"Memang posisimu apa? Sama seperti Mas Bima, kan?" Mega mencecar, entah apa maksudnya.
"Iya, tapi ada yang membedakan kami," Cakra menyahut dengan wajah penasaran. Apa gadis itu tidak tau alasan sesungguhnya mereka menikah? Ia hanya membatin.
"Karena pendapatan kalian berbeda?" Mega masih bertanya dengan tatapan menuntut. Sementara Cakra berhembus lirih, rupanya gadis itu belum tahu alasan sesungguhnya mereka menikah.
Namun, ia tak sampai hati intuk menjelaskannya. Bagaimana jadinya bila Mega tahu semua itu, sementara dengan kondisi yang seperti itu? Cakra menggeleng cepat. Tak ingin mengatakannya sekarang. Gadis itu memang tidak boleh tau.
"Mungkin iya," Jawabnya. Lantas menunduk, Mega pun sama. Hingga beberapa saat mereka saling tertunduk tanpa kata. Sibuk mengeja perasaan masing-masing.
"Mega," Cakra bersuara. Memecah keheningan mereka malam itu. Di Tengah suasana sepi malam hari, semua orang di rumah itu mungkin sudah tenggelam dalam alam mimpi. Mega mendongak, kali ini lebih berani menatap suaminya lebih lama.
"Apa kamu memang pendiam, sejak kecil?" Tanya Cakra hati-hati. Sejenak, gadis berambut lurus sebahu itu menghela nafas berat. Seperti beratnya beban yang di simpan seorang diri selama ini. Akhirnya ia hanya menggeleng, lemah sekali.
"Terus?" Cakra semakin penasaran, sorot netranya menatap lekat ke arah sang istri yang semakin menenggelamkan wajah.
"Aku, takut," Jawabnya terbata. Cakra mengernyit tak mengerti.
"Takut? Kenapa?" Cakra semakin menatap tajam pada sosok yang meremas jemari itu, sedetikpun wajahnya tak mau terangkat.
Lalu serta merta Cakra terkesiap, gadis yang tadi duduk di sebelah itu, kini telah berada di atas ranjangnya. Meringkuk di balik selimut seperti tadi. Hanya kali ini seluruh badannya tak kelihatan. Mega miring, memunggungi suaminya yang masih membelalak.
"Semua laki-laki itu sama. Mereka jahat! Mereka cuma mau mengincar barang berharga milik perempuan!" Teriaknya. Suaranya parau, bercampur isak tangis hingga membuat punggungnya berguncang hebat.
Trenyuh Cakra melihat penuturan perempuan itu, tangannya bergerak, ingin meraih pundak ramping di dalam selimut itu. Namun, belum sempat menyentuhnya. Mega kembali memekik.
"Pergi! Jangan berani-berani menyentuhku!" Tentu saja ia mengurungkan niatnya. Tangan yang sudah terulur hampir menyentuh punggung mega itu bergerak. Mengepal kuat.
Menguatkan kesimpulannya, bahwa pasti telah terjadi sesuatu pada gadis itu. Ia marah? Tentu saja, bisa-bisanya ada lelaki yang tega merusak perasaan gadis secantik itu? Pikirnya.
"Iya. Aku akan pergi. Aku akan tidur di sofa seperti kemarin," Cakra mengalah, kakinya beringsut mundur.
"Keluar!" Kedua kaki itu berhenti melangkah, menatap nanar pada sosok yang masih terguncang. Harusnya, dalam keadaan seperti itu ada yang memenangkannya. Memeluknya, memberikan semangat dan pikiran positif. Bukan malah meninggalkan seperti ini.
Namun, jika ia yang melakukannya, bukan ketenangan yang didapat. Bisa saja gadis itu akan semakin histeris. Cakra memilih untuk keluar dari kamar. Suasana rumah yang sudah sepi, membuatnya memilih berjalan menuju ruang TV. Di sana, ia pasti akan merasa terhibur dengan rasa kantuk yang tak kunjung datang.
Cakra terkesiap, ketika tiba di depan ruang TV yang masih menyala. Ada lintang di sana. Mengapa sudah tengah malam begini gadis itu belum tidur? Pikirnya sambil berjalan mendekat.
"Kamu masih di sini?" Tanyanya.
"Eh, ngapain kamu ke sini?" Lintang pun kaget dengan kedatangan kakak iparnya yang tiba-tiba. Buku tebal yang sejak tadi menemaninya itu ia selipkan di bawah bantal yang ada di samping badannya.
Membuat Cakra mengernyit, apa yang sedang dibaca mahasiswi itu hingga tengah malam begini? Kenapa pula bukunya harus disembunyikan? Ia bertanya dalam hati.
"Aku nggak bisa tidur, makanya kemari. Terus kamu, ngapain jam segini masih di sini? Emang besok nggak kuliah?"
"Nggak usah sok perhatian, ya. Ini bukan urusan kamu!" Lintang memotong dengan suara kencang dan tatapan menyala.
"Loh loh. Kok jadi marah, sih? Aku kan tanya baik-baik."
"Makanya nggak usah tanya-tanya!" Sergah lintang sambil memindah chanel TV, sebenarnya ada raut wajah gugup di sana. Entah ada apa.
"Eh, Lin. Aku, bisa minta tolong, nggak?"
"Apa?"
"Mega, tuh. Dia nangis di kamar, aku nggak boleh mendekati dia," Sontak gadis bernama lintang itu mendongak, menatap tajam ke arah Cakra yang baru saja selesai bicara.
"Emang kamu apain dia?" Tanyanya seperti nada khawatir. Namun disembunyikan jauh-jauh.
"Aku nggak ngapa-ngapain. Aku cuma tanya, apa dari kecil dia jadi pendiam begitu? Dan kayaknya nggak. Kayaknya ada sesuatu yang membuat dia trauma. Kamu dekati, gih. Kasih semangat atau apa gitu,"
Namun, Lintang berdiri cepat sambil membawa bukunya. "Enak aja! Lebih baik aku tidur!" Ucapnya, lalu melenggang pergi meninggalkan Cakra yang melongo seorang diri di depan layar TV yang masih menyala.
Akhirnya Cakra menghempaskan badan ke atas sofa empuk depan TV. Satu set sofa itu biasa digunakan ruang santai satu keluarga, ketika melepas lelah setelah seharian penuh bekerja keras.
Iya, penghuni rumah besar ini adalah orang-orang super sibuk. Pak Moko dengan toko perhiasan besar yang menjadi pusat berkunjung mereka yang membeli dan menjual benda berkilauan itu. Sementara Bu Moko memiliki butik kecil tak jauh dari rumah. Meski kecil, tetapi butiknya selalu ramai, hingga anak pertama mereka harus membantu.
Dan Bima, yang katanya pengusaha kaya itu. Memiliki pabrik triplek di salah satu kecamatan dengan jarak tempuh kurang lebih satu jam dari rumah. Sementara ia sendiri, menanti baru di rumah ini. Ia hanya seorang guru sukuan dengan gaji dari sekolah. Tak lebih dari tiga ratus ribu rupiah tiap bulan.
Pantas saja jika Cakra dihinakan sedemikian rupa. Karena secara ekonomi ia memang kalah drastis, jika di banding dengan mertua dan kakak iparnya.
Tak terasa, laju pikirnya telah membawa menuju alam mimpi. Meski hanya beberapa menit. Lantas ia terbangun karena suara TV yang sejak tadi belum dimatikan. Cakra melirik jam dinding yang terpasang di salah satu sisi ruangan. Sudah jam dia dini hari.
Teringat akan Mega yang tadi terisak di balik selimut, ia beranjak menuju kamar. Tiba di sana, gadis yang kini berstatus sebagai istrinya itu telah terbaring lelap. Ia tahu, karena wajah cantik bermata sembab menghadap ke arah pintu.
"Mega. Kasihan sekali gadis itu," Lirihnya tanpa ada seorang pun yang mendengarkannya.
"Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Mengapa sampai trauma seperti ini?" Gumamnya lagi.
Ia kembali keluar dan menutup pintu kamar. Ketika berbalik, dirinya dikagetkan oleh sesosok yang melintas acuh. Meski sebenarnya sama kagetnya dengan Cakra.
"Mas Bima? Mau kemana?" Tanya Cakra, reflek.
"Bukan urusanmu!" Lelaki berbadan altletis itu menjawab ketus, seperti menyimpan sesuatu. Langkahnya dipercepat ketika melewati Cakra yang tertegun. Menatap heran.
Lagi-lagi hatinya diliputi tanda tanya besar. Bukankah kamar suami istri itu berjarak jauh dari kamar ini, lantas mengapa jam segini ia melintas di sini? Dari mana, mau kemana? Karena punggung kokoh itu semakin menjauh, ia melanjutkan niatnya untuk kembali ke depan TV.
Kembali merebahkan badan di atas sofa, karena TV yang tak lagi menyala. Mata berat itu tak lama segera terpejam hinga pagi menjelang.
Ia terbangun karena sinar dari luar jendela kaca lebih terang dari lampu di dalam ruangan kecil itu. Matanya mengerjap beberapa kali, mengingat kejadian semalam yang terasa aneh di matanya.
Ia menegakkan badan, ada rahasia apa sebenarnya di rumah mewah ini? Mengapa ada beberapa orang yang begitu membuat curiga. Apakah perasaan aneh ini tak juga dirasakan oleh Pak Moko? Atau Bu Moko, mungkin?
"Cakra!" Ia tersentak. Menoleh ke asal suara, di ambang pintu, rupanya Bu Moko telah berdiri di sana dengan wajahnya yang khas. Melorot tak bersahabat, apalagi dengan orang miskin seperti Cakra.
***