tua kenapa keberatan Revan menyentuh tangan kakak cantik?" balasnya galak.
"Kakak cantik ini istriku jadi jangan coba-coba melamarnya lagi,'' tegas Danish.
''Tuan menyebutku apa tadi? Kakak cantik? Oh so sweet sekali,'' goda Marsha sambil kedipkan kedua bola matanya terlihat seperti bayi.
''So sweet!" teriak Revan dan kawan-kawan bersamaan sampai suara mereka memenuhi area tersebut sampai menarik perhatian para pengunjung.
"Kalian semua keterlaluan pergi sana mengganggu aja!" pekik Danish malu menjadi bahan tawa.
"Tapi kami tidak bisa pergi dari sini karena lukisan ini kami yang belum menghasilkan Paman,'' lirih Revan.
"Tuan, bisa bicara sebentar?" ucap Marsha halus setelah melihat kesedihan di mata para anak-anak tersebut terlihat jelas bahwa mereka sedang berjualan di pentas seni ini.
''Apa? Jangan katakan kalau kau juga tidak mau meninggalkan tempat ini?!" ucap Danish penuh penekanan.
"Bukan seperti itu tapi lihatlah kasihan mereka hanya demi sesuap nasi rela berjualan padahal seharusnya di usia seperti ini belajar bukan berjualan,'' lirih Marsha.
"Lalu, apa hubungannya denganku?" tanya Danish arogan berpura-pura tidak mengerti.
"Tuan, saya ingin membeli lukisan ini tapi saya tidak memiliki uang,'' ucap Marsha pelan agar anak-anak tidak mendengar.
Danish mengerti maksud ucapan Marsha senyuman licik terlihat dari sudut bibir tipis itu. Ini kesempatan untuknya bisa membuat Marsha bisa berketuk lutut kepadanya.
"Baiklah aku akan membeli semua lukisannya tapi.'' Revan dan kawan-kawan langsung bersorak mendengar jawaban Danish dan langsung berhambur memeluk mereka berdua.
"So sweet! Terima kasih Paman dan kakak cantik mau membeli lukisan kami ini!" ucap mereka bersamaan.
"Hei jangan memelukku!" teriak Danish tidak terima.
"Sama-sama Sayang.'' Marsha kembali membalas pelukan Revan dan kawan-kawan dan tidak lupa memberikan sebuah hadiah sentuhan ke pipi mereka masing-masing.
"Dia memberi sentuhan kepada anak-anak tapi kalau untukku selalu bergetar,'' kesal Danish karena dia juga tidak mendapat hadiah dari Marsha.
"Tuan, terima kasih sebagai gantinya nanti malam saya akan berikan hadiah khusus untuk anda,'' ucap Masha pelan agar anak-anak tidak mendengar. Kedua bola mata Danish melebar mendengar hadiah yang akan diberikan Marsha kepadanya seketika otaknya travelling.
''Sekarang kita pulang!" ucap Danish dan langsung buru-buru memberikan uang dengan nilai yang besar kepada Revan dan kawan-kawan.
''Apa?!" pekik Marsha.
"Terimakasih Paman tua dan kakak cantik!" seru Revan dan anak-anak begitu gembira lukisan mereka habis dalam sekejap.