Chapter 9 - Lizurin Zigfrids

Di aula singgasana utama markas besar penjahat, seorang bertopeng baja menatap langit yang sedang terjadi hujan badai. Dia tidak sendirian, tepat di belakangnya ada beberapa orang berlutut kepada pria bertopeng baja itu, mereka adalah bawahan utama darinya atau bisa dibilang mereka itu jenderal. Lalu di samping kanan pria itu ada seseorang yang tampak seperti mungkin wakil atau semacamnya, dia berjalan sambil berkata.

"Kaisar Darkzen-sama, apa rencana anda seterusnya untuk mencari anak itu. Dia merupakan kunci dari tujuan utama kita hahaha." Dia mengeluarkan senyum dan tertawa seperti seorang iblis.

Pria bertopeng baja itu hanya diam tidak berkata sedikit pun, meski bawahannya sudah mengajaknya bicara.

"Kaisarku, ada apa? Kenapa kau hanya diam?"

"I, am the sun of darkness that draws near to destroy to achieve what we aim for!"

Dengan rasa arogan dia membalikkan badan menghadap kepada semua orang yang sedang berlutut kepadanya.

"Aku sudah mendapatkan rencana untuk mencari anak berambut putih itu, yakni keluarkan para Revarion Knight untuk mencari anak itu di seluruh dimensi multiverse apa pun caranya!" Dia berseru kepada para bawahan.

[Revarion Knight adalah kesatria yang dikendalikan atau dipimpin oleh masing-masing jenderal, pada intinya mereka adalah bawahan dari setiap para jenderal. Rata-rata dari para Revarion Knight adalah orang yang dikendalikan dengan sebuah benda bernama dark magic orb, salah satu ciri-ciri Revarion Knight yaitu memiliki sebuah tanda berwarna merah di lehernya]

"Baik Kaisar!"

Semua jenderal pergi meninggalkan aula utama untuk menemui sekaligus memberi perintah kepada setiap Revarion Knight.

Selang beberapa menit kemudian, semua Revarion Knight dari setiap masing-masing jenderal berkumpul di sebuah area luas di saat dashyatnya badai hujan, meski di tengah badai mereka tetap berdiri menghadapi takdir.

Tidak lama setelah mereka semua berkumpul. Wakil pria itu datang untuk melakukan sebuah gerakan tangan dengan sebuah orb di tangannya, tiba-tiba beberapa retakan spiral muncul di depan mereka. Retakan itu makin melebar hingga membentuk portal.

"Sekarang pergilah! cari anak itu! jangan sampai lepas!" para Revarion Knight pun mulai memasuki beberapa portal secara acak dengan satu tujuan, mencari Yozora Hikari.

---___---___---___---___---___---___----___----___----___----___-----

"Roman, Hikari, cepat bangun... teman kalian sudah menunggu kalian di depan," suara itu membuatku dan Roman yang tanpa mengikat rambutnya terbangun dari tidur semalaman di sofa. Membuka kelopak mataku perlahan sembari mengumpulkan kesadaran. Suara yang terus memanggil kami ternyata adalah suara Ayah, wajahnya terekspos wajah mengantuk. "Haaaah... kalian cepatlah bergegas, kalian di beri tugas menemani Elena-sama di kastel kerajaan. Sementara ayah akan pergi beristirahat, sudah dua hari ayah tidak tidur." Ayah berjalan menaiki tangga menuju lantai dua.

Baru beberapa detik setelah Ayah pergi ke atas, perhatianku tertuju ke suara yang memanggil namaku dan Roman dari depan pintu mansion. Pikiranku mengatakan bahwa tidak salah lagi itu adalah Ivan, meski hanya membuka pintu tetapi tidak puas rasanya jika saja, tidak lain yang kumaksud sekarang adalah Roman, anak berambut jingga itu dengan pulas melanjutkan tidur tanpa peduli Ivan yang terus memanggil kami dari depan pintu.

"Oi Roman, cepat bangun! jangan—manja—sekarang." Tanganku merangkul Roman sampai ke pintu.

"Cihh merepotkan." Aku menjatuhkan Roman dari rangkulan tanganku sehingga membuat ia tergeletak di lantai.

Inilah rasanya membangunkan Roman di hari libur, ia harus dibangunkan sampai setengah mati. Mau tidak mau aku harus melakukan cara ini, aku mengambil seribu langkah menuju dapur yang dipenuhi para pelayan. Aku meminta tolong salah satu pelayan itu untuk mengambilkan seember penuh air. Setelah mendapatkan seember air itu, aku berlari ke tempat Roman tidur lalu mengayunkan ember seraya bersiap menyiramnya dengan berkata.

Roman...

Cepatlah...

Bangun!...

Seember penuh air mengguyur badan saudaraku, tidak sampai dua detik seketika Roman terbangun dari tidurnya. Melihat dia sudah bangun aku menghela nafas lega sejenak karena merasa lega, akan tetapi sayang seribu sayang itu tidak bertahan lama setelah Roman yang tampak kesal lalu melemparkan ember tadi ke arah wajahku.

"Aww Roman-san! kenapa?"

Lemparan ember yang dilancarkan oleh Roman membuat pipi kiriku membekas warna merah diiringi rasa sakit. Di saat aku mencoba bangkit, dia berjalan ke arahku perlahan, Roman menarik kerah bajuku yang membuat aku terangkat berdiri hingga wajah kami saling berhadapan.

"Bisakah dirimu membangunkanku dengan cara yang halus, Hah!?" gawat! Roman benar-benar naik pitam karena siraman ember barusan.

"Agh karena dirimu bajuku menjadi basah!..." Salah satu tangan Roman mengepal dengan erat,

"Maaf-maaf! aku terpaksa melakukannya karena kau sendiri sangat sulit untuk dibangunkan." Tubuhku gemetar mendapati Roman mengepalkan tangan kirinya, Keringat dingin mulai bercucuran dari setiap pori-pori wajahku, seakan sesuatu mengatakan untuk bersiap berlari jikalau Roman akan mengejar dan memukulku.

—Aku menatap seakan meminta untuk tidak melakukan kekerasan terhadap diriku, oleh seorang bermata jingga di hadapanku hanya karena masalah soal cara membangunkan dari tidur paginya.

"Fiuhh, maafkan aku juga Hikari-kun." Roman menarik nafas panjang, dan melepaskan tarikan tangannya dari kerah bajuku. Wajah yang awalnya ibarat seperti singa kini berubah menjadi kucing jingga peliharaan.

"Lagi-lagi aku susah dibangunkan ya, bahkan sampai dirimu harus membangunkanku dengan cara seperti ini." Entah apa yang dipikirkan Roman, dia terus menerus menggaruk rambut tanpa alasan jelas.

"Kau sudah tidak marah kan?"

"Sudah tidak kok, mungkin tadi emosi amarahku meningkat. Itu karena kau membangunkanku dari tidur pagiku sehingga waktu tidur menjadi singkat dan itu membuat perasaanku menjadi tidak nyaman." dia berkata demikian sambil mencari ikat rambut miliknya, aku mendapati setiap jari-jari tangan Roman meraba di sela-sela sempit sofa tempat tidur kami tadi.

"Ahah! ketemu juga!"

Dia mengangkat ke atas seperti mengatakan bahwa dia telah menemukan apa yang dicari.

"Karena sudah ketemu kau tunggu sini saja, aku mau berganti pakaian." Dia bergegas menuju kamarnya.

"Hey! tunggu aku juga ikut." Aku juga bergegas berjalan menuju kamar untuk berganti pakaian.

Setelah mengganti pakaian , kami berdua berkumpul kembali di depan pintu mansion. Sembari merapihkan pakaian masing-masing termasuk Roman yang kembali mengikat rambutnya.

"Baiklah sudah rapi, aku buka ya pintunya."

"Silahkan,"

Tangan Roman menggenggam gagang pintu lalu menariknya hingga terlihat teras dan halaman depan mansion. Persis di teras mansion—seseorang bersandar di salah satu tiang pondasi teras sambil membaca suatu buku berjudul 'Motivated Mikhail Family' di tangannya, mendengar kata 'Mikhail' kita pasti sudah tahu siapa dia.

"Kalian ini lama sekali," gumam Ivan

"Etto... kami berdua tadi ada sedikit masalah," yang kumaksud adalah masalah membangunkan Roman tadi.

"Baiklah lupakan, sekarang ayo kita cepat berangkat ke kastel. Elena-san sudah menunggu kita." Kami semua berjalan meninggalkan mansion.

Trio Hi-Ro-Van pun berangkat menuju kastel kerajaan. Lantaran aku tidak tahu jalan menuju kastel, aku dipandu oleh Roman dan Ivan saat perjalanan. Pertama aku dipandu mereka berdua untuk melewati sebuah taman bunga, kedua aku melewati sebuah pasar, dan ketiga sampailah aku di danau dengan sebuah jembatan panjang yang menghubungkan sebuah kastel besar di tengah-tengah danau ini.

"Hikari kau lihat kan? bangunan itu." Roman menunjuk jarinya ke arah kastel itu berdiri.

"Umm." Aku menganggukkan kepala.

"Itulah pusat Kerajaan Zigfrids sekaligus rumah Elena dan keluarganya," jawab Ivan.

"Merepotkan padahal aku kira tugas ini bersifat tidak wajib, Ternyata memang harus dilakukan ya?"

"Argh kenapa harus hari ini!!! tidur pagiku jadi terganggu, bahkan harus dibangunkan oleh seseorang dengan cara disiram," Roman mengeluh dengan kesal.

"Eh, disiram? oleh siapa?"

Roman menunjuk dengan jempol ke arah belakangnya, yang di mana aku berdiri tepat di belakang Roman. Dia seperti mengisyaratkan bahwa yang menyiramnya adalah aku meski—itu adalah kenyataan.

"Kalian memang seperti adik kakak ya hehe..., ngomong-ngomong tunggu apa lagi? ayo kita ke kastel." Ivan berjalan mendahului kami berdua

"Ayo!"

---___---___---___---___---___---___----___----___----___----___-----

Tibalah Trio Hi-Ro-Van di gerbang utama yang di kastel oleh sekitar 5-7 penjaga, tetapi mungkin karena para penjaga tahu tujuan kami bertiga. Maka, tanpa ada pertanyaan pintu gerbang langsung dibuka begitu saja.

Saat pintu gerbang terbuka lebar-lebar, kami mendapati Elena-san berdiri memakai gaun putih sambil menggandeng tangan seorang anak laki-laki berambut coklat di sampingnya. Lalu kami bertiga menghampirinya.

"Yo! selamat pagi Elena-san," ujarku.

"Selamat pagi juga Hikari-kun, Roman-san, Ivan-san,"

"Kakak, aku malu..." anak itu bersembunyi di belakang badan Elena.

"Liz-chan, kenalkan dirimu kepada teman kakak. Kau tidak akan di apa-apakan kok,"

Wajah anak itu memerah disertai badannya gemetar ketika disuruh untuk memperkenalkan dirinya.

"Hei tidak apa, tinggal perkenalkan dirimu saja kok." Aku tersenyum seraya mengulurkan tangan kepada anak itu.

"TIDAK MAU!" dia berteriak sebelum berlari ke dalam Kastel.

"Hei Liz! dasar pemalu, maafkan dia ya karena sikapnya," gumam Elena-san.

"Ahh aku paham kok tenang saja,"

"Syukurlah... baiklah mari masuk, akan aku jelaskan tugas kalian."

Aku, Roman, Ivan, masuk ke dalam bersama Elena. Walau dari luar terlihat biasa-biasa saja, tetapi saat kami masuk lebih dalam—ternyata kastel ini lebih megah dan mewah dari yang dibayangkan. Sesekali Elena mengajak kami untuk room tour beberapa ruangan di dalam kastel kerajaan ini.

Saat kami memasuki salahElena menyuruh kami semua untuk duduk di meja rapat pribadi milik Elena untuk membahas tugas yang akan diberikan, tidak lama kemudian rapat pun dimulai.

"Baiklah selamat pagi teman-temanku, aku akan memberikan suatu tugas simpel namun sedikit berisiko,"

"Ini tentang adikku Liz,"

"Saat ayahku tidak ada, Liz memiliki kebiasaan yang cukup berbahaya. Yaitu merenung di menara tertinggi di kastel ini walaupun dia tidak selalu di situ, masalahnya ialah menara itu belum di renovasi. Ditambah melihat keadaan menara itu yang rawan runtuh. Jadi pada intinya ini bukan tugas tentang menjagaku, tetapi menjaga Liz adikku dari bahaya apapun,"

Apa!? tunggu! jadi ini adalah tugas menjaga anak?

"Sampai di sini saja rapat singkat ini, ada pertanyaan?"

Aku mengacungkan jari untuk menanyakan suatu pertanyaan kepadanya.

"Ano, Elena-san. Bagaimana kita berkomunikasi dengan adikmu itu?"

"Kalau soal itu..."

Suara langkah kaki berlari terdengar memasuki salah satu panca indera, suara itu semakin lama semakin jelas. Lalu seseorang berbaju zirah membuka pintu ruangan rapat dengan menarik nafas terengah-engah.

"Maaf Elena-sama, Liz-sama menghilang!" ucap penjaga itu.

Ibarat disambar petir di siang hari, kami berempat sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan penjaga itu.

"APA!?" ucap kami bersamaan

"DASAR ANAK MENYEBALKAN!!! baru saja dibahas dia malah menghilang!? " keluh Elena.

"Kalau aku menemukannya, aku akan menarik telinganya sampai merah,"

"Tenanglah Elena-san, kita harus cepat bertindak sekarang," gumamku supaya Elena bisa menjadi sedikit lebih tenang.

"Baiklah Hikari, Roman, Ivan, cari di seluruh penjuru kastel! penjaga cari di seluruh wilayah kerajaan, untuk berjaga-jaga jika Liz kabur dari kastel,"

"Penjaga, sebelumnya tolong suruh para pelayan untuk membantu mencari Liz di dalam kerajaan ini!"

"Baik!" Penjaga itu bergegas melaksanakan tugas yang diberikan Elena.

"Ayo berpencar sekarang!"

Kami berempat berlari meninggalkan ruangan untuk berpencar mencari Liz, Ivan mencari di sebelah barat, Roman mencari Liz di sebelah timur, dan Elena mencari Liz di selatan dan utara. Sementara aku mencari Liz di dalam ruangan kastel.

Meski aku dibantu para pelayan kerajaan, usahaku mencari Liz terasa tidak mudah. Dari mulai ruangan gudang, perpustakaan, ruangan taman, aula, hingga ke dalam basement, Diriku masih saja belum menemukan anak itu walau sudah memakan waktu yang cukup lama.

Sekilas aku teringat kebiasaan Liz yang diceritakan oleh Elena tadi. Sontak aku mempercepat langkah kakiku menuju menara tertinggi di kastel ini dan menaikinya. Sebelum mencapai puncak menara, aku melihat dinding menara ini dihiasi retakan tidak beraturan dan sedikit ditumbuhi lumut.

Selang beberapa menit kemudian, aku sampai di menara paling atas. Di hadapanku ada seorang anak laki-laki duduk di tepi menara melihat pemandangan langit sore. Sontak aku memanggil anak itu.

"Hei kau adalah Liz kan?"

Dia menoleh kepadaku, ternyata benar—dia adalah Liz. Aku berjalan mendekat dan duduk di samping bersama Liz untuk berbincang sedikit.

"Kenapa kau mau berteman denganku?"

"Eh, memangnya tidak boleh?" tanyaku kembali dengan nada halus.

"Umm— aku sebenarnya malu jika bertemu dengan seseorang selain keluargaku, ditambah lagi aku disuruh untuk belajar karena aku adalah seorang putra mahkota." Wajah Liz berubah menjadi murung.

"Kau tahu, tidak ada yang perlu ditakutkan untuk itu. Bukan hanya dirimu saja, aku dulu juga pernah menjadi pemalu kok,"

"Benarkah?"

"Ya pada awalnya..., tetapi aku mempunyai seseorang yang memotivasiku. Dia pernah berkata 'Jika kau menjadi pemalu, maka itu tandanya kau tidak siap menghadapi rintangan. Oleh karena itu untuk mencapai impian, kau harus siap menerima dan mengambil risiko yang ada',"

"Begitu ya?"

"Tapi tetap kau harus punya rasa malu jika dirimu mau dihargai orang lain." Aku mengelus rambut coklat Liz dengan sepenuh hati.

"Baiklah mulai sekarang, Liz akan berusaha untuk tidak menjadi pemalu," ucap Liz.

"Bagus! nah, bagaimana kita berkenalan?"

Dia menganggukkan kepalanya menandakan bahwa Liz setuju dengan ucapanku.

"Aku duluan ya, Namaku Yozora Hikari. Kau bisa memanggilku Kak Hikari, salam kenal." Aku mengulurkan tangan kananku

"Giliranku! Namaku Lizurin Zigfrids, salam kenal Kak Hikari hihi." Dia membalas uluran tanganku sehingga kami berdua bersalaman.

"Kalian! cepat turun! di situ berbahaya,"

Suara itu berasal dari bawah, kami berdua menoleh ke arah bawah asal suara seruan itu. Mendapati sekumpulan pelayan serta teman-temanku termasuk Elena yang tadi menyeru kami berdua untuk segera turun dari tempat ini.

"Ayo kita turun, kakakmu sudah menunggu kita di bawah,"

"Umm!—"

Aku dan Liz pun berdiri untuk meninggalkan menara ini, tetapi.... saat Liz akan berdiri, lantai yang dipijak oleh Liz menjadi ambruk.

"Aaaaaaaaaa!!!!!"

Liz terjatuh dari atas menara, lantas kepanikan pun tidak terhindarkan. Lantaran melihat Liz terjatuh, tanpa pikir panjang aku langsung terjun bebas dari atas menara untuk menyelamatkan nyawa Liz.

"LIZ!" teriak Elena yang syok.

Aku mendekat ke tubuh Liz dan memeluknya dengan erat. Jadi—jika hantaman terjadi, aku yang terlebih dahulu jatuh menghantam tanah.

Beberapa detik kemudian, sebuah hantaman keras terjadi. Para pelayan, dan teman-temanku berlari menghampiriku dan Liz yang terjatuh dari menara.

Awalnya aku kira hari ini adalah hari terakhir aku hidup. Tetapi takdir berkata lain.

"Liz kau tidak apa-apa kan?"

"Ya.. terima kasih banyak karena menyelamatkanku,"

"HIKARI! LIZ!!" teman-temanku berteriak dengan panik.

"Liz-chan, kau bisa berdiri dari badan kak Hikari kan?" gumamku

"Iya kak." Dia berdiri badanku

Aku merubah posisi badanku menjadi duduk dengan kaki berselonjor.

"Aduh pegal nya..."

"Liz, kau tidak apa-apa kan?" tanya Elena yang bercucuran keringat panik. Dia meraba pipi adiknya untuk memastikan bahwa Liz baik-baik saja

"Hikari!!" ucap Roman dan Ivan.

Setelah mereka melihatku, orang-orang di sekitarku membeku tidak berkata-kata. Seketika aku sadar, apa yang membuat mereka seperti itu.

"Mustahil..." ucap salah satu pelayan.

"Baiklah cukup untuk hari ini, tapi yang terpenting kita sudah menemukan Liz, benar kan?"

"Benar juga! kenapa kau kembali menghilang HAH!?"

Jari Elena-san menarik telinga Liz sampai memerah.

"Aduh!... sakit' hentikan Kak Elena. Maafkan Liz, Liz berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,"

Semuanya pun tertawa melihat pemandangan tingkah seorang kakak perempuan dengan adik laki-lakinya.

Selang beberapa jam kemudian, matahari sudah mau terbenam. Menandakan bahwa tugas kami hari ini sudah selesai, aku, Roman, Ivan pamit kepada Elena dan Lizl—berjalan pulang menuju rumah masing-masing. Saat di perjalanan, aku merasa janggal dengan sikap Ivan dan Roman sejak melihatku baik-baik saja saat setelah terjatuh dari atas menara, mereka terlihat lebih sangat memperhatikan dan mengawasiku.

—Namun rasa itu aku bisa atasi dengan tetap berpikir positif seraya melanjutkan perjalanan pulang ini bersama teman-teman yang kusayangi. Oh! benar juga, aku akan melanjutkan menulis tentang buku 'The Journey Of Hikari', karena sudah dua hari aku tidak menulis apa pun di buku itu.

Meski sudah terlihat kembali normal, aku berpikir... diriku harus mempersiapkan diri menjadi lebih kuat untuk menghadapi segala rintangan dan takdir.