"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, eh, ya ampun baru pada pulang." Rana, yang merupakan Mama dari Tama tersenyum menyambut anak laki-laki beserta teman-temannya di depan pintu.
Sesuai dengan apa yang sudah Tama katakan sebelumnya, mereka benar-benar memenuhi panggilan Mama Tama untuk datang ke rumahnya.
Mereka langsung menyalami wanita cantik itu satu per satu. "Apa kabar, Tante?" tanya Gemma ketika gilirannya terakhir menyalami.
"Baik, Gemma. Kamu nih apa kabar? Tante jarang banget liat kamu main lagi ke rumah."
"Bukan Gemma yang jarang main ke rumah, tapi Mama yang sering keluar kota makanya udah jarang ketemu," Tama yang menyahut, gemas karena Mamanya lupa dengan fakta itu.
Gemma terkekeh kecil. "Aku kemarin baru aja dari sini, hehehe. Tapi hari ini ke sini lagi karena Tante yang minta."
Sambil menepuk pundak Jaemin wanita paruh baya itu tertawa. "Maklum Tante udah tua jadi pikun."
"Tante Rana mah masih muda, buktinya masih cantik," sahut Azka ikut-ikutan masuk ke dalam obrolan itu. Tentu saja dia tidak mau ketinggalan untuk memuji Mama dari sahabatnya tersebut.
"Udah, udah, kalian ini. Langsung ke atas aja dulu, nanti kalo makanannya udah matang, Tante panggil lagi biar kita makan sama-sama."
Mereka langsung mengangguk secara bersamaan dan menurut untuk langsung naik ke kamar Tama di lantai dua, membiarkan Rana kembali masuk ke dapur untuk melanjutkan acara memasaknya bersama Bibi yang bekerja di rumah itu.
"Gue mau ambil minum dulu." Gemma berbelok ke dapur, tak jadi ikut naik ke atas bersama dengan yang lain.
Jangan heran dengan tingkah mereka, karena sudah terbiasa main di rumah Tama, mereka jadi mandiri ketika ingin melakukan hal-hal kecil seperti itu. Sudah tidak heran lagi, sebab teman-teman Tama memang sudah terasa seperti anak dari Rana juga saling seringnya mereka datang setiap saat ke rumah ini. Rumah Tama memang akan selalu menjadi tempat singgah paling nyaman bagi anak-anak lima sekawan.
Rana juga sudah menganggap teman-teman Tama sebagai anaknya yang lain, apalagi Gemma, fakta bahwa laki-laki itu adalah anak rantau dari Malang yang memilih bersekolah di Jakarta dan berakhir tinggal di sebuah kos-kosan kecil, membuat Rana jadi lebih ingin memperhatikannya. Tiap kali Gemma main ke rumah ini pasti keluarga Tama akan selalu menyambutnya dengan baik seperti anak sendiri, maka dari itu Gemma betah-betah saja jika Tama memintanya untuk main ke rumah bahkan sampai menginap sekali-sekali.
Tama yang anak tunggal juga merasa tak keberatan dengan sifat Mamanya, dia justru senang karena akhirnya memiliki saudara walau tak sekandung. Memiliki teman-teman seperti anak-anak lima sekawan membuat Tama jadi tak kesepian, mereka selalu ada untuknya dan turut membantu tiap kali Tama butuh bantuan.
"Aduh!"
"Eh?! Maaf-maaf!"
Gemma refleks mundur selangkah dan kaget menatap seragamnya yang sudah basah kuyup. Dingin langsung menusuk tubuhnya akibat air yang tumpah ke bajunya tersebut.
"Aduh, maaf banget, gue nggak sengaja!"
Dengan perasaan setengah kesal Gemma menengadah dan langsung menemukan satu wajah asing di dapur rumah Tama, di depannya ada seorang gadis yang kini menatapnya dengan raut bersalah.
Melihat wajah gadis itu yang sudah pucat pasi membuat rasa kesal Gemma langsung menguar dan menghilang begitu saja, kini tergantikan oleh rasa kasihan karena terlihat sekali bahwa gadis itu sepertinya tak sengaja melakukan hal barusan.
"Maaf, maaf banget," gumam gadis itu sekali lagi, dia buru-buru mengambil lap bersih terdekat dan berniat mengelap seragam Gemma yang basah akibat tumpahan air yang dia lakukan. Gadis itu bahkan sampai gemetar ketakutan karena takut jika laki-laki di hadapannya itu akan marah kepadanya.
"Eh, nggak usah." Gemma refleks menahan tangan gadis itu yang hendak menyentuh seragamnya, tentu saja Gemma tidak akan membiarkan hal itu sampai terjadi, dia tak ingin membuat gadis itu jadi terlihat seperti seseorang yang sangat bersalah.
"Gue bersihin, baju lo jadi basah gitu gara-gara gue."
"Enggak apa-apa, nggak usah. Gue bisa pinjem baju Tama nanti, lagian gue juga salah karena jalan nggak lihat-lihat sampai nabrak lo gitu," kata Gemma serius, Gemma jadi tak tega karena gadis itu sudah terlihat seperti ingin menangis.
"Gue yang salah," balas gadis itu lagi.
Menghela napas pasrah, Gemma tahu bahwa sesi saling merasa bersalah itu tidak akan selesai jika tidak ada yang mau mengalah di antara mereka. Karena Gemma bisa melihat bahwa tidak akan ada tanda-tanda bahwa gadis di depannya ini akan mengalah, maka dari itu harus Gemma yang melakukannya.
"Oke, lo yang salah, tapi ini gue beneran nggak apa-apa. Jadi, udah stop merasa bersalah dan jangan pasang muka sedih kayak gitu lagi," kata Gemma sekali lagi, berbicara dengan serius dan frustrasi di saat yang bersamaan.
Gadis itu menengadah untuk menatap langsung wajah Gemma, kedua netra mereka bertemu pandang dan Gemma bisa melihat rasa bersalah dari tatapannya tersebut. "Lo beneran enggak apa-apa?" gadis itu bertanya lagi.
Gemma berdecak gemas, tak sadar sampai harus mengulum senyum. "Iya, bener."
Akhirnya gadis itu mengangguk, ada sedikit kelegaan dari ekspresinya yang membuat Gemma jadi tersenyum melihatnya. Gadis yang belum Gemma ketahui namanya itu pun akhirnya menunduk sopan sebagai tanda pamit kepadanya. "Kalo gitu gue permisi, maaf banget sekali lagi."
Gadis itu mulai melangkah, melewati Gemma dengan wajah tertunduk, membuat laki-laki itu sampai memutar tubuhnya untuk melihat kepergian gadis itu.
"Dia siapa sih? Gue baru banget lihat di rumah ini, tapi jujur aja itu cewek cantik juga terus gemes," ujar Gemma jadi senyum-senyum sendiri.
Mengabaikan seragam bagian depannya yang masih basah, Gemma tetap melanjutkan niat awalnya untuk minum di dapur sebelum akhirnya laki-laki itu benar-benar naik ke lantai dua untuk masuk ke kamar Tama.
***
"Tam, gue pinjem kaos dong."
Suara dan kehadiran Gemma membuat semua orang yang berada di dalam kamar itu langsung menoleh untuk menatapnya, wajah heran dengan kompak mereka tunjukkan melihat keadaan sahabatnya itu yang cukup berantakan padahal tadi dia hanya pamit untuk minum ke dapur.
"Lo abis minum di dapur atau abis mandi di kamar mandi bawah?" tanya Tama tak paham, seragam Gemma yang sudah basah membuatnya sungguh heran.
"Abis ada insiden kecil tadi di dapur," jawab Gemma sekenanya, karena memang itu yang terjadi, dia tidak tahu harus mendeskripsikannya dengan cara apa.
Tidak ada yang berkomentar setelah itu, Tama mengambilkan satu kaosnya untuk diberikan kepada Gemma sedangkan Randu dan juga Azka kembali sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mereka pikir insiden kecil yang Gemma maksudkan hanyalah Gemma yang tidak sengaja menumpahkan air ke seragamnya sendiri, tidak ada hal yang lain yang mereka pikirkan sehingga mereka bertiga memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut lagi.
Hampir tiga puluh menit anak-anak lima sekawan menunggu di kamar Tama, akhirnya terdengar suara Mama Rana memanggil dari bawah sana yang meminta mereka semua untuk segera turun ke dapur karena makanan sudah selesai disajikan.
Sejak setengah jam itu pula Gemma menahan rasa penasarannya tentang gadis itu, tadinya dia ingin bertanya pada Tama, namun ketika melihat kalau laki-laki itu kelelahan akhirnya Gemma mengurungkan niatnya.
Arjuna yang tadi sempat mengantar Aulia juga sudah kembali sejak sekitar sepuluh menit yang lalu.
Mereka berlima turun ke dapur bersama-sama, membuat dapur yang tadinya cukup sepi menjadi ramai seketika karena kehadiran mereka yang cukup banyak. Lima orang anak laki-laki sudah cukup untuk memenuhi rumah ini, apalagi ada Azka yang sering menjadi peramai suasana agar keadaan di rumah itu tidak hanya terisi dengan keheningan saja.
"Wih, Tama, siapa tuh?"
Gemma yang pada saat itu berjalan paling belakang langsung maju ketika mendengar pertanyaan dari Azka, dia berspekulasi bahwa pertanyaan Azka tadi ditujukan untuk wajah si gadis baru yang tadi sempat mengalami insiden kecil bersamanya di dapur. Praduga Gemma ternyata tepat sasaran karena dari tempatnya berdiri saat ini dia bisa melihat gadis itu sudah duduk persis di samping Mama Rana.
"Nanti juga Mama gue ngenalin ke kalian, tunggu aja," sahut Tama santai kemudian segera mengambil tempat di sebelah gadis itu.
Karena berjalan paling belakang, akhirnya Gemma mendapat tempat yang sedikit jauh, tapi Gemma masih bisa melihat gadis itu, dan ketika tanpa sengaja netra mereka bertemu gadis itu langsung tersenyum kecil sembari menatapnya.
Senyum tak enak.
'Dia masih ngerasa bersalah?' pikir Gemma di dalam hatinya.
"Sebelum makan, ini Tante mau kenalin sepupunya Tama dari Bandung," Tante Rana tiba-tiba bicara, membuat seluruh rasa penasaran Gemma terjawab sudah, ternyata gadis itu adalah sepupu dari Tama.
"Namanya Khanaya, tapi biar singkat kalian bisa panggil Hana. Kelas sebelas ini dia pindah sekolah ke Jakarta, nggak tau nih kenapa, kalo kalian penasaran bisa tanya langsung sama anaknya." Tante Rana tertawa kecil dan Gemma bisa melihat kalau gadis bernama Hana itu tersenyum lagi, kali ini senyuman canggung.
"Ini loh teman-temannya Tama yang sering Tante ceritain sama kamu, Han. Mereka yang sering dateng ke sini, jadi nanti jangan heran kalo tiba-tiba kamu ketemu mereka di rumah ya," kali ini Tante Rana bicara kepada Hana.
Mendengar itu Hana akhirnya mengangguk dan tersenyum kecil. "Iya, enggak apa-apa kok Tante, dari awal mau pindah juga Hana udah tahu." Lalu tiba-tiba gadis itu menatap satu per satu dari anak-anak lima sekawan. "Salam kenal ya semuanya," ujarnya sambil tersenyum manis.
Anak-anak lima sekawan kecuali Tama kompak ikut mengangguk sebagai balasan jawaban untuk gadis itu. "Salam kenal juga, Hana," jawab mereka satu per satu.
"Hana satu sekolah sama kita?" Randu tiba-tiba bertanya.
"Enggak, dia masuk Dharma Bangsa. Katanya nggak mau satu sekolah sama gue, soalnya takut gue jahilin," Tama yang menjawab.
"Tama diem deh," cebik Hana kesal ke arah sepupunya tersebut.
"Tante kenalin duluan, biar kalian nggak bingung kalo tiba-tiba nanti ketemu Hana. Dia tinggal di sini selama masa SMA-nya. Tadinya Hana mau kos katanya, cuma Tante enggak izinin, orangtuanya Hana juga minta Tante buat jagain dia."
Azka mengangguk setuju terhadap kalimat Rana barusan. "Bagus, Tante. Anak perempuan emang lebih baik nggak usah kos. Nanti kalo kos juga jadi kayak Gemma tuh, keseringan begadang."
"Gemma masih sering begadang?"
Gemma sekarang merasa seperti tertangkap basah oleh Ibunya ketika melakukan kesalahan.
"Tama, kayaknya Gemma harus kamu teleponin tiap malem deh, kamu suruh dia tidur," kata Rana memberi saran.
Tama mendengus mendengar itu. "Aku tahu dia sahabat aku, Ma. Tapi aku bukan pacarnya, jadi males banget aku kalo harus teleponin Gemma setiap malem," jawab laki-laki itu, yang lain hanya tertawa saja mendengar percakapan antara Ibu dan anak tersebut.
"Atau kalo nggak, Gemma suruh nginep di sini aja biar jam tidurnya nggak berantakan? Gimana tuh?" sarannya lagi.
"Mama, terus barang-barang Gemma di kosannya mau dikemanain?" Tama kali ini bertanya geli, tak habis pikir dengan saran yang dilontarkan oleh sang Mama.
"Dibawa ke sini lah! Eh, tapi ribet ya, Tam? Dijual aja kalo nggak kan lumayan uangnya, gimana Gemma?"
Laki-laki yang menjadi topik utama di dalam perbincangan itu hanya bisa meringis dan tertawa mendengar percakapan itu, hingga matanya tak sengaja melirik dan melihat Hana ikut menertawakannya di ujung sana.