Chapter 12 - Bab 12

"Cakra!" Ia tersentak. Menoleh ke asal suara, di ambang pintu, rupanya Bu Moko telah berdiri di sana dengan wajahnya yang khas. Melorot tak bersahabat, apalagi dengan orang miskin seperti Cakra.

Wanita itu berjalan mendekat, Lama-lama seperti monster yang siap menerkam mangsa. Bergidik Cakra melihatnya.

"Ngapain kamu tidur di sini? Bangun kesiangan, lagi!" Cetus suara wanita itu. Cakra yang belum usai rasa kagetnya pun harus bertambah, heran dengan pertanyaan itu.

"Maaf, bukan. Saya tadi malam ketiduran di sini," Jawab Cakra sekenanya, membuat mata Ibu mertuanya kian membulat.

"Kamu biarkan istrimu tidur sendirian di kamar sana?" Tanya Bu Moko dengan suara kencang.

"Katanya saya ini cuma pelayanan di rumah ini, Buk. Ya, saya merasa tidak pantas tidur satu kamar dengan Mbak Mega," Cakra masih menjawab enteng.

"Heh! Kamu itu sudah menjadi suaminya Mega. Seorang suami nggak pantas membiarkan istrinya tidur seorang diri di kamarnya. Apalagi kamu tau, kan? Gimana kondisi istrimu?" Bu Moko kembali memekik. Mengotori heningnya suasana pagi itu.

"Iya, bukan. Saya akan kembali ke kamar," Cakra berbalik badan, tetapi terpaksa kembali menoleh.

"Eh eh eh! Mau kemana kamu?"

"Mau ke kamar, Ibuk" Jawab Cakra dengan memutar bola mata jengah.

"Ini sudah jam berapa? Tugasmu sekarang di dapur sana, sebelum semua orang kelaparan mau berangkat kerja!"

Cakra mendengus, berjalan melewati Ibu mertuanya dengan langkah cepat. Tujuan pertamanya adalah kamar mandi di dekat dapur. Keluar dari kamar mandi, ia melihat mengartikan sudah berkutat dengan peralatan masaknya.

Jika hari kemarin, ia harus membuat nasi goreng untuk sarapan orang serumah, lalu kali ini apa yang hendak dikerjakannya? Cskra membatin sambil memandangi punggung Ibu muda satu anak itu.

"Mbak tari. Ada yang bisa aku bantu, Mbak?" Tanya Cakra tergagap. Wanita itu mengenakan piyama pendek, bahkan sangat pendek hingga memperlihatkan bentuk tubuhnya yang memang sangat ideal. Wanita itu menoleh sambil mengernyitkan mata.

"Emang kamu bisa apa?" Tari menyindir.

"Saya bisa membantu apapun," Cakra mendekat, ikut mengambil beberapa kacang panjang dan memotongnya. Tanpa ia sadari, wanita itu meliriknya dengan pandangan kekaguman.

Kaos oblong pas badan yang ia kenakan pagi ini memang membuat bentuk badannya yang kokoh itu tercetak jelas. Bagian lengan yang agak pendek, memperlihatkan otot-otot kekar meluk di tangannya. Sejenak tari tak berkedip melihat pemandangan itu. Sebelum akhirnya mereka saling kaget, mendengar suara orang berdehem di belakangnya.

"Ehem! Kalian berdua ngapain di sini?" Bima. Bertanya sambil mengernyitkan mata, menatap heran mereka berdua. Istri dan adik iparnya itu.

"Oh, sayang. Aku tadi sedang memasak, dia nyusul kesini. Nggak tau mau apa," Jawaban mentari membuat dua lelaki itu tercengang. Sementara suaminya menatap Cakra dengan pandangan menuntut.

"Aku cuma menuruti kata Ibuk. Setiap pagi dan malam, bukannya kerjaku membereskan dapur yang kotor" Melihat Bima yang sepertinya akan salah paham, Cakra memberikan pertimbangan.

"Membersihkan dapur kotor, kan? Bukan untuk berduaan dengan istriku?"

"Maaf, jika telah membuatmu salah paham. Memang belum ada pekerjaan untukku sekarang, aku ke kamar saja dulu," Usai berkata demikian, Cakra melangkah cepat meninggalkan mereka berdua. Tujuannya kali ini adalah kamar yang ditinggalkan sejak semalam.

Tiba di sana, Mega rupanya telah bangun. Gadis itu duduk di depan meja rias dengan badan lebih segar, mungkin ia baru saja selesai mandi.

"Mega?" Cakra menyapa pelan, khawatir hadis itu ketakutan lagi seperti semalam.

"Sudah bangun?" Tanyanya sambil mendekat perlahan. Karena tak ada tanda dari gadis itu akan kembali histeris, ia duduk di sebelahnya.

"Ayo keluar," Ajak Cakra mendadak membuat Mega menoleh dengan tatapan penuh tanya.

"Di kamar terus, kan jenuh. Lebih baik jalan-jalan cari angin di luar. Hari ini minggu, aku nggak kerja," Terang Cakra, tentunya dengan ucapan yang dibuat sehati-hati mungkin.

Wajah mega yang sejak tadi menatap ke arah cermin, kini berali ke wajah sang suami. "Kemana?" Ia bertanya.

"Kemana saja. Dekat pantai juga boleh, di sini kan dekat dengan pantai," Katanya. Hingga beberapa saat ia menunggu jawaban dari Mega. Sepertinya gadis itu sedang berfikir keras.

"Bagaimana, kamu mau?"

"Bagaimana kalo ada orang jahat?" Tanya Mega menampakkan raut wajah khawatir. Cakra mengulas senyum tipis, meraih pelan pundak sang istri yang kali ini tidak melakukan perlawanan.

"Kamu tenang saja. Di sana nggak ada orang jahat, kalaupun ada, aku akan menjagamu," Lirih Cakra, membuat gadis itu menoleh. Ia kembali tersenyum ketika tatapan mereka saling bertemu dan mengunci beberapa saat.

Karena Mega tergesa-gesa mengalihkan pandangannya, kembali menunduk.

"Bagaimana?" Tanya Cakra lagi, dan Mega pun mengangguk. Suaminya tersenyum lebih lebar.

"Baiklah. Kamu siap-siap dulu, ya. Aku mau mandi," Cakra melenggang ke kamar mandi, membiarkan istrinya itu berdandan sesuai seleranya.

Ketika Cakra telah keluar dari kamar mandi, ia menatap sang istri dengan tercengang. Badan ramping itu mengenakan cardigan berwarna pink pudar. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai indah, hanya dengan jepit kecil berada di atas telinga.

Hanya satu kata yang terlontar lirih dari mulut Cakra saat itu, cantik. Beruntung sekali ia mendapatkannya.

Keduanya kini sudah berada di depan pintu ruang tamu, rumah ini terlihat sepi. Tak seperti biasanya.

"Kok sepi, ya? Bapak Ibuk kemana?" Cakra bertanya.

"Tiap hari minggu mereka semua bersepeda," Jawabnya singkat, Mega menunggu di depan pintu ketika Cakra masih sibuk dengan kunci pintu rumah.

"Kamu nggak pernah ikut?" Cakra berjalan mensejajarkan dirinya dengan langkah Mega yang kecil-kecil itu. "Kita jalan kaki saja, ya?"

Mega mengangguk sebelum menjawab, "aku di rumah saja. Mereka nggak pernah ajak aku," Katanya. Seketika membuat terenyuh hati Cakra mendengar penuturan itu.

"Kenapa kamu nggak pergi aja sendiri?" Lagi-lagi Cakra bertanya. Rasa ingin tahunya tentang gadis itu semakin tinggi.

"Aku nggak berani pergi sendirian," Jawabnya. Sesekali netra menyipit itu melirik ke arah kanan dan kiri. Entah melihat apa. Karena sepanjang jalan, pandangannya selalu berkeliling ke sana kemari, seperti orang yang baru saja melihat keadaan luar.

"Baiklah. Bagaimana kalo tiap minggu aku akan ngajak kamu jalan-jalan keluar?" Cakra menawarkan diri, ia tersenyum ketika kepala tertunduk itu mengangguk samar.

Mendekati kawasan pantai, raut wajah gadis itu menunjukkan kekhawatiran. Cakra yang melihat perubahan bias wajah itu ingin sekali menjadi orang yang selalu bisa melindunginya. Kasihan sekali, apa memang takut dengan keramaian atau apa? Batinnya.

"Mega, kamu takut? Boleh aku pegang tanganmu?" Awalnya Mega menatap ragu, tetapi akhirnya mengangguk, Cakra pun mengulas senyum.

"Apa kamu takut keramaian?" Gadis itu menggeleng.

"Tapi kayaknya kamu takut?"

"Aku takut ketemu orang jahat itu," Lirih Mega. Cakra pun mengernyit, sudah beberapa kali gadis itu menyebut-nyebut orang jahat. Siapa yang dimaksud? Tanyanya dalam hati, tak sanggup mengutarakannya.

"Nggak ada orang jahat di sini, kamu nggak usah khawatir, ya," Akhirnya ia hanya bisa mengatakan itu, agar Mega tak selalu berfikiran tentang orang jahat.

Beberapa hari hidup bersama seorang lelaki bernama Cakra, membuat kehidupan Mega sebenarnya lebih baik dari sebelumnya. Pandangannya terhadap lelaki perlahan mulai berubah baik, tak seperti dulu. Yang menganggap bahwa setiap lelaki itu jahat.

Langkah mereka berhenti di depan taman pinggir pantai yang dikunjungi banyak orang. Apalagi akhir pekan seperti ini, banyak sekali pasangan keluarga bergerombol di sana. Menunggu anak-anak mereka berebut membeli cilok dan siomay.

"Mega, Cakra? Ngapain kalian di sini?" Keduanya terkejut, melihat segerombolan orang menatap aneh kepadanya.

***