Hembusan angin dan obrolan samar-samar terdengar di kereta kuda lainnya, saat ini aku dalam perjalanan untuk mencari informasi tentang dunia ini, bersama dengan seseorang dari rombongan yang di waktu lalu aku menolongnya—siapa lagi kalau bukan Victor-sama. Di dalam kereta kuda aku dan Victor-sama berbincang untuk sekedar basa-basi mengisi waktu perjalanan supaya tidak bosan. Ditemani dengan aroma yang berasal secangkir teh panas yang baru saja di buat olehnya.
Sembari berbincang aku juga merenung tentang orang-orang yang sudah aku temui, dari penampilan fisik, pakaian, ataupun ejaan nama mereka—aku mengetahui bahwa jika aku berada seperti sebuah tempat di benua Eropa abad pertengahan. Yang menjadi pertanyaan sampai saat ini, negara apa yang cocok dengan jenis budaya seperti ini? —mungkin terdengar tidak penting, namun bisa jadi ada sebuah petunjuk yang berguna
"Sepertinya anda sedang banyak pikiran, mari diminum teh buatan saya," ajak Bangsawan berkumis coklat itu.
"Anda benar, secangkir teh dapat merilekskan tubuh dan pikiran." Seraya merenung, jari-jari tanganku memasuki gagang cangkir dan mengangkatnya ke mulut lalu meminum teh yang sudah hangat itu. Rasa ini... teh putih. Seakan bermandikan cahaya mentari pagi hari, rasa penatku berangsur hilang dalam sekejap oleh nikmatnya.
"Ahh... teh buatan anda nikmat sekali, Victor-sama," gumamku
Apa yang baru saja ku ucapkan seketika membuatnya tersenyum dan tertawa kecil dengan suara berat. "Hoho... suatu kehormatan bagi saya mendengar apresiasi dari orang yang telah membantu kami, jika berkenan mari saya tuangkan teh putih ekslusif ini." Dia memasukkan jarinya ke gagang teko dan mengangkatnya menandakan dia siap untuk menuangkan kembali ke cangkirku. Karena aku merasa tidak enak kalau menolak tawaran itu, tanpa pikir panjang lagi aku menerima tawaran itu dan berkata "Boleh, mohon bantuannya." Victor menuangkan teh itu ke cangkirku.
"Ahh nikmatnya...,"
"Perjalanan kita masih sedikit jauh mungkin sekitar 2 hari, apakah kau tidak apa mengikuti kami?" Victor bertanya kepadaku mengenai hal itu, sebenarnya aku juga masih bingung harus menjawab apa, karena aku bukan berasal dari dunia ini.
"Ya tidak apa-apa, lagipula saya juga adalah orang asing di sini," Jawabku.
"hmm... ngomong-ngomong waktu itu anda bilang bahwa anda berasal dari tempat bernama Jepang, apakah itu sebuah kota, desa, atau negara?" aku melihat Victor bertanya dengan nada penasaran sembari mengerutkan alisnya.
"Itu adalah sebuah negara Victor-sama,"
Raut ekspresi wajah bangsawan itu semakin heran dan bingung setelah aku mengucap kata 'itu adalah sebuah negara'. "Hmm bagaimana kalau isi tas itu?", lagi-lagi muncul pertanyaan dari mulutnya mengenai diriku, "Tas ini berisi sebuah senjata untuk berjaga-jaga, makanan dan minuman, juga ada sebuah gulungan," ucapku dengan sedikit gugup karena takut aku dicurigai dengan hal-hal aneh. Victor kembali bertanya sembari mengusap dagunya, "Tas itu... tampaknya berbeda seperti tas pada umumnya," tepat saat bangsawan itu mengeluarkan kata-katanya, pengendara kereta kuda yang dinaiki olehku dan Victor berkata dari jendela kereta, "Maaf mengganggu tuan, tetapi hari sudah larut malam mari kita berhenti sejenak untuk membangun tenda istirahat,". "Baiklah, suruh mereka berhenti sejenak untuk malam ini, kita akan istirahat". Satu per satu kereta kuda rombongan pria berkumis coklat itu berhenti.
"Ayo Hikari, mari kita turun untuk membangun tenda istirahat," ajaknya.
"Baik, mari Victor-sama." Aku menurunkan kakiku dari kereta kuda, memang yang aku dapati hari sudah larut malam dengan suara burung hantu, hawa dingin, dan kunang-kunang yang beterbangan di antara pepohonan hutan. Orang-orang dari rombongan bangsawan itu mulai ikut turun untuk membantu membangun tenda peristirahatan, membuat tiang, membuat api unggun, tidak lupa juga aku turut membantu mereka. Walaupun baru saja bertemu dengan mereka sejak beberapa jam yang lalu, aku akui mereka sangat ramah terhadap orang asing sepertiku. Karena bisa saja aku dicurigai sebagai penjahat yang akan merampas atau sebagainya, lagi pula mereka ramah mungkin bukan karena aku menolongnya.
Detik dan menit berlalu, akhirnya tenda peristirahatan berhasil dibangun sekitar 6 tenda. "Baiklah selamat malam semua, kita akan melanjutkan perjalanan besok pagi." Victor menggandeng jasnya di pundak, bukan pergi ke sekitar tenda melainkan menggelar alas di dekat api unggun sembari berbicara empat mata dengan seseorang.
Langkah demi langkah aku lakukan ke arah tenda pribadiku yang sudah disiapkan, hawa larut malam di sini lebih dingin dibandingkan hawa di Jepang, bahkan dua lapis selimut saja tidak cukup untuk menghangatkan badanku. Aku berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan di tempat ini, aku berbaring miring menghadap kanan di temani dengan suara angin malam, dan suara burung hantu menggerogoti masuk ke dalam telingaku. Seraya berpikir negara Eropa apa yang cocok dengan lingkungan dan budaya semacam ini? Ah, aku ingat! Aku sekarang ada di sebuah tempat yang mirip dengan negara Rusia. Ditambah dengan lingkungan, budayanya, dan faunanya yang bahkan hampir membunuhku. Akhirnya setelah berpikir lama, mataku... perlahan mengantuk mengikuti detik demi detik, lalu tidak lama aku tertidur dengan nyenyak.
"Hikari, Hikari! mari kita melanjutkan perjalanan lagi." Seseorang membangunkanku seraya menggoyangkan badanku dengan tangannya, ternyata itu Victor-sama.
"Eh.. Victor-sama?" gumam diriku yang masih mengumpulkan kesadaran.
"Hikari, mari cepat bereskan barang-barang Anda, kita akan kembali melanjutkan perjalanan, ini ambilah." Di tangannya terlihat membawa tas dan jubahku.
"Baiklah, Victor-sama." Aku mengambil jubah dan tas di tangan bangsawan itu lalu memakainya.
Aku keluar tenda bersama Victor-sama saat aku keluar tenda aku disambut dengan siraman hangatnya sinar matahari pagi, suara burung, serta suara bising orang-orang rombongan Victor-sama yang sedang membereskan tenda peristirahatan mereka dan memasukkannya ke dalam kereta kuda. Melihat itu aku berlari ke arah sekumpulan orang yang sedang membawa peti kayu untuk dimasukkan ke dalam kereta.
Sekitar 7 menit kemudian barang-barang yang dipakai untuk membangun tenda sudah dimasukkan kembali, "Hikari mari naik ke dalam kereta, kita berangkat sekarang," ujar Victor-sama. Aku mengambil langkah cepat dan masuk ke dalam kereta kami berdua. "Mari kita berangkat!" kereta yang masing-masing ditarik satu kuda itu mulai bergerak maju mengikuti jalan.
Di dalam kereta, aku iseng-iseng memeriksa tasku. tanganku meraba suatu benda aneh, membuatku seketika menariknya keluar dari tas. Aku dapati sebuah jam tangan punya ayahku yang hilang dicarinya, jam itu masih hidup walau sudah sempat hilang sekitar 4 tahun lalu. Melihat itu aku kembali teringat dan merenung tentang kenangan indah itu, senang bercampur sedih—itulah yang aku rasakan saat ini. Rasa ingin menangis bergejolak dari mataku, namun aku tahan karena bukan waktunya.
"Apa itu? Apakah itu sebuah jam tangan?" tanya Victor-sama secara tiba-tiba.
"Iya benar, jam tangan ini dulu kepunyaan ayahku,"
"Begitu ya, ayahmu sepertinya orang baik ya." Bangsawan itu tersenyum.
"Yaa... dia sangat baik." Aku menatap langit yang mulai mendung dari jendela, sinar matahari mulai tertutupi oleh awan menandakan bahwa akan hujan.
"Ahh! Pedangku!" aku teringat bahwa ada satu pedang yang tidak aku taruh di dalam tas.
"Pedang anda? Ahh sudah saya masukkan kedalam tas anda, coba anda periksa kembali,"
Aku memeriksa tasku kembali, dan untung saja pedangnya ada di dalam tas. Seraya bernapas lega aku berkata "Untung saja ya, maaf telah merepotkan anda karena saya." Aku menundukkan kepala sebagai rasa minta maaf. Bangsawan itu tersenyum kagum kepadaku, lalu mengusap rambut putihku. "Menakjubkan, hanya karena saya melakukan hal yang tidak sama sekali tidak merepotkan bagi saya dan anda tetap meminta maaf, di usia muda anda bahkan sudah seperti orang dewasa hebat sekali!" entah kenapa aku hanya melakukan hal yang biasa aku lakukan di duniaku, malah aku mendapatkan pujian darinya. "Tidak-tidak, saya hanya khawatir merepotkan anda hahaha." Aku kembali memasukkan jam tangan ayahku lalu menutup resleting tas dengan rapat.
"Victor-sama aku ingin bertanya, mengapa para penjahat itu ingin merampas sesuatu dari kalian, sebenarnya apa yang diincar mereka?"
"Ahh baiklah saya akan jelaskan apa yang mereka incar sekaligus apa tujuan perjalanan ini. Di dalam kereta kuda ini berisi masing-masing barang, pangan, pakaian dan di kereta yang kita naiki saat ini tersimpan emas dan berlian untuk membantu sebuah desa yang sedang mengalami musibah setelah kelaparan musim dingin sekitar satu minggu yang lalu. Dan kemungkinan besar itu yang mereka incar," Bangsawan berkumis coklat itu berbicara serius, aku mengetahui hal itu karena tatapan matanya menjadi sedikit tajam saat berbicara tadi.
"Baiklah saya paham, tapi menurut anda apakah mereka akan kembali untuk menjalankan rencana mereka?"
Badan bangsawan itu berubah posisi dari membungkuk menjadi bersandar, tampaknya Victor-sama ingin merubah suasana pembicaraan ini menjadi sedikit santai.
"Semoga saja mereka tidak melancarkan aksinya lagi, baiklah saya akan istirahat tidur sebentar kalau ada apa-apa bangunkan saya ya"
"Baik, selamat istirahat Victor-sama,"
Sekitar 3 jam kemudian awan masih menutupi sinar matahari, tanganku bersandar di jendela kereta melihat pemandangan yang itu-itu saja. Belum ada tanda-tanda hujan meskipun sedikit berkabut, di depanku tertidur pulas seorang bangsawan bersandar di kursi kereta. Yaa... Sembari tidak ada kerjaan, sesekali aku mengintip keluar jendela untuk memeriksa apakah kita sudah sampai di tempat tujuan.
Aku mendapati sebuah tanda jalan tertancap di sebelah kanan jalan, di situ tertulis 'Wilayah Desa Permata Purnama'. Perasaan senang mulai muncul di hatiku, melihat tanda itu yang mungkin itulah tempat tujuan rombongan ini. Perasaan itu hanya sebentar saja karena terlihat sekumpulan bayang-bayang orang di dalam kabut itu. Tanpa pikir lebih lama lagi tanganku membuka resleting tas secara vertikal, suaranya membangunkan Victor-sama yang masih sedang tertidur.
"Ada apa Hikari?" tanya bangsawan itu dengan raut wajah masih mengantuk.
"Saya melihat ada banyak orang di balik kabut itu, firasat saya mengatakan bahwa kita dalam bahaya." Aku mengambil katana yang waktu itu kupakai menebas beruang dan menghajar para penjahat waktu itu.
Tiba-tiba kereta kuda juga ikut berhenti lalu suara rintihan kesakitan terdengar dari tempat kusir kereta kami. Victor langsung mengintip, dia mendapati bahwa kusir kami terjatuh dari kereta karena tembakan panah.
"Serangan!!..." Kami semua langsung turun dari kereta untuk menghadapi penjahat yang mungkin waktu itu mencoba untuk merampas barang-barang ini.
"Itu dia anak yang menghajar kami kemarin, incar anak itu terlebih dahulu!"
Aku melihat asal teriakan itu, bersamaan insting membunuhku kembali muncul. Perasaan nafsu haus darah bergejolak dari hatiku, entah sejak kapan aku memiliki sifat itu. Aku hanya berusaha menahan haus darahku ini walau rasanya sangat berat. sejak aku selalu memegang pedang sungguhan, rasanya ingin sekali mengeluarkan pedang itu dari sarungnya.
"Rasakan ini!" seseorang berlari dan mengayunkan pedangnya kepadaku, namun dengan reflek cepat aku dapat menghindari tebasan itu.
"Fiuuhh hampir saja, fokuslah Hikari! tahan saja perasaan itu... masih ada musuh yang harus kau hadapi," ucapku dalam hati.
Tiba-tiba sebuah anak panah melesat tepat di samping wajahku, sehingga membuat sebuah goresan luka di wajahku. Melihat ke arah lain dan mendapati Victor-sama yang sedang dalam kesulitan, dengan segera aku mengambil seribu langkah ke arahnya.
Yang terjadi....
Sebuah panah melesat dan menancap di bagian belakang badanku, aku tepar terjatuh di tanah dengan pedang yang terlepas dari genggaman tanganku. Mau tidak mau aku harus membuka katana itu dari sarungnya tetapi seseorang dari penjahat itu menginjak kepalaku dan bersiap ingin menancapkan pedang ke badanku, sehingga aku kesulitan meraih pedangku.
"Hikari! cepat bangun!" di tengah kesulitan seperti ini masih saja Victor-sama meneriakkan namaku, menyuruhku untuk bangun menghindar. Tetapi mungkin aku tidak bisa, seraya berpikir setidaknya sebelum aku menyusul kalian... ayah, ibu, kakek—Aku sudah berusaha melindungi orang lain. Akan tetapi terlalu cepat untukku mati! aku... aku... aku...!
"Matilah kau!" penjahat itu segera ingin menusukkan pedang ke badanku.
"Aku tidak akan mati di sini!!"
Seketika tanganku berhasil meraih katana itu, tetapi aku tidak sengaja membiarkan rasa haus darah merasuki diriku. Sehingga aku melepaskan katana dari sarungnya. Tetapi bersamaan kesadaranku mulai hilang.
"aku... di mana?"
Diriku terbaring di suatu rumah kayu di dekat perapian, aku melihat sekitar ada Victor-sama duduk sila di sampingku. Kepalaku rasanya masih sakit, aku benar-benar tidak mengingat apa-apa selain aku membuka katana dari sarungnya.
"Bagaimana keadaanmu Hikari?"
Aku heran, kenapa Victor-sama berbicara dengan bahasa biasa, bukan bahasa yang terlalu baku. Apakah saat tidak sadar, aku telah melakukan sebuah kesalahan. Dia menatapku dengan serius atau mungkin sebuah amarah? aku mengumpulkan keberanian lalu bertanya.
"Apa yang terjadi kepadaku Victor-sama?"
Victor-sama menepuk pundakku sembari menghela nafas, suara bising orang-orang di luar rumah menemani pembicaraan serius empat mata antara diriku dengan bangsawan berkumis coklat itu. Hawanya tetap dingin walaupun ada perapian di sebelah kiri, aku memalingkan pandangan sejenak lalu dan melihat pedangku tersandar di sisi lain perapian.
"Coba jujur saja kepadaku, ceritakan siapa sebenarnya dirimu,"
Lalu aku menceritakan tentang diriku yang sebenarnya bukan berasal dari dunia ini, lalu tragedi yang menimpaku sehingga aku bisa sampai ke dunia aneh ini. Victor-sama terlihat dari gerakannya bahwa dia menyimak apa yang aku ceritakan kepadanya.
"Begitu ya, aku paham sekarang. Aku juga turut berduka apa yang menimpamu,"
"Ya, terima kasih banyak Victor-sama,"
"Jangan memanggilku Victor-sama lagi, panggil saja aku ayah. Sekarang kau telah menjadi anak angkatku dan semoga kau bisa akur dengan anakku satu-satunya di rumah." Raut ekspresi wajah bangsawan itu, tidak atau mungkin sekarang aku panggil ayah. Dia tersenyum sembari kembali mengusap rambut putihku.
"Tetapi ayah, apa yang terjadi padaku saat aku akan ditusuk?"
Dia memalingkan wajahnya sejenak seakan dia berat hati mengatakannya.
"Apa yang terjadi!?" desakku.
"Kau membunuh semuanya,"
Hatiku seakan tertusuk duri, aku masih tidak bisa percaya perkataan barusan keluar dari mulutnya.
"Ayah... tidak mungkin memangnya berapa orang yang telah aku bunuh?"
"Penjahat yang kau bunuh berjumlah 31 orang,"
Air mataku mulai menetes, meski mereka penjahat—tetapi apa bedanya aku dengan pemimpin pasukan yang telah membantai orang-orang di dunia asalku. Aku merasa bersalah karena membiarkan hawa haus darah merasuki diriku. Victor memelukku dengan erat dan berkata, " Tenang, kau waktu itu dirasuki oleh kekuatan gelap yang berasal dari pedang itu. Mungkin suatu saat kau dapat mengendalikannya." Victor melepaskan pelukannya lalu mengusap air mataku.
"Sudahlah kau harus kuat ya,"
"Baiklah, tetapi bagaimana orang-orang rombongan kita, lalu barang-barang yang kita bawa?"
"Sudah... kau istirahat saja, semua orang yang kau tolong berterima kasih kepadamu dan barang-barangnya sudah dibagikan." Victor membaringkan tubuhku lalu pergi keluar rumah. Sementara aku terbaring istirahat di sini.