Pranaya kaget dan tak menyangka kalau Arais datang ke perusahaannya. Dia sangat senang akhirnya anak tercintanya mau kembali padanya.
"Ya Tuhan, Arais. Papa senang sekali akhirnya kamu mau datang ke sini. Ayo duduk," sambut Pranaya dengan hati senang.
Bukannya senang, Arais menampik tangan Pranaya dan menjauhkan tangan itu dari tubuhnya.
"Aku tidak ada waktu untuk basa-basi. Dony, bawa surat-surat itu." Arais dengan angkuhnya memanggil Dony dan menganggap orang di depannya bukan siapa-siapa.
Dony pun datang dan memberikan sebuah surat pada Arais. Arais memberikannya pada Pranaya.
"Silahkan baca ini dan ini sah secara negara," tambah Arais lagi.
"Apa ini?" tanya Pranaya heran.
"Silahkan baca sendiri." Arais menjauh dari Pranaya dan duduk di kursi Pranaya lalu menaikkan satu kakinya di atas kaki yang lain.
Pranaya pun membaca surat itu. Betapa terkejut dirinya setelah membaca surat itu.
"Sembilan puluh lima persen, Arais? Untuk apa kamu membeli sembilan puluh lima persen saham di sini? Ini semua untuk kamu. Kamu yang akan mengelola semua perusahaan ini. Kenapa harus membeli dari papa kamu sendiri," protes Pranaya, tidak mengerti isi pikiran anaknya.
"Aku gak mau diberi secara cuma-cuma. Aku punya banyak uang dan aku bisa mendapatkan apa yang aku mau. Dan yang aku mau hanya sembilan puluh lima persen saham perusahaan Anda. Anda bukan siapa-siapaku lagi sekarang. Hubungan kita sekarang hanya sekedar rekan bisnis. Anda pemegang saham lima persen dan aku ... sembilan puluh lima persen. Dan aku mau Anda tetap bekerja di sini setiap hari untuk memajukan perusahaan ini dan memberikan uang yang banyak untukku," kata Arais sambil melirik Pranaya tajam.
Pranaya syok melihat perubahan yang terjadi pada anaknya itu. Dia tak pernah sedikit pun mengajarkan untuk bersikap kasar pada orang yang lebih tua apalagi sampai merendahkannya seperti ini.
"Apa? Memberikan uang yang banyak untuk kamu? Arais, saya ini Papa kamu. Tidak pantas kamu mengatakan itu pada Papa kamu sendiri," keluh Pranaya sedih.
"Bisnis is bisnis. Lagi pula aku udah bilang kalau Anda bukan siapa-siapaku lagi. Aku ke sini bukan untuk temu kangen, tapi untuk membicarakan urusan bisnis kita." Arais memandang Pranaya dengan geram.
Jika melihat lelaki itu, bayangan saat mereka berdua ada di kamar seketika hadir. Tangannya terkepal kuat karena amarah yang begitu besar. Darahnya yang tenang berubah berombak dan menggulung tinggi seakan siap untuk menelan siapa saja yang mendekat. Sungguh, perbuatan mereka masih belum bisa Arais lupakan.
'Aku benci lihat wajah Anda. Aku tak akan membiarkan Anda hidup bahagia. Akan aku siksa Anda sampai aku puas.' Gigi Arais menggeretak ketika emosi menguasai dirinya. Arais masih sakit hati dan benci pada ayahnya itu.
"Kalau begitu silahkan ambil semua perusahaan ini. Saya tidak butuh perusahaan ini. Semua perusahaan ini memang saya siapkan untuk kamu, Arais. Bukan untuk siapa-siapa," ucap Pranaya frustasi.
"Oh, iya? Apa gak ada yang akan kecewa dengan jatuhnya perusahaan ini ke tanganku? Dia ... dia yang sudah memilih Anda sebagai kekasihnya pasti gak akan rela kehilangan hartanya."
"Dia siapa maksud kamu? Papa hidup sendirian sekarang. Semenjak kamu pergi dari rumah, Papa tinggal sendirian di rumah kita. Kalau kamu tidak percaya, silahkan lihat sendiri. Tidak ada orang lain lagi di rumah selain Bi Rina, pembantu kita," tampik Pranaya.
"Bagus sekali Anda bersandiwara. Anda pikir aku gak tahu apa yang udah Anda lakukan di belakangku? Dia emang gak tinggal di rumah. Tapi dia tinggal di rumah Bi Rina atas perintah Anda." Arais berdiri dan menghampiri Pranaya yang ada di seberang meja. "Aku tahu semuanya. Jangan pikir Anda bisa membohongi aku. Gak! Gak akan bisa. Mata-mataku banyak dan Anda gak akan bisa mengelabui aku," bentak Arais di depan wajah ayahnya sendiri.
Karena seorang wanita, hubungan ayah dan anak yang dulunya tidak pernah rusak, hancur seketika. Arais sangat kecewa dan mempunyai dendam yang begitu dalam pada ayahnya sendiri. Sebelum melihat ayahnya dan pacarnya menderita, Arais akan terus menyiksa mereka.
"Anda butuh biaya banyak 'kan untuk mengobati pacar tercinta Anda? Kerja sama aku. Aku akan memberikan fasilitas yang baik untuk Anda dan dia," tekan Arais.
Pranaya hanya bisa menggelengkan kepalanya karena tidak pernah menyangka Arais akan berubah sekasar ini pada dirinya yang sudah menjaga dan mendidik Arais sejak kecil. Semua kebaikan yang ditanamkan dirinya dan sang istri menguap begitu saja. Pranaya seperti tidak lagi mengenali anaknya sendiri.
'Arais, kenapa kamu jadi berubah seperti ini? Di mana Arais yang dulu papa kenal?' tanya Pranaya dalam hati.
"Papa bisa jelaskan semua itu. Papa—" Pranaya tak ingin Arais semakin salah paham. Namun, Arais memotong ucapannya.
"Aku gak perlu penjelasan dari Anda. Yang aku mau, Anda kerja di sini dan jadikan perusahaan ini untung besar. Sekarang Anda buatkan aku minum. Aku haus," perintah Arais. Kembali duduk dan mengangkat satu kaki lalu meletakkannya di atas kaki yang lain
Billy, Dony dan Miraila hanya menonton pertengkaran ayah dan anak itu. Berbeda dengan Dony dan Billy yang merasa kasihan pada Pranaya, Miraila justru semakin bahagia.
'Akhirnya kamu bisa juga membentak dan menyakiti Pranaya. Puas aku sekarang. Tapi ... pasti akan lebih menarik kalau lihat mereka semakin menjauh dan akhirnya saling melupkaan. Hu, kasihan sekali kamu Pranaya,' cibir Miraila dalam hati. Dia sangat menikmati adegan itu dan bahagia melihat Arais terus memarahi Pranaya.
'Kasihan Pak Pranaya. Kenapa Pak Arais jadi tega banget kayak gini, sih? Aku gak tega lihatnya. Aku harus bantu Pak Pranaya,' ungkap Dony.
Dia pun mendekat. "Biar aku aja yang bikin minuman, Pak. Jangan Pak Pranaya, kasihan. Dia udah tua," bela Dony di depan Arais.
"Aku gak mau yang ambil kamu. Aku mau kopi buatan Pak Pranaya. Silahkan ke pantry dan aku butuh empat kopi. Kalau Anda mau minum, silahkan pilih sendiri di pantry. Tenang aja, akan beri tip yang banyak. Ini ... seratus ribu. Aku kira ini nominal yang cukup besar untuk sebuah tip," hina Arais.
Billy miris melihat atasannya direndahkan oleh Arais. Dia juga tidak menyangka kalau Arais akan tega melakukan itu pada Pranaya. Ingin membantu, tetapi dia juga yang sudah membuat Pranaya masuk ke dalam jebakan ini.
'Kasihan sekali Anda, Pak. Saya minta maaf. Saya tidak mengira kalau Pak Arais pemilik Armail Estate adalah Arais anak Pak Pranaya sendiri. Tapi kenapa dia bisa berbuat sejahat itu pada ayahnya sendiri? Apa yang sudah terjadi di antara mereka?' pikir Billy dengan tatapan sedih. Billy hanya bisa menunduk. Menyesali semuanya.
"Arais. Tega kamu menyuruh Papa kamu sendiri," balas Pranaya.
"Aku gak peduli. Aku haus dan aku butuh kopi sekarang. Cepat bikinkan aku kopi atau Anda gak akan aku beri uang sedikit pun. Aku tahu kalau Anda butuh banyak uang untuk mengobati kekasih Anda yang sedang sakit itu 'kan? Kalau sampai dia tidak dirawat dengan benar, maka dia gak akan bisa jalan lagi. Benar kan?"
Pranaya kaget bukan kepalang. Dari mana dia tahu kalau Iranela sedang sakit parah? Atau jangan-jangan yang sudah merencanakan kecelakaan itu adalah Arais?