Chapter 9 - Bab 9

"Namanya Cakra. Dia pengajar di salah satu SMP negeri di kota ini," celoteh Bu Moko, benar-benar membuat Cakra tak habis pikir. Mengapa bisa mendadak berubah baik? Tanyanya dalam hati.

"Wah, seorang guru berarti?" 

"Benar sekali, Pak."

"Hebat sekali, ya. Guru itu pekerjaan mulia lho, Pak. Buk," komentar salah satu dari mereka, diiringi anggukan bangga oleh yang lain. Dengan suara itu, Bu Moko semakin tersenyum lebar. Ia pun menatap bangga pada menantu yang baru kemarin resmi menjadi suami Mega.

"Cakra, kebetulan tamu kita ini belum dibuatkan minuman. Ibu bisa minta tolong, kan?" Tanya Bu Moko pada Cakra yang masih berfikir. Ia lantas mengangguk saja menyetujui permintaan ibu mertua itu.

"Iya, bukan. Kalo begitu saya permisi ke belakang dulu,"

"Iya iya. Silahkan,"

Cakra berjalan lebih dulu ke kamarnya, dengan perasaan penuh tanya. Hari ini aneh sekali, mertua yang sebelumnya bersikap kasar, kini telah berubah baik. ia menghela nafas sebelum membuka pintu kamar, sekali lagi berharap ini sungguhan. Bukan hanya ketika ada tamu, lantas mereka berpura-pura baik pada Cakra.

Pintu terbuka, menampakkan Mega yang duduk di tepi ranjang. Mendongak melihat kedatangannya, apakah tiap saat gadis itu selalu menyendiri di dalam kamar? Tanyanya dalam hati. Juga berhati-hati melangkah mendekati sang istri.

"Mega?" Ia menyapa, pada sosok yang masih bergeming. Ikut duduk di sebelahnya.

"Kamu sudah makan siang?" Tanya Cakra. Netranya menatap dalam pada wajah tertunduk meremas jemari.

"Sudah," jawaban singkat akhirnya keluar dari mulut mungil gadis berwajah cantik itu. Yang entah mengapa harus menjalani pernikahan semacam ini? Apakah tidak ada laki-laki yang bersedia menikahinya? Batin Cakra selalu bertanya. Dan hanya kesimpulannya sendiri yang didapat. Yaitu, bahwa gadis itu sepertinya mengalami trauma, dan tidak dipedulikan sama sekali oleh keluarga.

"Mau temani aku di dapur? bikin minuman buat tamu," ia mencoba menawarkan. Ia yakin, gadis itu hanya butuh pengakuan agar rasa takutnya sedikit demi sedikit menghilang.

"Ayo," ajaknya lagi ketika sang gadis nampak mengangguk samar. 

Cakra membuka pintu kamar dan melangkah keluar, mengiringi Mega di sampingnya. Ingin sekali rasanya meraih tangan itu, tetapi ia masih khawatir jika menimbulkan sesuatu yang buruk bagi Mega.

Tiba di dapur, Lintang telah berada di sana

Sedang menikmati makan siang seorang diri.

"Tumben mbak Mega keluar kamar?" Sapa gadis berstatus mahasiswa itu. Hanya melirik sebentar pada kakak perempuannya yang berjalan beriringan dengan Cakra.

"Iya. Biar terbiasa lagi seperti dulu," Cakra menjawab acuh. Tanpa melihat ada raut wajah kaget sambil mengunyah pelan makanannya.

Melihat kedua pengantin baru itu sibuk menata gelas di atas nampan dan membuat minuman.

"Temani aku nganter minuman ini ke depan, ya?" Pinta Cakra lagi. Dan Mega hanya mengangguk pelan. Cakra tersenyum sebelum akhirnya berjalan lebih dulu, menuju ruang tamu yang sudah terdengar suara gelak tawa bersama-sama.

"Permisi," suara Cakra membuat semua orang di ruang tamu Itu mendongak. Tatapannya terlihat kaget melihat siapa yang berjalan di belakangnya.

"Sepertinya menantumu itu bisa membuat istrinya sembuh seperti dulu lagi," komentar salah satu tamu Pak Moko, yang hanya ditanggapi dengan senyuman saja oleh pak Moko dan istirnya. Mereka pun saling pandang, tak percaya melihat Mega bisa keluar dari kamarnya.

"Silahkan, Pak. Buk," ucap Cakra sambil meletakkan minuman ke atas meja.

"Kami titip Mega padamu ya, nak. Sepertinya kamu bisa mengambil hatinya. Buat ia sembuh seperti semula," suara salah satu dari rekan Pak Moko.

"Tentu, Pak. Saya akan berusaha menjadi teman terbaik buat Mega," Cakra menjawab tegas. Membuat semua tamu itu mengangguk-angguk bersamaan, mersa yakin dengan pemuda berwajah rupawan itu.

"Saya permisi ke belakang dulu," Cakra memberanikan diri meraih tangan sang istri. Awalnya ada penolakan halus, tetapi lama-lama gadis itu pasrah. Mengikuti saja langkah Cakra kembali ke dapur. Tempat di sana tadi ada cucian piring kotor menumpuk begitu saja.

"Temani aku makan, ya?"  Pinta Cakra ketika mereka tiba di dekat meja makan yang kosong. Lintang telah tak ada lagi di sana. Gadis itu mengangguk samar, Cakra mengulum senyum dengan menarik kursi untuk sang istri.

Sementara ia sendiri mengambil piring dan sendok untuk mengambil nasi dari dalam mesin penanak nasi. Tinggal sedikit. Tak akan cukup untuk makan malam nanti, mengingat betapa banyak penghuni rumah ini.

"Kamu tadi makan apa?" Tanya Cakra penasaran. Ingin mengenal lebih jauh lagi  tentang keseharian Mega itu.

"Pakai sayur itu," jawabnya sambil menunjuk ke arah mangkuk berisi sayur lodeh di depan mereka berdua.

"Ngambil sendiri ke sini?" Tanya Cakra lagi. Gadis itu menggeleng pelan.

"Ibuk yang ambilkan," jawabnya. Menguatkan dugaan Cakra, bahwa selama ini gadis itu dibiarkan begitu saja.

"Nanti malam, makan diluar, mau?" Gadis itu membulatkan mata, mendengar pertanyaan dari Cakra. Lantas ia menggeleng sangat cepat.

"Jangan. Aku takut,"

"Takut kenapa?" Tanya Cakra semakin penasaran.

"Di luar banyak orang jahat," jawabnya langsung menunduk dalam. Ada wajah ketakutan dan kemarahan di sana, yang tidak di pahami oleh Cakra. Apa penyebabnya.

"Kan ada aku. Aku akan selalu melindungi kamu, dari siapapun yang akan berbuat jahat sama kamu," ucap Cakra meyakinkan. Gadis itu awalnya terlihat berfikir keras sebelum akhirnya kembali menggeleng cepat.

"Aku nggak mau!" 

"Ya sudah. Tapi nanti malam makannya di sini, ya. Nggak perlu di antar ke kamar. Mau, kan?" 

Setelah berfikir beberapa saat, gadis itu mengangguk samar. Membuat senyum tipis terukir di antara kedua pipi Cakra.

"Kalian di sini rupanya?" Keduanya menoleh. Suara Bu Moko terdengar menyapa mereka sambil ikut duduk di depannya.

"Iya, Buk," Cakra yang menjawab. Bu Moko melirik ke arah Cakra sebentar, lalu memalingkan muka.

"Kamu itu kan menantu baik hati. Menantu yang baik itu selalu membantu apapun yang dikerjakan mertuanya, bukan?" Suara Bu Moko tak sejudes tadi pagi. Cakra dengan cepat mengangguk paham. sangat paham apa yang dimaksud Bu Moko itu.

"Iya, Buk. Ibuk tenang saja,"

"Bagus deh, kalo kamu sadar diri!"  Bu Moko berucap lirih, sambil beranjak. Namun, Cakra masih mendengar jelas apa yang dikatakan mertuanya tadi.

Sementara Mega hanya diam tertunduk, entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu saat ini. Cakra mempercepat proses makannya, karena selera tak lagi sebagus tadi. Tak habis, ia membuang sisa makanannya ke tempat sampah.

Semua aktivitas Cakra itu tak lepas dari perhatian Mega yang tetap duduk di tempatnya tadi. Pemuda itu langsung menuju ke tempat cuci piring, mulai mencuci semau perabotan kotor menumpuk di sana. Persis sekali dengan kondisi dapur di rumah pamannya waktu itu.

Jadi, baginya mengerjakan tugas semacam itu tak lagi asing. Ia bahkan bisa mengerjakannya lebih cepat lagi, hingga tak ada setengah jam selanjutnya, tugas mencuci piring kotor usai. 

Kini tugasnya adalah menanak nasi yang tinggal sedikit tadi. Jika hanya untuk menanak nasi di mesin Cakra bisa, tapi untuk memasak yang lain, ia kurang memahaminya.

Tak terasa, malam telah tiba dan semua penghuni rumah itu berkumpul di meja makan untuk makan malam. Biasanya, yang menjadi pusat perhatian adalah Bima, menantu super kaya menurut Bu Moko. Itulah sebabnya, nama itu selalu di sebut-sebut dalam setiap kesempatan. Seolah hanya dia seorang menantu di rumah itu.

"Bagaimana pekerjaan kamu hari ini, Bima?" Tanya Pak Moko di sela-selanya mengunyah makanan.

"Bagus, Pak. Tadi aku juga sempat mampir ke beberapa sekolah yang ku bantu tiap bulan," Bima membanggakan dirinya.

"Bagus!"

"Aku juga baru tau, menantu baru di rumah ini, sebagian gajinya juga berasal dari bantuanku."

Sontak semua orang berpandangan, fokus mereka terarah pada Cakra.

***