Risa mulai menjauh dari ibunya, ia sama sekali tidak menatap ibunya dan berlalu pergi meninggalkan ibunya yang masih mematung di depan pintu.
"Nak," teriak ibunya.
"Nak jangan kurang ajar sama ibu," teriak ibunya.
Risa memberhentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah ibunya. Ia melihat sang ibu nampak sedih karena perlakuan dirinya. Rasa bersalah kini menyelimuti perasaannya, dirinya berbalik dan mendekati ibunya.
"Bu, maafin Risa," tangisnya.
"Sudah sudah jangan menangis."
"Maafin Risa ya Bu," ucap Risa.
"Iya nak, ibu cuma sedih aja lihat sikap Risa seperti tadi.''
"Iya Bu, Risa janji nggak akan mengulangnya lagi."
"Iya nak."
Risa memang tidak bisa membantah sang ibu, walaupun dirinya sangat kesal dengan ibunya yang selalu menuntutnya untuk segera menikah tetapi baktinya pada ibunya tidak akan hilang.
"Nak bagaimana dengan pesan ibu tadi?" tanya ibunya.
Baru saja hatinya luluh, tetapi ucapan ibunya ini mengembalikan kekesalan yang sebelumnya telah hilang.
"Bu, nggak usah lah ngirim-ngirim pesan kayak gitu, Risa nggak suka," ucapnya.
Risa kembali ke sikap awal, dirinya berlalu pergi meninggalkan ibunya yang masih terdiam di tempat, sepertinya ibunya berusaha mencerna ucapan putrinya.
Ibu Risa bernama Kirana Larasati dan ayahnya bernama Tomi Wijaya. Ibunya kerap dipanggil Kirana dan ayahnya dipanggil Wijaya. Kirana adalah putri dari seorang tukang becak, sedangkan ibunya adalah buruh cuci. Wijaya adalah putra dari seorang pengusaha yang cukup sukses. Ayah dari Wijaya tidak pernah merestui hubungannya dengan Kirana, bahkan ayahnya menjodohkan Wijaya dengan anak dari teman bisnisnya. Tetapi Wijaya dengan tegas menolak perjodohan itu dan lebih memilih Kirana sebagai pendampingnya.
Namun orangtua Wijaya tetap tidak merestui hubungan mereka hingga suatu saat orangtuanya menarik semua aset dari Wijaya dan mengusir Wijaya dari rumah. Wijaya yang diusir dari rumah tidak membawa apapun, semua barang telah diambil alih oleh ayahnya, dirinya hanya membawa pakaian yang dikenakannya. Tidak ada kendaraan, tidak ada uang, Wijaya benar-benar tidak membawa apapun dari rumahnya.
Wijaya yang sedang putus asa memilih untuk segera menemui Kirana dan menceritakan semua kejadian yang menimpanya. Memanglah cinta mereka mengalahkan segalanya. Kirana yang saat itu menjadi karyawan di pabrik tekstil mengajak Wijaya untuk pulang ke kampung halamannya. Mereka menemui orang tua Kirana yang merupakan seorang petani. Wijaya dan Kirana akhirnya menikah tanpa sepengetahuan kedua orangtua Wijaya. Di kampung Wijaya dan Kirana diberikan sepetak tanah untuk ditanami padi.
Wijaya kala itu merasa sangat sulit beradaptasi, hidupnya yang berasal dari keluarga berada membuat dirinya tidak pernah melakukan hal seperti ini. Namun, lambat laun dirinya sudah mulai beradaptasi dan mereka berdua mengelola sawah itu bersama-sama. Kirana juga kerap ditawari mencuci dirumah tetangganya, dengan senang hati ia menerima tawaran dan mulai menjadi tukang cuci panggilan. Pekerjaan apapun akan mereka lakukan selagi halal.
Dua tahun kemudian mereka dikaruniai seorang bayi cantik yang mereka beri nama Natasya Arista Dewi. Bayi ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan mereka, Wijaya menjadi lebih bersemangat dalam mencari nafkah begitupun dengan Kirana yang juga tetap membantu suaminya mencari nafkah. Kirana mengurus bayi sambil berjualan makanan di depan rumahnya. Ia menjual gorengan, es, dan gado-gado. Dagangannya cukup ramai sehingga dapat membantu perekonomian mereka.
Putri kecilnya semakin hari semakin beranjak tumbuh menjadi anak yang sangat pintar, Risa selalu menjadi juara umum di sekolahnya dan selalu mendapat beasiswa sejak SD sampai SMA. Bahkan saat kuliah pun dirinya mendapat beasiswa 100 persen, sehingga orang tuanya tidak pusing memikirkan biaya kuliah anaknya. Selama kuliah Risa memang berpisah dari kedua orangtuanya, dirinya dikota dan kedua orangtuanya tetap dikampung.
Setelah lulus kuliah Risa memilih bekerja dikota dan mulai merintis karirnya. Berawal dari karyawan biasa sembari melanjutkan pendidikan S 2. Setelah lulus S2 dirinya mendaftar untuk menjadi dosen di sebuah universitas. Beruntungnya ia tidak kesulitan mencari pekerjaan dan dapat dengan mudah mengajar di salah satu universitas yang terkenal. Ia juga menjadi dosen yang mempunyai pengaruh besar di universitasnya.
Setelah menjadi dosen, pendapatan yang diterimanya ditabung untuk membeli sebuah rumah dikota. Setelah uangnya terkumpul, dirinya membeli rumah dan mengajak orang tuanya untuk tinggal bersamanya di kota. Orang tuanya dengan senang hati menerima ajakan Risa. Risa kasihan dengan orang tuanya yang harus tinggal di kampung hanya berdua saja. Ia adalah anak tunggal sehingga tidak mempunyai kakak maupun adik. Tanggung jawabnya sangatlah besar untuk membahagiakan kedua orangtuanya. Sehingga dirinya berusaha untuk selalu membahagiakan kedua orangtuanya.
Risa juga sudah mewujudkan keinginan kedua orangtuanya pergi ke tanah suci. Dirinya sangat menyayangi kedua orangtuanya sehingga akan melakukan hal apapun untuk membahagiakan kedua orangtuanya. Ia pun tahu bagaimana perjuangan kedua orangtuanya saat membesarkannya.
Risa melangkahkan kaki menuju kamarnya, ia sangat lelah dan membutuhkan istirahat. Ditambah dengan sikap ibunya membuat kepalanya seakan bertambah pusing.
"Nak, ibu sudah tua, ibu ingin sekali melihat Risa menikah dan menimang cucu."
Kata-kata itu selalu mengusik telinganya, bukan sekali dua kali ibunya mengatakan itu tetapi hampir setiap hari kata-kata itu selalu keluar dari mulut ibunya.
Bukan ibunya saja yang membuatnya pusing, keluarga besarnya juga ikut-ikutan menghakiminya agar segera menikah. Pernah suatu saat ketika kumpul keluarga, dirinya justru disudutkan dengan pertanyaan seputar pernikahan.
"Nak, kapan nikah?"
"Nak, kapan ngenalin ke kami?"
"Nak, kapan ngundang?"
"Nak, kapan bawa pacarnya kerumah?"
Hal inilah yang membuatnya enggan mengikuti ibunya saat kumpul dengan keluarga. Ia sudah muak mendengar pertanyaan klasik seperti itu. Bahkan dirinya lelah menjawab.
"Iya nanti kalau jodohnya datang."
Kata-kata itu selalu menjadi jawaban saat dirinya ditanya perihal pernikahan. Bukankah jawabannya adalah hal yang benar? Tetapi mengapa jawabannya dianggap salah.
"Jodoh itu dicari nak,"
"Gimana mau datang jodohnya kalau nggak di jemput."
Mengapa selalu ada jawaban dari setiap ucapannya. Rasanya walaupun berdebat sekalipun tetap tidak ada yang bisa mengerti perasaannya. Ia lebih memilih diam dan tidak ingin berdebat karena ia menghormati keluarganya. Walaupun keluarganya justru selalu menyudutkannya.
Risa terkadang berpikir apakah dirinya adalah sebuah aib dalam keluarganya? Benarkah dirinya adalah sebuah aib? Bukan, dirinya bukanlah aib. Dirinya hanya menjalankan kehidupan sesuai pilihannya dan pastinya tidak akan ada yang dirugikan atas pilihannya.
Risa memutuskan untuk membersihkan tubuhnya, rasanya tubuhnya sudah mengeluarkan aroma yang tidak sedap. Ia merasa kulitnya sudah dihinggapi banyak kotoran dan debu. Ia bergegas pergi ke kamar mandi dan melepaskan segala kepenatan dalam hidupnya.
BYUR BYUR BYUR
Suara gemercikan air terdengar di kamarnya, memang Risa mempunyai kamar mandi pribadi yang berada tepat di dalam kamarnya sehingga ia tidak perlu jauh-jauh jika ingin ke kamar mandi tengah malam. Ia memang sangat penakut, orangtuanya sudah paham dengan sifat putrinya ini. Walaupun ia sudah merantau sejak lama dan berpisah jauh dari orangtuanya tetapi sifat penakutnya tidak pernah hilang.