Hikari-sama, Hikari-sama. Suara itu seakan terjun ke dalam lubang telingaku di saat tidur nyenyak. Membuka kelopak mata perlahan, mendapati Kepala Pelayan membangunkanku dengan cara membuka gorden jendela sehingga sinar hangat matahari pagi kembali menyilaukan mata untuk kesekian kalinya.
"Hikari-sama, sudah waktunya untuk sekolah dan ini sarapan anda. Roman-sama juga sudah menunggu anda di bawah." Pelayan itu menaruh sarapan di atas meja samping kasur.
"Baiklah terima kasih banyak," gumamku.
Kepala pelayan itu tersenyum lalu meninggalkan kamarku. Tidak seperti kemarin, suasana hari ini lebih hangat dari kemarin. Tanpa pikir lama lagi,aku melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan badan seperti apa yang kulakukan setiap hari, memakan sarapan, memakai seragam dan menyusul Roman di bawah untuk berangkat bersama.
"Yo! Selamat pagi Hikari-kun." Dia mengajakku melakukan adu kepalan tangan sebagai salam khas kami berdua.
"Aah Selamat pagi juga Roman-san." Tanganku mengepal dan beradu dengan tangan roman.
"Apa kau siap di hari kedua ini?"
"Bukan Hikari namanya kalau tidak siap," ucapku tersenyum.
Roman menyilangkan tangan seraya kembali bertanya, "Oh iya, apa kau sudah membawa seragam olahraga?"
Seketika karena ucapan Roman, perasaan kejutku langsung meledak layaknya gunung berapi meletus.
"Eh?" belum rasa kejutku hilang, aku malah ditambah rasa bingung. Sungguh hidup ini penuh rasa ya...
"Tuh kan—hampir saja, bukankah sudah kubilang untuk mencatat jadwal pelajaran di sekolah kemarin?"
"Hei! Kau tidak bilang apa-apa kemarin soal itu,"
"Dasar... baiklah aku salah, ini tangkap seragam olahragamu. Jangan lupa mencatat jadwal pelajaran di mading kelas nanti." Roman melempar baju olahraga kepadaku
Aku menangkap bajunya lalu memasukkan ke dalam tas. "Apa lagi, ayo kita berangkat." Roman membuka pintu mansion setelahnya kami berdua melangkahkan kaki ke sekolah bersama melewati jalan kemarin.
Beberapa lama kami habiskan untuk pergi ke sekolah, pada akhirnya kami sampai di sekolah. Saat menaiki tangga utama, seseorang gadis memanggil kami berdua. "Hikari-san, Roman-san! Tunggu aku!" gadis itu meneriakkan nama kami sambil berlari dari bawah tangga.
"Elena-sama?" gadis yang memanggil kami adalah Elena-sama.
Dia berhenti di depan kami dengan napas terengah-engah lalu mencubit pipiku, "Hei! Kau ini jangan memanggilku dengan sebutan 'sama' tadi. Panggil saja aku dengan namaku atau sebutan lain asalkan jangan memakai kata 'sama'."
"Aduh, Aduh! Iya-iya aku minta maaf,"
Elena tersenyum sambil memiringkan kepalanya sedikit. Tangan Elena yang awalnya mencubit, menjadi mengusap pipiku. Tekstur kulit ini... mirip tekstur tangan Ibu. Aku menatap mata birunya, seakan hatiku menjadi tenang saat telapak tangannya menyentuhku.
"Ehh, Apa yang kalian lakukan!? Hei hentikan! cepatlah sebentar lagi pelajaran di mulai." Roman berjalan menjauhi kami dengan muka yang memerah layaknya tomat.
"Baiklah ayo cepat ke kelas." Elena berlari sembari menarik tanganku.
Bel lonceng jam pelajaran pun dimulai, seperti biasa saat Kak Nathan masuk kami semua memberi salam atau mungkin sekarang kusebut 'pembiasaan'.
"Baiklah semua, kita akan melakukan pelajaran olahraga. Jadi silahkan untuk berganti pakaian di ruang ganti. Setelah itu kalian semua langsung ke lapangan." Tanpa ada tambahan kata-kata Kak Nathan langsung meninggalkan kelas.
"Hikari, Roman ayo ke ruang ganti," ujar adik Kak Nathan itu.
Kami bertiga berjalan ke ruang ganti, mengganti pakaian dengan pakaian olahraga dan pergi ke lapangan. Di sana Kak Nathan berdiri menunggu kami, aku merasakan sebuah aura karismatik keluar darinya.
"Apa kalian sudah kumpul semua?"
"Sudah kak," jawab serentak kami semua.
"bagus, tidak ada yang izin kan?"
"Hmm mungkin tidak Kak," jawab Roman sebagai ketua kelas.
"Nice, satu lagi. Hari ini pelajaran kita akan di gabung dengan kelas 9-H, jadi jangan ada keributan di antara kalian ya, paham?"
"Paham kak,"
"Baiklah kalian semua buatlah 4 barisan, 2 laki-laki dan 2 perempuan." Kak Nathan meniupkan sebuah peluit.
Kami semua membuat barisan seperti yang Kak Nathan suruh. Tidak lama kemudian Dari kejauhan ada sekumpulan orang-orang dengan pakaian olahraga datang ke arah kami, badan mereka lebih tinggi dari kami. Tidak salah lagi, mereka adalah senpai dari kelas 9. Mereka berbaris tepat di sebelah kanan barisan kelasku, tetapi ada hal yang membuatku risih dan waspada. 8-9 senpai laki-laki menatapku dengan sinis dan tajam, tapi aku berusaha untuk berpikir positif meski 9% itu mustahil.
"Dimulai dari kiri, lari keliling lapangan 3 kali." Kak Nathan meniupkan peluit.
Secara bergantian kami semua mulai berlari keliling lapangan 3 kali, sampai pada putaran ketiga salah satu senpai laki-laki mendorongku dengan sengaja dari belakang sampai terjatuh. Sontak aku berusaha bangun bangun dan mendapati sikut lengan kiriku terluka, semua siswa di kelasku mengelilingi dan membantuku. Rasa kesal menjadi tidak terhindarkan karena perlakuan mereka terhadapku, namun aku berusaha menahan rasa itu demi tidak terjadi sesuatu kepada teman-temanku dan mereka.
"Hei! Kenapa kalian melakukan ini kepada Hikari?" Roman bertanya dengan nada marah senpai dari kelas 9 itu.
"Cih kalian ini lemah sekali, hanya karena teman satu kelas kalian terluka sampai kalian juga ikut campur," ujarnya.
—Tiba-tiba sebuah tamparan keras dari Elena mengarah ke wajah orang itu, raut wajah Elena berubah menjadi geram sehingga membuat semua orang di sampingku termasuk Roman dan Ivan menjadi diam "Apa hatimu sungguh tega membuat dia terluka lantaran ia tak termasuk orang yang kau sukai?! Kalau... kau! Menyakiti Hikari-kun lagi, maka aku sendiri yang akan ikut campur." Elena mengeluarkan proyeksi sihir seakan bersiap melancarkan serangan.
"Elena-san, sudahlah ini hanya luka kecil jadi bukan masalah bagiku," gumamku supaya Elena menjadi tenang.
Kak Nathan berlari arah kami untuk menenangkan keadaan.
"Kau! cepat minta maaf kepada Hikari, kalian ini sudah menjadi kelas 9 seharusnya bisa menjadi contoh yang baik kepada adik kelas. Cepat tunggu apa lagi," Kak Nathan menegur anak laki-laki kelas 9 yang mendorongku itu.
"Baiklah aku minta maaf." Dia mengulurkan tangannya, lantas aku menerima ulurannya lalu berjabat tangan. Terlihat dari ekspresi wajah orang itu, dia tidak rela meminta maaf kepadaku, itu membuat hatiku kembali waspada terhadap orang seperti mereka.
Semua kembali menjadi normal, luka pada sikutku sudah di beri plester oleh Elena, dan pelajaran kembali dilanjutkan. Setelah berkeliling lapangan tadi, kami semua melakukan pemanasan. Setelahnya Kak Nathan menerangkan materi hari ini yaitu teknik sihir berpedang. Tunggu! teknik berpedang? Jangan lagi...
"pertama-tama Kalian semua akan mempelajari untuk mengalirkan energi alam ke pedang kalian, caranya fokuskan energi sphere kalian untuk menciptakan sebuah energi terbentuk ke pedang kalian. Ayo ambil pedang tumpul di sana dan coba satu per satu, ini sebagai salah satu cara melihat kekuatan khas apa yang ada pada kalian." Kak Nathan mencontohkan di depan kami semua dengan pedang baja tumpul di genggamnya. Kak Nathan membuat pedang itu menjadi memiliki kekuatan es, kami semua yang melihat tidak terkecuali aku menjadi takjub.
[Sphere adalah sebuah energi sebagai tenaga untuk membuat sihir, berbeda dengan mana atau chakra. Sphere lebih menggunakan pikiran untuk membuat suatu bentuk sihir, semakin besar sihirnya semakin besar pula sphere yang digunakan. Tanda-tanda sphere dalam seseorang itu habis adalah mudah munculnya rasa kelelahan dan sedikit rasa lemas.]
Satu per satu kami semua mencoba, Elena mengeluarkan kekuatan angin, Roman mengeluarkan kekuatan api di pedangnya, sementara Ivan mengeluarkan kekuatan air. Kini gilianku mencoba, aku mengambil serta menggenggam pedang tumpul itu dengan erat, mereka memandangiku seperti dihujani rasa penasaran terutama Roman, Ivan, dan Elena.
Aku menutup mata mencoba untuk memfokuskan sphere bersamaan dengan menggabungkan pikiran masa lalu yang kelam dan bahagia.
Tiba-tiba...
"Kekuatan apa itu?!" telingaku di serbu oleh suara itu dari luar, aku membuka mata dan mendapati sesuatu yang sebenarnya membuatku terkejut juga.
Sebuah kekuatan beraura putih kekuningan dan ungu berkilau bergantian di bilah pedangku. Bukan hanya di pedang, bagian biru pada rambutku juga terjadi hal demikian.
"Mustahil! Bagaimana kau bisa?!" Kak Nathan terdiam seakan tidak percaya.
"Itu bukannya..."
"kekuatan cahaya dan Kegelapan!!" ucap semua anak kelas 9.
Teringat akan kejadian saat aku tidak sadarkan diri membunuh semua perampok di waktu lalu, aku langsung melepaskan pedang itu di tanganku yang membuat fenomena aneh padaku itu berhenti. Orang di sekitarku termasuk Elena, Roman, dan Ivan memandangku seperti pandangan Kak Nathan.
Bel lonceng istirahat berbunyi, menandai pelajaran olahraga hari ini sudah selesai.
"Baiklah pelajaran hari ini kita sudahi, kalian boleh beristirahat." Kurasa Kak Nathan masih syok tentang hal tadi.
Seluruh murid di lapangan termasuk diriku berjalan menuju tempat ganti pakaian. Mereka semua mengganti pakaian olahraga dengan seragam biasa. Sesekali mereka semua memandang diriku beberapa kali, tetapi saat aku menengok mereka wajah mereka malah memalingkannya dariku.
Sementara aku, Roman, dan Ivan atau aku singkat Trio Hi-Ro-Van kembali ke dalam kelas untuk menaruh pakaian olahraga. Kami bertiga menuju kantin dan duduk bersama menyantap makanan.
"Hikari, apa kau tahu?" ujar Roman.
"Tahu soal apa?"
"Tentang kekuatanmu tadi." Roman menyilangkan tangannya di atas meja, tatapan mata jingganya menjadi tatapan serius.
Jantungku menjadi berdetak kencang, keringat mulai bercucuran di wajahku. Untuk mencairkan suasana aku bertanya kembali dengan tersenyum. "Ano—apakah itu kekuatan berbahaya atau semacamnya?".
"Apa!? Kau tidak mengetahuinya?" Ivan memukul meja makan kami, sehingga mengalihkan pandangan orang-orang di sekitar sejenak.
"Kekuatan yang kau miliki, adalah kekuatan yang sangat langka. Bahkan persentase orang memiliki kekuatan alami semacam ini diperkirakan 1 dibanding 5 miliar orang. Terakhir terlihat orang yang memiliki kekuatan ini adalah Ratu Elf kegelapan dan cahaya, itu pun sekitar 300 tahun lalu," ucap Ivan.
"Ratu Elf ya, tunggu ciri-cirinya seperti apa?" aku semakin penasaran.
"yang kubaca sih ciri-cirinya bertelinga lancip, iris mata sebelah kanan berwarna kuning dan iris sebelah kiri berwarna ungu. Berambut panjang dengan sebuah mahkota berbentuk daun. Tetapi ada rumor jika seseorang menemukan dirinya maka dia adalah orang yang terpilih, entah terpilih untuk apa," Roman menambahkan pembicaraannya
Ciri-ciri yang baru disebutkan oleh Roman, sama persis seperti seseorang yang kutemui di dalam hutan aneh waktu itu. Jikalau itu memang Ratu Elf kenapa dia menolong orang asing sepertiku, apa alasannya.
Aku melihat sesekali ke arah lain, suara samar-samar orang-orang di kantin sedang membicarakan tentangku. Aku berpikir—tidak lama lagi, aku akan menjadi bahan perbincangan di sekolah ini atau bahkan di Kerajaan ini. Untuk mengalihkan pikiran dari pembicaraan sekitar, aku menanyakan soal Elena kepada Roman dan Ivan.
"Ngomong-ngomong Elena-san ke mana? Sejak tadi tidak kelihatan," ucapku membelokkan topik pembicaraan.
"Entahlah, terakhir aku melihatnya dia sedang menuju ruang ganti tadi." Roman berbicara sembari memakan roti di meja.
Baru saja kami membicarakannya, Elena datang dan berbicara tepat di samping telinga kananku. "Hikari-kun... kau mencari diriku ya?" Itu membuat rasa geli muncul seketika di telingaku.
"Uwahhh! Elena-san apa yang kau lakukan? Itu geli tahu!" Wajahku memerah
"Ehek! Maaf ya Hikari-kun, apa kau mau bersamaku untuk pergi ke perpustakaan."
"Bagaimana yaa... mungkin Senin besok saja, karena lonceng jam pelajaran berikutnya sebentar lagi berbunyi," gumamku
"Seperti itu ya, tapi apa kau mau menemani diriku nanti di kerajaan esok? Karena aku akan sendirian besok, oh iya kalian juga boleh ikut kok,
"Loh Raja George II pergi ke mana?" tanya Roman.
"Ayahku? Dia ada pertemuan penting dengan Raja kerajaan tetangga,"
Bersamaan bel lonceng pun berbunyi, lalu kami semua mengakhiri pembicaraan di kantin untuk pergi kembali ke kelas 8-C. Kak Nathan sebagai wali kelas kami masuk untuk mengajar tentang sihir penyembuh. Kami semua mempelajari dengan serius, sampai jam 3 sore kami sekelas mengucapkan terima kasih dan salam penutup kepada Kak Nathan atas pelajaran hari ini.
Keluar dari gerbang sekolah, aku di sambut angin sore dan sekumpulan burung-burung terbang di atas langit. Aku berdiri diam di tempat sejenak, menatap langit sore yang indah. Tetapi masih ada masalah dan takdir yang harus aku hadapi, saat ini aku masih belum bisa melakukan apa-apa—mungkin petualangan ini aku tidak sendiri. Di tengah-tengah aku merenung, Roman memanggilku ditemani Elena dan Ivan di sampingnya.
"Oi!... Hikari-kun kenapa kau diam saja? Cepat kita pulang bersama," seru Roman.
"Yaa sebentar, aku datang." Aku berlari ke arah mereka bertiga, lalu kami berjalan pulang bersama-sama sampai Elena di jemput kereta kerajaan, dan Ivan pergi ke arah lain untuk pulang. Tersisa aku dan Roman, kami berdua berbincang dan berdebat tentang sikapku kepada Elena.
"Eh apa yang salah terhadapku?!" ujarku.
"Hikari, dari gerak-gerik Elena dari kemarin tampaknya dia punya perasaan kepadamu. Kau ini harus peka kepadanya apa lagi dia putri raja." Roman mengubah topik debat ini menjadi debat serius tentangku.
"Roman saudaraku, aku sudah bersifat baik dengan maksimal—apa kau hanya memikirkan soal cinta? Ayolah kita belum cukup umur untuk mengenal lebih apa itu cinta asmara, kau saja tidak tahu perasaanku kepadanya. HUMPH!..." Spontan aku menutup mulutku karena mengucapkan suatu kata yang bisa membuat orang salah paham secara tidak sengaja, bersamaan wajahku kembali memerah karena malu.
"EEE!.... Hikari-kun apa yang kau katakan barusan?" Roman bertanya seraya mendekatkan wajahnya di depan wajahku.
"Tidak ada, itu ada meteor terjatuh di sana." Aku menunjuk ke langit dengan tujuan menipu Roman.
"Eh mana!?" saat Roman teralihkan aku kabur menghindarinya.
"Hei jangan lari! Sini kau ya." Roman berlari mengejarku hingga sampai di mansion. Dia menarik telingaku sebagai candaan sesama saudara. Setelah cukup bercanda kami masuk ke dalam mansion. Lantaran tidak ada ayah, Roman mengajakku melakukan kegiatan yang biasa kami lakukan kalau tidak ada ayah, seperti makan dulu sebelum mengganti pakaian lalu mengobrol di ruang utama sampai tertidur di sofa berdua karena mengantuk.
Mungkin kita melihat hari ini memang masih terasa indah bagi Hikari dan kawan-kawan, tetapi sementara itu di—suatu markas besar. Seseorang bertopeng gagak terlihat menghadap atasannya yang memakai jubah hitam dan topeng canggih yang terbuat dari baja. Dia bertanya "Apa anak itu sudah ditemukan?" lantas orang bertopeng gagak itu menjawab, "Belum Yang Mulia." Dia menunduk dan berlutut kepadanya.
"Hmm baiklah kita hanya menunggu waktu sampai bisa merebutnya, lagi pula kita sudah punya seseorang yang bisa menghancurkannya baik mental maupun fisik anak itu. Namun yang terpenting setelah mendapatkannya aku akan menguasai seluruh dimensi Multiverse ini hahahaha... hahahhaha!"
"Lihat saja nanti,"