Chereads / SLASH: The Multiverse Adventure Part 1 (NO USE) / Chapter 6 - Kerajaan Sihir Dan Pertemuan Pertama

Chapter 6 - Kerajaan Sihir Dan Pertemuan Pertama

Selama dua hari dua malam dia desa ini, keseharianku hanya berbaring di kasur ini. Saat aku mau keluar rumah pasti saja aku harus dipaksa istirahat, padahal aku tidak terlalu lelah. Mau tidak mau aku harus berbaring sembari menunggu setiap jam makan lalu diantarkan makanan dan obat kepadaku. Tapi aku masih memikirkan tentang bagaimana seorang anak yang baru menginjaki awal remaja bisa membunuh 31 orang? tentu dalam memikirkannya saja aku berat hati. Saat memikirkan kejadian itu teringat dengan tembakan anak panah yang mengenai belakang badanku.

Aku bangun dalam keadaan masih terduduk di kasur, segera membuka setengah pakaianku dan mendapati bagian yang terkena anak panah itu tidak ada bekas sama sekali seperti tidak terjadi apa-apa. "Eh?" rasa kebingungan kembali menghujani hati ini, seketika aku memalingkan pandangan ke arah pedangku tetapi dengan rasa heran bercampur kesal. Memeriksa bahwa tidak ada siapa-siapa tanganku bergegas untuk mengambil katana itu.

Baru saja jari-jari tanganku menggenggamnya, dadaku terasa dingin bertepatan dengan cahaya yang muncul darinya. "Ada apa sebenarnya di tubuhku ini?" tanya diriku sendiri seraya mengusap anggota tubuh yang mengeluarkan cahaya itu.

Tidak ada sesuatu apa pun yang menghantuiku selain rasa trauma, kebingungan, dan bersalah terhadap diri sendiri. Tanganku membuka katana-ku dari sarungnya dengan perlahan sehingga terlihat bilah pedang itu. Semakin aku membukanya, semakin terlihat masih ada bercak darah.

Tiba-tiba suara langkah kaki menggerogoti masuk telingaku, itu asalnya... dari pintu! sontak tanganku menaruh kembali pedangku ke tempatnya dan berbaring kembali seakan aku tidak melakukan apa-apa barusan dengan bersamaannya cahaya di dadaku perlahan redup dan menghilang. Ternyata benar, suara gagang pintu terdengar dari samping. Mendapati seseorang membuka pintu tersebut yang tidak lain adalah Victor-sama atau maksudku ayah.

"Hikari, Hikari," panggil ayah angkatku itu.

"Umm, iya ayah... ada apa?"

Dia berjalan menghampiriku dan mengusap dahiku. "Bagaimana keadaanmu?" dia bertanya tentang keadaanku. Mulutnya mengeluarkan senyum di tengah hangat dari perapian di samping kami.

"Aku baik-baik saja ayah." Aku menjawab seraya membalas senyumannya.

"Syukurlah, baiklah nanti sore kita akan pulang ke kerajaan,"

"Eh? Kerajaan?"

"Hahaha, bukankah ayah telah memberitahumu sebelumnya bahwa ayah ini bangsawan kerajaan," gumam ayahku.

Aku juga ikut tertawa sembari menggaruk rambut putihku. "Ahh aku lupa ayah hahaha," padahal baru beberapa hari saja aku sudah bisa seakrab ini dengan ayah angkatku itu. Tetapi aku bersyukur, karena di dunia lain saja masih ada orang yang mau memberikan perhatian dan peduli kepadaku.

"Aah... baiklah kau kembali istirahat saja, ayah mau membereskan barang-barang termasuk barang-barangmu." Dia menyelimutiku dengan kain lalu pergi meninggalkan ruangan ini untuk keluar rumah. Padahal bukan mantra sihir, entah bagaimana rasa mengantuk juga ikut menyelimutiku setelah dia menyuruhku untuk istirahat. Tidak lama kemudian aku kembali tidur pulas.

Beberapa jam kemudian aku terbangun karena sebuah cahaya jingga hangat menyinariku dari jendela. Sadar bahwa sudah sore hari, aku segera merapihkan tempat tidur, memakai pakaian dan jubahku, lalu pergi keluar rumah. Aku melihat orang-orang dari kami sibuk memasukkan barang-barangnya.

"Hikari!..." seseorang memanggil namaku, itu adalah ayah. Dia berdiri tepat di samping kereta kuda berteriak memanggil namaku. Aku berlari menghampiri dirinya yang terlihat sedang menggandeng jas kulit di pundak.

"Ayo tunggu apa lagi, barang-barangmu sudah ada di dalam jadi naiklah ke dalam kereta lalu berangkat." Tangan ayah membukakan pintu kereta kuda untukku.

"Baik ayah." Aku naik ke dalam kereta duduk di samping tasku, ayah melangkahkan kakinya naik ke dalam kereta lalu menyuruh semua kusir untuk berangkat.

Kereta yang aku naiki mulai bergetar, dari jendela terlihat rumah-rumah dan pohon seakan berjalan. Di sisi lain aku merasa tidak sabar melihat kerajaan sihir sungguhan di dunia ini, aku akan bisa belajar banyak hal baru sembari menyingkirkan tragedi masa lalu.

Dalam perjalanan aku di temani oleh sinar jingga hangat dari matahari yang menyinariku dari jendela kereta, suara kicauan burung dan hembusan angin persis seperti suasana saat aku pertama kali bertemu ayah di dunia ini. Tampak perbedaan yang mencolok antara saat aku berangkat dan pulang, perjalanan ini... rasanya aman dan tenteram saja—tidak ada yang menghalangi atau harus menumpahkan darah. Terkadang manusia itu bisa saja menjadi malaikat ataupun iblis, atau bisa menjadi keduanya di waktu yang bersamaan. Meskipun demikian, tidak akan menghalangiku untuk mencapai tujuan dan percaya kepada orang lain.

3 hari kemudian, aku dibangunkan oleh ayah saat tertidur di kursi kereta kuda. "Hikari, ayo bangun kita akan sampai," ujar ayah. "Ehh... sudah sampai?" ucapku seraya mengumpulkan kesadaran. Mataku melirik sejenak ke luar jendela, mendapati tidak jauh di depan sana ada sebuah kerajaan besar nan megah berdiri kokoh. Kesadaranku langsung seketika terkumpul dalam sekejap, melihat akan kagum kepada kerajaan sihir itu.

"Itulah Kerajaan Zigfrids, salah satu dari 5 kerajaan sihir terbesar di dunia ini,"

Kereta kami mulai memasuki gerbang kerajaan, terlebih dahulu kami melewati sebuah desa dengan sawah-sawah yang luas. Anak-anak desa bermain tongkat sihir di tengah hamparan sawah, para petani yang sibuk membawa hasil panen, dan masih banyak lagi hal-hal lain.

Tidak lama tibalah rombongan ayah di dalam gerbang pusat kerajaan, rombongan kereta kuda yang lain berjalan berpisah ke arah berbeda sementara kereta kuda kami naiki berjalan ke arah sebuah mansion megah, tampak dari luar mansion ini memiliki 4 tingkat lantai dengan air mancur di tengah halaman. Tidak salah lagi ini adalah rumah ayah.

Tampak seorang anak berambut panjang berwarna perunggu terlihat seperti menunggu di depan pintu mansion. Kereta kuda kami pun berhenti tepat di depan pintu utama mansion. Ayah turun mendahuluiku diikuti aku juga turun dari kereta kuda.

"Selamat datang kembali ayah," tidak seperti biasanya, anak itu menyambut ayah dengan nada datar seakan hubungan mereka berdua tampak tidak baik-baik saja.

"Iya... terima kasih Roman sudah menyambut ayah, oh iya ini perkenalkan saudara angkatmu—semoga kalian bisa akur ya." Ayah mempersilahkan aku untuk memperkenalkan diri.

"Hai, Namaku Yozora Hikari salam kenal ya." Aku tersenyum sambil mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan kepada anak itu.

Tadinya aku berpikir ini akan semulus yang aku pikirkan, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Dia menepis jabat tanganku lalu berkata dengan marah "Cihh... ayah kenapa membawa orang asing kesini? aku tidak butuh seseorang seperti dia. Lagi-lagi ayah menyebalkan!" anak itu berlari ke dalam mansion meninggalkan aku dan ayah berdua. Karena kata-katanya barusan aku menunduk karena merasa sakit hati.

"Tidak apa-apa, sifat dia memang begitu sejak ibunya meninggal 2 minggu lalu." Ayah kembali mengelus kepalaku.

"Itu tidak masalah ayah, aku juga paham rasanya kehilangan seseorang yang dicintai." Aku mengangkat kepalaku dan menatap ke pintu mansion.

"Baiklah akan aku panggilkan pelayan untuk membantu membawa barang-barang ke dalam kamarmu," gumam bangsawan itu.

"Tidak perlu repot-repot, aku bisa sendiri ayah. Jadi ayah tinggal tunjukkan saja kamarnya." Tanganku langsung menggenggam tali tas dan mengangkatnya. "kalau begitu baiklah, ayo lewat sini." kami berjalan masuk ke dalam, lalu aku mendapati ruangan mansion ini memang memiliki khas abad pertengahan dari mulai lukisan di dinding-dindingnya, karpet, sampai suasananya juga mengikuti masa di sini. Walaupun aku berasal dari Jepang, aku tahu ciri-ciri atau bentuk-bentuk benda dari abad pertengahan karena membaca buku sejarah dunia.

Terlepas dari itu, diriku menaiki tangga menuju lantai dua dan sampailah sebuah kamar yang menurutku di dalamnya seperti banyak barang mewah ala kerajaan dengan satu kamar mandi di dalamnya. Kebanyakan di mansion ini didominasi oleh warna merah, emas, coklat, dan putih.

"Baiklah kau boleh beres-beres dan istirahat sejenak di sini, di lemari itu ada pakaian yang tidak terpakai untukmu dan itu masih layak pakai semua. Sementara aku ada urusan sebentar dengan kerajaan, sampai jumpa nanti." Dia melangkah keluar kamarku dengan sedikit buru-buru.

"Baiklah terima kasih banyak, sampai jumpa nanti ayah." Aku mulai menaruh barang-barang bawaan, tidak lupa aku membersihkan katana dari bercak darah yang masih ada. Menit-menit melelahkan sudah aku lewati, rasanya cepat sekali kalau sudah selesai. Setelah itu aku berjalan ke kamar mandi, membersihkan diri terlebih dahulu sebelum berendam di bak mandi. Sembari merilekskan tubuh, aku memikirkan bagaimana caranya membuat hubunganku dengan anak itu menjadi baik.

Aku memang bukan tipe orang yang selalu ikut urusan orang lain tetapi, apabila itu menyangkut hubungan yang tidak baik maka... mungkin aku akan ikut campur dalam hal itu. Haah terjadi lagi, aku harus melakukan hal merepotkan kembali yaa...

Merasa sudah cukup rileks aku keluar dariku bak mandi dan memakai handuk. Berjalan keluar lalu mengambil pakaian dari lemari, aku mengambil salah satu pakaian tapi ukurannya kecil, aku coba yang lain malah ukurannya lebih besar. Aku terus mencoba dan mencoba dan pada akhirnya aku menemukan beberapa sepasang pakaian yang pas untukku mungkin sekitar 7 pasang pakaian dari sekitar 16 pasang pakaian, sisanya yang tidak terpakai aku simpan di dalam kotak kayu.

—Untuk saat ini aku memakai sebuah sepasang jas dan celana hitam, lalu memakai sepatu kulit berwarna coklat. Untuk beradaptasi di tempat ini, aku membuka gerbang mansion yang tampak sepi dan keluar dari mansion ayah untuk berjalan-jalan. Sekilas baru saja keluar dari gerbang ada yang memanggil namaku, "Hei kau! ke sini sebentar," aku menengok ke arah asal suara itu, terlihat anak yang tadi menepis uluran jabat tanganku berdiri bersandar di pohon.

Aku berjalan menuju dia, terlihat wajah murung terukir di wajahnya. Berbeda dengan waktu tadi yang mana wajah dia seperti kesal dan marah. Aku bertanya "Ada apa kau memanggilku?" dia menggaruk rambut panjang berwarna perunggunya dan berkata "Etto... aku minta maaf atas sikapku tadi, emosiku memang akhir-akhir ini tidak stabil. Sebelum ayah pergi dia juga menceritakan tentang dirimu kepadaku, aku sadar apa yang aku alami memang seharusnya aku relakan. Jadi... apa kau memaafkanku?" Sekarang giliran anak itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Aku terkejut bukan main, mungkin ini terlihat buru-buru dibandingkan kisah-kisah lain seperti misalnya harus ada perjuangan, pendekatan diri atau sejenisnya. Tapi ini... entah apa yang terjadi sekarang, yang terpenting lebih cepat, lebih baik.

"Ahh tidak apa-apa kok, sekarang... bagaimana kita berkenalan ulang hehe," gumamku tersenyum. "baiklah tidak masalah hehe." Dia tersenyum kepadaku dan posisi tangannya masih dalam berjabat tangan. Aku membalas jabatan tangannya dan berkata, "Aku Hikari, Yozora Hikari. Salam kenal,". Seraya tersenyum dia menyebutkan namanya, " Aku Roman, Romanov Ruslan. Salam kenal juga saudaraku." Pada akhirnya aku berjabat tangan dengan seseorang yang sekarang menjadi saudaraku.