"Bagaimana pekerjaan kamu hari ini, Bima?" Tanya Pak Moko di sela-selanya mengunyah makanan.
"Bagus, Pak. Tadi aku juga sempat mampir ke beberapa sekolah yang ku bantu tiap bulan," Bima membanggakan dirinya.
"Bagus!"
"Aku juga baru tau, menantu baru di rumah ini, sebagian gajinya juga berasal dari bantuanku."
Sontak semua orang berpandangan, fokus mereka terarah pada Cakra.
"Oh, iya? Berarti nggak salah Bapak memilih menantu sepertimu," pujian sang Bapak itu tentu saja membuat Bima melambung tinggi.
Ia memamerkan senyum puas sambil mengangakat sebelah alisnya. Memandang cakra dengan tatapan meremehkan. Sementara yang dipandang itu memilih untuk tak mendengarnya hingga ke hati. Ia tetap sibuk dengan sendok dan garpu di tangan, seperti tak terjadi apapun.
"Emang siapa sih, istrinya? Aku gitu lho. Masa iya, kayak Mega itu, dapatnya laki-laki miskin. Punya kerjaan pun nggak ada keren-kerennya sama sekali," celetuk Mentari, anak pertama Pak Moko.
Mega, yang malam ini baru mau makan bersama keluarga besar mendadak raut wajahnya berubah. Gerakan kunyahannya semakin melambat, hingga akhirnya berhenti.
"Sudahlah. Ini bukan Mega yang salah, tapi suaminya. Masak sudah punya istri, kerjaan masih saja begitu? Nggak ada gaji yang bisa diharapkan!" Bu Moko turut mengompori. Membuat Cakra terhenyak, mengapa sekarang sudah berubah lagi sikapnya? Bukankah tadi siang sempat beesikap hangat, apa hanya karena ada tamu? Ia bertanya dalam hati.
Tiba-tiba, tanpa berkata apapun, mega meletakkan sendoknya dan berdiri, "Mega?" Cakra hendak menahan. Namun, tak sempat, mega sudah melangkah cepat meninggalkan meja makan itu. Tanpa menghiraukan panggilan suaminya.
"Maaf, Buk. Menjadi bagian keluarga ini adalah bukan kemauan saya sendiri. Kalo Bapak dan Ibuk sudah tau kondisi saya, mengapa pernikahan ini tetap dilanjutkan? Jika saya tidak lagi dibutuhkan di rumah ini, saya bisa pergi," Cakra bersuara dengan khasnya yang tenang dan berwibawa.
Namun, Pak Moko malah tergelak hingga kedua bahunya berguncang. Pun Bu Moko dan menantu pertamanya, mereka terkekeh menahan geli.
"Mau pergi? Silahkan. Tapi aku pastikan pamanmu akan kehilangan rumah beserta isinya!" Desis Pak Moko. Cakra yang hendak menganhkat badan pun menundanya, tak percaya pria paruh baya itu akan berkata demikian.
"Bagaimana, Cakra? Jadi kamu masih akan pergi dari rumah ini?" Bima bersuara. Memberikan pertimbangan, yang akhirnya hanya bisa membuat Cakra mendengkus lirih. Meletakkan sendok dan garpu ke atas piring yang isinya masih setengah.
Ia meneguk beberapa kali air putih di dalam gelas, untuk mendorong nasi yang macet di tengah jalan.
"Hahaha, sudahlah Cakra. Kamu memang tidak punya jalan lain untuk membalas budi keluarga pamanmu. Selain tetap bertahan di rumah ini," Bima kembali berucap penuh kemenangan.
"Begini. Aku akan menganggapmu pelayan di rumah ini, hingga lima tahun nanti. Setelah itu, hutang pamanmu kuanggap lunas, dan kamu bisa bebas dari rumah ini. Jika hingga lima tahun nanti, kehidupanmu belum berubah. Maka, kamu harus bercerai dari Mega!" Pak Moko berkata tegas, tak mau dibantah.
Mendengar kalimat itu, jantung Cakra serasa berhenti sejenak. Persyaratan gila apalagi ini? Benaknya bertanya.
"Terserah saja, Pak. Saya hanya akan menjalani garis hidup saya ini sesuai alurnya," Cakra hendak mengakhiri ritual makan malamnya. Berdiri hendak melangkah.
"Mau kemana kamu?" Tanya Bu Moko, menatap tajam ke arah cakra yang berbalik malas.
"Saya sudah selesai makan malam. Saya harus ke kamar, menyusul Mega. Istri saya," ia menjawab lantang. Tiada rasa gentar sekalipun.
"Enak sekali kamu bilang mau ke kamar. Kamu lupa apa kata suamiku tadi, selain sebagai suami Mega, kamu pelayan di rumah ini. Kamu tau kan, tugas seorang pelayan?"
Kalimat Bu Moko itu mengundang tawa cekikikan dari yang lain. Wanita itu berdiri, meninggalkan meja makan kemudian disusul sang suami.
"Rasain, kamu!" Desis Mentari. Menggamit tangan Bima untuk menjauh dari meja itu.
Kini tinggal, Lintang. Menatap datar ke arah cakra yang masih mematung.
"Udahlah, Mas. Segera kerjakan saja perintah Bapak dan Ibuk. Biar suasana nggak makin runyam," ucap gadis mahasiswi itu, turut melenggang pergi. Meninggalkan Cakra membuang nafas berat seorang diri. Netra teduhnya memandang hampa pada piring kosong yang masih tergeletak begitu saja di tempat duduk orang-orang tadi.
Cakra segera membereskan meja makan berukuran besar yang kotor itu. Menjadikan satu, sisa sayur yang tadi terbagi menjadi beberapa mangkuk. Lalu memanasi sisa sayur itu ke dalam panci yang sayurnya tinggal sedikit.
Membereskan tempat lauk dan nasi sisa pada tempatnya. Lalu membawa setumpuk pirinng kotor, beserta mankuk dan gelas, ke tempat cuci piring. Mencucinya hingga hampir jam sebelas malam, karena di tempat cuci piring itu juga sudah menumpuk piring dan panci kotor.
Setelahnya, ia menyeret langkah tertatih, serta badan lelah menuju kamar Mega. Di sana, gadis itu sudah meringkuk di balik selimut tebal, dengan memeluk guling seperti biasanya. Cakra melangkah pelan, mendekati sang istri yang telah tertidur lelap. Ada yang beda malam ini, mata mega terlihat sembab dan agak membesar. Seperti usai menangis.
Cakra mengeryit, bertanya dalam hati. Apa kiranya yang menyebabkan gadis itu menangis? Seketika rasa iba menyergap dalam dada. Kecil dari lubuk hatinya, ada rasa bersalah. Mungkin gadis itu sedang meratapi nasipnya yang kian tak jelas.
Dinikahkan secara paksa, dengan lelaki miskin pula. Mungkin saja gadis itu tak bisa menyukai cakra yang baru saja dikenalnya. Bisa jadi, bukan? Ia menarik kesimpulan sendiri.
Ketika Cakra hendak beranjak dari duduknya, mega membuka mata, dan tatapannya langsung mengarah kepadanya.
"Mega?" Ia menyapa.
"Belum tidur?" Gadis itu bertanya.
"Baru saja masuk kamar," Cakra menjawab lesu. Mega bangkit dari pembaringan, menatap sayu pada sang suami yang menghempaskan badan di atas permukaan sofa. Iya, sejak awal hingga detik ini, Cakra masih saja tidur di sofa. Mega pun tak lantas memintanya tidur bersama, jadi ia enggan untuk menawarkan diri.
"Kenapa baru masuk kamar?" Cakra yang mulai membentangkan selimut pun, menghentikan aktivitasnya. Kembali menoleh ke arah Mega.
"Ada pekerjaan, tadi," Cakra berkilah. Memalingkan wajah dari dari arah istrinya.
"Bekerja di dapur, seperti perintah Ibuk?" Mega menebak, tatapan matanya lekat. Tak beralih dari Cakra. Gadis itu mendengus lirih, ketika suaminya mengangguk pelan.
"Kenapa mau saja diperlakukan begitu?" Mega bertanya dengan mengalihkan pandangan. Cakra mengangkat sebelah alis, heran dengan sikap mega kali ini. Apalagi pada wajahnya seperti tersirat rasa kebencian. Entah ditujukan pada siapa.
Cakra kembali menegakkan badan, ia melihat istrinya itu mulai terbuka. Ia ingin mendekati dan bertanya lebih dalam, tentang apa yang terjadi padanya. Hingga membuatnya menjadi terpuruk seperti saat ini. Namun, ia masih ragu untuk duduk di dekatnya.
"Boleh, aku duduk di situ?" Tanyanya sebelum berdiri. Tak lama, bibirnya tersungging senyum tipis. Mega mengangguk pelan dengan wajah tertunduk.
Cakra bangkit, menyusul duduk di sebelah sang istri. Hingga beberapa saat, tak ada suara dari kedua sosok yang duduk di tepi ranjang itu.
"Aku sadar posisiku disini, Me. Nggak mungkin aku menolak perintah Bapak dan Ibuk," Ia menjawab jujur. Teringat akan ucapan pak moko di meja makan tadi. Sebenarnya, tak ada orang yang menginginkan kehidupan seperti ini. Hanya saja, tak ada cara lain lagi. Cakra benar-benar dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit.
"Memang posisimu apa? Sama seperti Mas Bima, kan?" Mega mencecar, entah apa maksudnya.
"Iya, tapi ada yang membedakan kami," Cakra menyahut dengan wajah penasaran. Apa gadis itu tidak tau alasan sesungguhnya mereka menikah? Ia hanya membatin.
"Karena pendapatan kalian berbeda?"
***