Beberapa waktu kemudian hari mulai sore dan usahaku sama sekali belum membuahkan hasil—ditambah suasana menjadi membosankan, ya bagaimana tidak!? bayangkan saja dari tadi diriku hanya berjalan menyusuri hutan aneh tanpa ujung ini.
" Tolonglah, aku ingin segera keluar dari hutan ini!"
Walaupun aku memang terlihat mengeluh terus-menerus—bukan berarti aku sudah mulai menyerah, karena menyerah adalah sifat yang berlawanan dari sifat diriku dan itu sangat merepotkan. Untungnya setelah berjalan puluhan langkah, aku mendengar suara aliran sungai memasuki indra pendengaranku.
"Tidak salah lagi, ada sungai di depan."
Aku berlari memasuki semak-semak di depanku.
"Akhirnya!"
Seperti yang aku duga, ada sebuah sungai di balik semak-semak yang barusan aku lewati. Terlihat dari permukaannya bahwa air di sungai itu jernih dan mengalir dengan tenang. Lantas aku mulai mengambil langkah menuju tepi sungai untuk mencoba meminum airnya. "Aah... segarnya," itulah yang aku ungkapkan setelah menenggak air sungai tersebut, setelah menenggaknya sesaat—aku membasuh wajahku dengan air itu agar bisa menghilangkan kotoran atau mungkin juga mengalihkan perasaan pilu yang masih aku tahan meskipun itu lebih sakit dari yang dibayangkan.
Kemudian setelah aku selesai membasuh wajah, aku mengistirahat diriku dengan memposisikan badanku duduk di tepi sungai. Seketika memori ingatan tentang momen-momen bahagia bersama orang-orang yang aku sayangi melebihi siapa pun—muncul begitu saja di kepalaku, tidak lama tetesan air mata mulai mencoba keluar dari Indra penglihatanku. Tidak peduli sekuat apa pun usaha diriku untuk mencoba menahan tangisan itu, tetes demi tetes air mata tetap memaksa keluar dari mataku. Aku mengepalkan tanganku sekuat-kuatnya, sehingga terdengar bunyi setiap jarinya. Lalu aku membiarkan rasa pilu dan sedih mulai menyelimuti tubuh dan hati ini beberapa saat—dengan berharap ini semua hanyalah mimpi buruk yang sedang terjadi. Tetapi perlahan aku mulai merelakan perasaan ini, mungkin dengan merelakan mereka yang sudah tidak ada di sampingku adalah satu-satunya jalan terbaik untukku.
Di tengah-tengah kesedihan yang sedang menyelimutiku, aku menggerakkan bola mataku menatap arah sekitar. Beruntungnya aku, aku mendapati sebuah jembatan kayu terbangun kokoh terlihat di ujung hilir sungai. "Tunggu dulu kalau di situ ada jembatan maka pasti ada jalanan, akhirnya... mungkin aku bisa meminta pertolongan seseorang." Sontak cepat-cepat aku mengambil tas dan katana-ku lalu segera mengambil langkah cepat melewati pinggir sungai untuk mencapai jembatan itu.
Tidak butuh waktu lama, dengan napas terengah-engah—aku hampir mencapai jembatan itu, namun telingaku menangkap suara yang terdengar seperti sekelompok orang yang sedang berkelahi. Spontan diriku langsung melompat ke arah semak belukar untuk bersembunyi sembari memeriksa apa yang terjadi di depan.
"Suara apa itu?"
Tidak jauh dari mata memandang, terlihat sekelompok orang yang di ancam oleh sekelompok orang lainnya dengan senjata tajam. Dari penampilan Mereka terlihat jelas dengan kumis tebal, beberapa bekas luka di wajah, dan gaya berbicaranya, aku yakin bahwa mereka adalah sekelompok penjahat yang tidak bukan ingin melancarkan aksi merampoknya. Lalu dari pihak yang di ancam, seseorang berkumis dan berambut panjang berwarna cokelat dengan memakai jas kulit melakukan gerakan tangan aneh, beberapa detik setelah dia melakukan itu keluar suatu proyeksi pola aneh.
"Venenum spina beam!"
Pria itu berteriak mengucapkan kata-kata seperti mantra, proyeksi pola aneh ditangannya mulai menembakan sesuatu... itu seperti—sebuah duri pohon? dia menggerakkan tangannya dan mengarahkan arah tembakan ke arah para perampok yang berjumlah sekitar 15-16 orang.
Mungkin beberapa tembakan itu mengenai dan menusuk sebagian kecil perampok, akibatnya mereka yang terkena tembakan duri pohon terdengar memasuki telingaku dengan suara mereka meringis kesakitan.
"Semuanya bantu aku melindungi gerobak kereta ini!"
Setelah keluar perintah itu dari mulutnya, sekelompok orang yang dirampok itu bersiap untuk menghadapi sekelompok penjahat—ditandai mereka yang membentuk formasi dengan mengelilingi gerobak kereta. Walaupun mereka tahu bahwa mereka kalah jumlah, tetapi demi mencapai tujuan—bahkan nyawa pun mereka rela untuk dikorbankan.
Para perampok itu mulai mengepung dan akan menyerang mereka. melihat pemandangan menegangkan itu, tidak ada angin tidak ada hujan rasa iba dan ingin membantu begitu saja bangkit dari dalam hatiku. Dengan rasa bimbang memikirkan apa yang selanjutnya aku lakukan.
"Apa yang aku harus lakukan, apakah aku harus membantu mereka atau tidak?"
Hanya itu dan itu saja yang ada di pikiranku, kebingungan dan rasa iba ingin membantu seakan teraduk campur menjadi satu. Melihat mereka sudah saling menyerang, perasaan bimbang di hatiku semakin menjadi-jadi.
Dalam kondisi ini, aku merasakan suhu dingin keluar dari dadaku. Bersamaan itu muncul cahaya dari dadaku dan katana yang aku letakkan di sampingku, melirik sejenak ke pedang itu sembari berpikir—apakah itu tandanya aku harus bergerak membantu sekelompok yang bahkan aku tidak punya urusan dengan mereka. Karena para penjahat itu sudah memulai pertarungan, tanpa pikir panjang aku mengambil sebuah keputusan cepat.
"Baiklah, akan aku bantu mereka menghadapi penjahat itu."
Dengan keberanian dan keyakinan kuat aku meninggalkan tasku dan keluar dari semak-semak persembunyian sambil membawa katana di tangan kiriku, dengan lantang dan keras aku berteriak kepada sekelompok penjahat itu.
"Hei! Kalau berani hadapi aku!"
Pandangan mereka seketika teralihkan kepadaku, "Hahahahah," mereka tertawa terbahak-bahak seakan meremehkanku. "Jangan ikut campur kau pak tua!" mereka menghinaku dengan sebutan 'pak tua' hanya karena rambutku berwarna putih.
"Ayo maju sini!" diriku mulai geram karena dengan beraninya para penjahat itu memanggilku yang masih berusia 14 tahun dengan sebutan tadi.
"Aku tidak peduli walaupun kau seorang bocah, akan kami sedang dirimu! Hiyaaah!"
Tanpa panjang lebar para penjahat itu mengambil langkah seribu seraya mengangkat senjata tajam yang mereka pegang ke arahku. Hawa rasa ingin membunuh muncul dari bagian sisi gelap hatiku-seakan menyuruh untuk melepas katana-ku dari sarungnya, untung saja aku dapat menahannya. Walaupun mereka adalah sekelompok penjahat, aku ingin memberi pelajaran kepada mereka tanpa harus menumpahkan darah. Jadi aku akan memukul mereka dengan katana yang masih terdapat sarungnya.
Sebelum mereka mencapaiku, dadaku kembali mengeluarkan cahaya—karenanya badanku terasa ringan dan lebih berenergi.
"Mati kau bocah!" salah satu penjahat mengayunkan pedangnya ke badanku.
"Cepat menghindar!!" seruan lain memasuki telingaku yang berasal dari pria berjas kulit tadi.
—Di sudut pandang penglihatanku gerakan serangan mereka seperti melambat, itu mempermudah diriku untuk menghindar ayunan pedang itu dan membalas serangan dengan tendangan keras ke perut.
"Aghh!" salah satu penjahat yang menyerangku barusan terpental lumayan jauh tidak berdaya.
"Apa?! Kau... ayo serang anak itu!"
Mereka berlari maju, suara teriakan dan jumlah yang banyak tidak membuatku gentar. Cukup unik sepertinya kalau aku sekaligus menguji skill berpedangku yang sesungguhnya kepada mereka. Lalu aku bersiap menyerang dengan katana-ku tanpa mengeluarkan bilah pedang.
"Let's see who will survive this sword blow." Diam berkata sejenak—lalu berlari sekencang-kencangnya menuju sekelompok para penjahat yang ingin membunuhku.
Serangan mereka sama sekali tidak ada yang mengenaiku, setelah mereka melancarkan serangan kepadaku, sekarang giliranku membalasnya dengan pukulan pedang ke perut, kepala, dan kaki, membuat suara kesakitan mereka terdengar jelas di telingaku. Sekelompok penjahat yang memiliki tampang seram, berbadan besar, kini kalah oleh seorang anak berusia 14 tahun yang memiliki rambut putih dengan garis biru.
"Hei, apa kau mau bermain lagi dengan pak tua berusia muda ini?"
Mereka ketakutan ketika aku mengucapkan kata itu, "Ayo! kita lari dari anak ini." Mereka berlari menuju hutan untuk menghindariku. Akhirnya aku bisa menghela napas lega karena berhasil menyelamatkan orang lain, bersamaan cahaya dari dadaku itu redup dan menghilang secara mendadak—meski... karenanya kekuatanku tadi lebih kuat dibandingkan biasanya. Coba bayangkan saja 15 orang dewasa beringas melawan 1 orang remaja lalu yang menjadi pemenangnya adalah remaja itu, yang tidak lain adalah aku.
Lalu sebuah suara langkah kaki terdengar dari arah belakang itu, tidak lain adalah pria yang memakai jas kulit tadi. Dia menepuk pundakku, dengan mulut tersenyum dia berkata "Siapa namamu?". Sontak aku menjawab pertanyaan itu "Namaku Yozora Hikari," pria itu kemudian memperkenalkan diri "Halo Yozora-sama, perkenalkan namaku adalah Victor, seorang bangsawan sekaligus Penasihat Raja dari Kerajaan Zigfrids, aku jugalah yang memimpin rombongan ini" awalnya rasa tertawa ingin aku luapkan melihat orang bernama Victor itu memanggilku dengan Yozora-sama tetapi saat mendengar bahwa dia bangsawan dan Penasihat Raja—spontan aku menahan rasa tawaku untuk menghormatinya.
"Ngomong-ngomong Yozora-sama, dari mana asal anda?"
"Asal? Ohh aku berasal dari Jepang?"
Pria itu mengerutkan alis dan memasang ekspresi bingung setelah aku berkata bahwa aku berasal dari Jepang, sontak pria itu kembali berkata.
"Jepang? Hmm aku belum pernah mendengarnya, mungkin anda tadi sedang tersesat. Oh iya sebagai rasa terima kasih yang besar dariku, aku ingin menawarkan apakah anda mau jadi bagian rombongan ini?"
Mendengar tawaran itu masuk ke pendengaranku, tanpa banyak basa-basi aku langsung menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa aku menerima tawaran itu.
"Baiklah kau akan mengikuti kami untuk menuju ke suatu desa yang jaraknya sekarang lumayan jauh jika dari sini," sebenarnya aku masih belum tahu apa tujuan mereka untuk ke desa itu, apalagi ditambah mereka rela melindungi gerobak kereta kuda itu yang mungkin sedang membawa sesuatu. Dengan suasana angin sejuk menghembus melewatiku, itu membuatku untuk berpikir positif bahwa mereka akan melakukan suatu hal yang baik.
"Victor-sama, gerobak keretanya sudah di perbaiki ayo kembali berangkat!" ucap salah satu orang di rombongan itu.
"Baiklah tunggu sebentar, Yozora-sama mari kita kembali berangkat."
Sebelum pergi menyusul aku berkata "Satu lagi Victor-sama, aku memintamu untuk memanggilku Hikari saja—karena aku tidak terbiasa dengan hal itu,"
"Hahaha baiklah, aku akan memanggilmu Hikari ya?"
"umm—itu yang aku mau haha. Victor-sama tunggu sebentar, aku hampir lupa mengambil tas ku di semak-semak." Aku berlari meninggalkan Victor begitu saja, lalu kembali dengan tas di punggungku.
"Ayo naik Hikari, kita akan berangkat." Victor mengulurkan tangannya, lantas aku menerima uluran tangan itu lalu naik bersamanya.
"Mari kita berangkat!"
Suara roda kayu bergerak mulai mengikuti masuk telingaku, dan pada akhirnya perjalananku kembali dimulai bersama orang yang baru saja aku kenal, dengan nama panjangnya—Victor Ruslan. Kereta rombongan kami yang berjumlah 3 kereta berjalan mengarah ke arah matahari terbenam, sinar hangat jingganya menyinari Indra penglihatanku. Lalu di atas langit terlihat sekumpulan burung-burung yang bermigrasi ke arah barat mengikuti kami untuk sementara lalu berpisah.