Chapter 8 - Bab 8

"Oh, itu dia," Pak Hendra beranjak. Menyambut tamu yang ditunggu sejak tadi. Seperti tamu agung saja, pak kepala sekolah itu menyambut Bima dengan senyuman hangat.

"Mari, Pak. Silahkan duduk, kita bicara di sini saja nggak apa-apa, kan?"

"Baik," Jawab Bima tegas, lalu pandangannya beralih ke arah Cakra yang duduk tak jauh dari mereka, "Oh. Ada Pak Cakra juga, rupanya?"

Sementara yang disapa hanya bergeming, Pak Hendra berdehem kecil. Membuat Bima terkesiap, kembali pada posisinya yang tadi.

"Benar, Pak Bima. Ini Pak Cakra, belum ada setahun beliau ikut mengajar di sini. Bapak kenal juga?" Terang Pak Hendra.

"Bukan hanya kenal, Pak Hendra. Kami sekarang tinggal satu atap," Bima menyahut tanpa peduli bagaimana reaksi wajah Cakra yang mulai berubah tak nyaman.

"Satu atap?" Suara Pak Hendra, tentu saja pria penuh wibawa itu penasaran. Karena yang ia tahu, selama ini Cakra tinggal di rumah pamannya yang berada di dekat pasar Arjowinangun, sementara rumah Bima dekat pantai.

"Benar sekali, Pak Hendra. Paman Pak Cakra itu terjerat banyak hutang dari keluarga kami. Hingga tidak bisa membayarnya, makanya dia dijadikan sebagai alat untuk melunasi hutang Pamannya."

Terlihat sekali ada wajah kaget, penuh tanya dari Pak Hendra. Tatapan tajamnya bergantian dari Bima dan Cakra.

"alat melunasi hutang?" Gumam Pak Hendra, tatapannya masih bingung. Mengarah kesana-kemari, antara wajah Bima dan Cakra. Sementara itu, Bima mengangguk tegas. seperti hendak memberitahukan pada semua orang, bahwa saat ini sedang memiliki adik ipar miskin.

Pak Hendra sepertinya hendak kembali berbicara, tetapi mengatupkan mulutnya yang sudah terbuka. Mungkin ingin bertanya lebih detail, karena penasaran. Namun, segera tersadar agar tak ikut campur terlalu dalam pada proses hidup orang lain. 

Akhirnya ia hanya bisa mendesah lirih, tatapan ibanya tertuju ke arah Cakra. guru yang satu itu memang lebih banyak diam, daripada membahas sesuatu yang tidak penting. Seperti membicarakan orang lain, misalnya.

"Ah, sudahlah Pak. Bukannya kita tadi mau membahas masa depan sekolah ini, ya? Kenapa malah jadi membicarakan orang lain?" Bima berucap, memecah keheningan di antara mereka bertiga. Nampak Pak Hendra melepas nafas berat.

"Iya, Pak. Benar sekali. Membicarakan orang lain itu tidak ada artinya sama sekali. Bukan begitu, Pak Cakra?" Yang disapa terkesiap, lantas mengangguk cepat.

"Iya, Pak. Saya juga bukan tipe orang yang senang menggunjingkan sesama. Kita menyadari saja, bagaimana rasanya bila kita digosipkan? Nyaman apa tidak rasanya?" Celetuk Cakra menyindir.

Seketika raut wajah Bima berubah menjadi tak enak. Tanpa di sadari oleh Pak Hendra yang sudah fokus akan persiapan pembahasannya. Hanya Cakra yang diam-diam memperhatikan, akhirnya ia menunduk sambil menahan tawa.

"Benar sekali Pak Cakra. Apalagi jika gunjingan itu tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya," Pak Hendra menanggapi sambil tersenyum hangat. Aura khas yang dimiliki oleh kepala sekolah penuh wibawa dan bijak itu.

Terkadang membuat Cakra ingin sekali bermimpi, suatu saat nanti karirnya terus merangkak naik. Hingga bisa seperti Pak Hendra Wiryawan itu.

"Bagaimana, Pak Bima? Bisa kita mulai saja pembahasan kita tadi?" Pak Hendra kembali tersenyum ke arah Bima yang nampak terkesiap, gugup. Entah kenapa.

"I, iya Pak. Lebih cepat lebih baik, pekerjaan saya sudah menunggu di kantor," jawabnya cepat.

Cakra, karena merasa tak memiliki kepentingan di sana, ia memilih untuk segera membayar camilan yang telah dimakan tadi.

"Ah, Bapak-bapak. Saya permisi dulu," ucapnya membuat kedua lelaki kaya itu serentak menoleh ke arahnya.

"Lho. Pak Cakra buru-buru sekali?" Pak Hendra saja yang menanggapi.

"Iya, Pak. Ada tugas siswa yang harus saya koreksi," kilahnya, tanpa menunggu jawaban, ia segera angkat kaki dari tempat yang sudah tak nyaman lagi baginya.

Ketika melewati Bima, laki-laki itu tak bergerak. Hanya melirik sinis, seperti tersirat sebuah ancaman 'awas saja nanti jika sudah di rumah!' kira-kira begitulah arti lirikan tajam itu.

Cakra mempercepat langkahnya keluar dari pintu kantin. Suara bel istirahat berbunyi melengking, berasal dari tiap-tiap kelas yang memenuhi setiap sudut bangunan sekolah itu. Membuat anak-anak berhamburan keluar dari kelasnya.

Cakra yang berjalan menuju kantor guru pun harus berpapasan dengan mereka. Terlebih dengan siswi yang tingkahnya aneh-aneh saja. Semakin berani menggodanya. Namun, ia mengetahui benar posisinya sebagai pengajar di tempat itu. Tak lantas mengikuti saja permainan para remaja itu.

"Pagi, Pak Cakra," sapa salah satu siswi sambil memainkan ujung rambut berkepang samping. Mata sebelahnya mengerling, membuat Cakra menggeleng samar. Heran dengan tingkah laku anak jaman sekarang, berbeda jauh dengan dirinya saat sekolah dulu.

"Pagi," sahutnya sambil tersenyum hangat dan menganggukan kepala. Ketiga siswi itu meringis, tersenyum kecut lalu saling melangkah cepat meninggalkan guru bersahaja itu.

Cakra tiba di depan kantor, belum sempat melangkah melewati pintu, orang-orang di dalam sudah melempar pandangan aneh ke arahnya.

"Pak Cakra, kok baru kesini, Pak? Bukannya jam sudah habis satu jam yang lalu?" Tanya salah satu guru laki-laki yang duduk di sebelah pintu masuk.

"Iya, Pak. Mampir kantin dulu cari sarapan," Cakra lagi-lagi berkilah.

Ia melangkah tegas, melewati para guru yang berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke arahnya. Ada pula guru berusia tua yang hanya diam, menatap penuh iba. Ini yang membuatnya cukup risih berlama-lama di dalam kantor. Melihat reaksi mereka yang berbeda dari biasanya, membuat Cakra ingin segera keluar saja dari ruangan itu.

Tubuhnya terhempas ke atas kursi kayu, menatap kosong pada tumpukan kertas di depan mata. Diambilnya selembar kertas paling atas, mengamatinya dengan malas. Hingga tak mengerti sama sekali dengan tulisan jawaban anak bernama Sasongko Projo Negoro.

"Pak Cakra," ia terpaksa menoleh. Disebelahnya telah duduk seorang guru wanita berwajah teduh, berusia setengah abad. Sejak ia masuk di sekolah ini, hanya dengan Bu Nuraini itulah bisa berbagi keluh kesah. Sosok Bu Nur sangat baik dan bersahabat, selalu memberikan nasehat naik pada Cakra. Seperti ibunya sendiri.

"Sabar, Pak. Manusia hidup ini telah berada pada porsinya masing-masing. Tidak boleh iri, apalagi mengeluh. Kita yakin saja, hukum sebab akibat itu akan tetap berlaku sampai kapanpun," tutur Bu Nur dengan wajahnya mengurai senyum hangat keibuan.

Cakra tersenyum getir, mengamati sekeliling yang ternyata telah kosong entah sejak kapan. Biasanya ketika istirahat berlangsung, para guru pun berhamburan keluar ruangan. Mencari udara segar di kantin dan taman depan sekolah.

"Iya, Bu. Memang ini sudah menjadi porsi hidup saya," sahutnya tak bersemangat.

"Tapi saya juga kaget, bahwa bapak tiba-tiba sudah menikah. Tanpa kabar-kabar, lagi," Bu Nur menanggapi.

"Ini mendadak, Bu. Bahkan diluar dugaan saya." 

"Yah. Yang penting Itu tadi, sabar. Jalani saja dengan ikhlas."

***

Jam dua siang. Semua murid bergantian keluar gerbang dengan kendaraan masing-masing. Rata-rata mereka membawa kendaraan keluaran terbaru, nyaris tak ada yang menggunakan motor bekas seperti yang dipakai salah satu guru mereka. Cakra.

Ia memilih untuk keluar paling belakang, dari pada tergesa-gesa karena berdesakan dengan ratusan murid.

"Mari, Pak Cakra. Saya duluan," ucap Bu Nur dengan membuka pintu mobil mewah yang dibawa Pak Sarjito. Suami Bu Nur yang bekerja di kantor dinas pendidikan.

"Iya, Bu. Mari," sahutnya, memundurkan motor dan menaikinya.

"Saya duluan, Pak Cakra," suara Pak Hendra. Berada di dalam mobil berjalan pelan melewatinya.

"Iya, Pak." 

Cakra benar-benar pulang paling belakang. Ia melewati gerbang yang masih dijaga dua satpam tersenyum hangat kepadanya, sambil berhormat.

Sekitar setengah jam kemudian, ia telah sampai di depan rumah. Rumah mertua, maksudnya. Di halaman luas itu berjajar dua buah mobil berwarna hitam, yang satu dapat dikenali karena milik Pak Moko. Serta yang satunya lagi, mungkin saja sedang ada tamu di dalam sana. Tamu kehormatan keluarga ini, barangkali.

Setelah memasukkan motor ke dalam garasi di samping teras depan, Cakra melangkah ragu menuju pintu yang terbuka lebar. Dari dalam sana terdengar sayup-sayup, suara beberapa orang sedang asyik berbincang.

"Permisi," Cakra menyapa sesopan mungkin, semua orang di ruang tamu itu mendongak. Menatap penuh tanya ke arahnya.

"Ah, itu suami Mega," tunjuk Pak Moko pada teman-temannya. Sementara Bu Moko menatap datar ke arah Cakra yang masih berdiri mematung.

"Oh, ternyata tampan juga ya suami Mega?" Celetuk salah satu.

"Kok jam segini sudah pulang, kerja apa dia?" Tanya yang lain.

"Ah, maaf sekali. Menantu kami yang satu ini memang belum terbiasa di rumah ini. Kemarilah, nak," ucap Bu Moko berjalan menghampiri Cakra, merangkul pundaknya dan menyuruhnya duduk di kursi.

"Namanya Cakra. Dia pengajar di salah satu SMP negeri di kota ini," celoteh Bu Moko, benar-benar membuat Cakra tak habis pikir. Mengapa bisa mendadak berubah baik? Tanyanya dalam hati.

***