Chereads / Pembalasan Arais Zuyo / Chapter 18 - Wanita Penggoda Yang Seksi

Chapter 18 - Wanita Penggoda Yang Seksi

Arais jengah dengan tingkah Miraila. Namun, dia tak ingin membuat Miraila sedih karena dia menjauh darinya. Arais pun tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu Miraila menjauh sendiri.

Tak berbeda dengan assistennya—Dony pun kesal melihat Miraila terus mendekati Arais. Ingin rasanya Dony menarik tubuh wanita penggoda itu agar menjauh darinya.

'Gimana caranya agar dia gak terus deketin Arais, ya?' pikir Dony dalam hati.

Tak butuh waktu lama, Dony pun punya ide bagus.

"Permisi, Pak. Ada klien yang minta meeting sekarang di kafe," ucap Dony mengarang cerita.

Arais langsung bangun dan meninggalkan Miraila. "Kapan? Kalau begitu lebih baik kita ke sana sekarang juga. Aku gak mau sampai datang terlambat," jawab Arais. Tepat sekali. dengan alasan itu, Arais bisa menjauh dari Miraila. Arais pun tersenyum dalam hati.

Mereka berdua pun meninggalkan ruangan. Melupakan Pranaya yang sedang Arais kerjai.

"Aw, sakit. Ih, nyebelin banget, sih. Masa aku ditinggal?" gerutu Miraila kesal. Miraila berusaha duduk kembali dengan normal lalu menghentakkan kakinya dengan kesal.

Miraila yang sedang bersender pada Arais, seketika terhuyung jatuh ke kursi Arais. Kepalanya berada di kursi Arais sedangkan kakinya di kursinya sendiri. Bahkan, karena tak siap dengan tindakan mendadak Arais, terdengar bunyi yang cukup keras dan itu menyebabkan pipi Miraila sakit.

Billy dan Pranaya yang sedang ada di sana reflek tertawa melihat Miraila yang terjengkang hingga pipinya menghantam kursi. Namun, mereka berdua menahannya agar suara tawanya tidak terdengar.

"Apa lihat-lihat? Jangan ketawa! Gak ada yang lucu." Miraila menghardik Billy dan Pranaya. "Arais, tunggu." Miraila pun mengejar Arais.

Tinggallah Billy dan Pranaya berdua di ruangan itu. Billy merasa malu dan tak punya muka untuk berhadapan dengan Pranaya. Namun, dia harus tetap memberanikan diri untuk meminta maaf atas semua yang sudah dia perbuat.

Dengan langkah ketakutan, Billy berusaha mendekati Pranaya yang tengah berdiri menatap pintu.

"Pak Pranaya. Maafkan saya. Saya gak tahu kalau Pak Arais pemilik Armail Estate adalah anak Pak Pranaya sendiri. Saya—" Billy merasa sangat menyesal.

"Lupakan saja. Saya justru berterima kasih pada kamu. Karena kamu ... saya bisa bertemu lagi dengan Arais. Walaupun Arais sudah berubah, saya yakin Arais akan kembali seperti dulu lagi," ucap Pranaya sambil tersenyum menatap Billy.

"Pak Pranaya tidak marah diperlakukan seperti ini oleh anak Bapak sendiri?" telisik Billy penuh tanda tanya.

"Kamu sudah punya anak?" tanya Pranaya membuat Billy semakin bingung.

"Sudah, Pak. Memangnya kenapa?" jawab Billy.

Ada kalanya sang anak mempunyai sebuah keinginan, tetapi kedua orang tuanya tidak tahu kalau dia ingin hal itu. Sang anak akan merajuk dan memusuhi orang tuanya. Namun, saat keinginan sang anak sudah dipenuhi, maka anak itu akan kembali bermanja dengan orang tuanya. Itulah yang sedang dilakukan Arais pada ayahnya.

"Kalau kamu sudah punya anak, kamu pasti pernah mengalami dimusuhi anak saat anak ingin sesuatu tetapi tidak dituruti 'kan? Inilah yang Arais sedang lakukan pada saya. Dia menginginkan sesuatu, tetapi saya belum menuruti. Saat saya menuruti, Arais juga nanti bisa kembali seperti dulu," jelas Pranaya bijak.

"Baik sekali pemikiran Anda. Jarang orang bisa perpikir seperti ini. Memangnya kalau boleh tahu ada masalah apa antara Anda dan Pak Arais?" Billy ingin tahu.

Tidak mungkin Pranaya menceritakan aibnya sendiri.

"Hanya salah paham kecil. Nanti juga Arais tahu kebenarannya." Pranaya tersenyum.

***

Di dalam mobil Arais dan Dony sedang memasang sabuk pengaman. Miraila buru-buru membuka mobil lalu masuk dengan tergesa-gesa.

"Kenapa aku ditinggal, sih? Aku kan mau belajar bisnis. Aku sekretaris kamu, Arais. Harusnya kalau ada apa-apa kamu kasih tahu aku," omel Miraila sambil memasang sabuk pengaman.

Perasaan Dony berubah kusut saat melihat Miraila menyusul. Padahal Dony sudah bahagia meninggalkan Miraila di ruangan itu. Eh, ternyata dia menyusul.

'Rese. Ngapain Mak Lampir ini ikut, sih?' cibir Dony dalam hati.

Arais hanya melirik dia tak mengatakan apapun. Asal tak selalu didekati Miraila, dia tak masalah jika wanita itu ikut.

"Ada urusan bisnis yang harus segera ditangani. Kalau mau ikut, tinggal ikut saja. Jangan banyak omong!" tohok Arais tanpa menoleh.

Dony cekikikan tertahan mendengar omelan Arais yang tajam. Seketika Miraila terdiam sambil memajukan bibirnya. Sebal.

'Aduh. Padahal aku 'kan tadi cuma ngarang. Mau ngapain kita keluar kalo kayak gini? Gak ada satu pun jadwal meeting saat ini.' Dony bingung sendiri.

Dony memainkan jarinya yang sedang memegang kemudi mobil, mencari cara akan ke mana mereka selanjutnya.

"Kita mau ke mana sekarang? Emangnya ada berapa klien yang harus kita temui hari ini?" tanya Miraila sok peduli. Daripada bengong, Miraila memutuskan untuk bertanya sesuatu pada Dony yang sudah membuat rencananya berantakan.

'Aduh, gawat. Tuh, kan dia mulai ngerecokin. Aku harus jawab apa, nih?' keluh Dony dalam hati. Karena takut, tubuh Dony dibasahi keringat dingin.

"A-ada beberapa klien yang mengajak kita kerja sama. Salah satunya—" Dony menjawab gemetar. Jantung Dony berdetak tak karuan. Dia takut kalau kebohongannya terbongkar. Bisa bahaya.

Tiba-tiba ada sebuah telpon masuk.

'Baguslah. Semoga telpon ini bisa membantuku.' Dony berharap dalam hati.

Mendengar Dony ditelpon, Arais langsung menyuruh Dony untuk menyelamatkan nyawa mereka semua. Sangat berbahaya menerima telpon saat sedang menyetir.

"Minggir dulu. Jangan terima telpon saat menyetir," perintah Arais. Dia melirik dengan tatapan tajam.

Dony pun menuruti. Dia menepikan mobilnya dan berhenti di sisi jalan.

"Selamat pagi. Ada yang bisa aku bantu?" Dony menjawab telponnya.

"Pagi. Pak Dony, apakah pagi ini Anda ada acara? Saya ingin memajukan meetingnya sekarang di kafe yang ada di samping Mall di Jakarta," ucap klien itu.

'Terima kasih, Tuhan. Akhirnya Engkau kirimkan bantuan untukku," sambut Dony dalam hati dengan senang. Akhirnya dia menemukan jalan keluarnya.

"Iya. Apa Anda sudah sampai di tempatnya?" jawab Dony seolah mereka sudah menyepakati janji sebelumnya.

"Iya, Pak. Sekarang saya sedang dalam perjalanan. Sepertinya lima belas menit lagi saya sampai."

"Iya, Pak. Sebentar lagi kami juga sampai. Kalau Anda sudah sampai, kabari aku lagi karena sepertinya kami akan datang sedikit telat karena baru keluar dari kantor," jawab Dony bahagia.

Dony tersenyum penuh kelegaan.

"Jadi kita mau ke mana sekarang?" Kembali Miraila bertanya.

Dia ingin mencuri hati Arais dengan cara peduli pada proyeknya. Bukannya tambah suka, Arais malah risih. Miraila terlalu banyak bertanya dan itu membuat kepala Arais pusing.

"Kita akan menemui klien di kafe di Jakarta. Dan aku harap Ibu Miraila gak banyak tanya saat meeting berlangsung. Karena pertanyaan Ibu Miraila hanya akan membuat nama perusahaan kita jatuh. Mengerti Bu Miraila?" tegas Dony kesal.

"Ih, apaan, sih. Akukan tanyanya sama Arais. Ngapain kamu yang jawab. Lagian apa salahnya nanya. Akukan mau bantu proyek ini juga," cetus Miraila sambil meledek geram. Kesal karena direndahkan oleh bawahan Arais.

"Yang dikatakan Dony itu benar. Kamu jangan banyak tanya. Semakin banyak kamu bertanya, klien akan menganggap kita perusahaan bodoh yang gak tahu apa-apa," semprot Arais.

"Ih, kok, kamu malah belain dia? Harusnya kamu bela aku, bukan dia. Nyebelin. Udahlah sana. Aku mau pulang aja. Anterin aku pulang. Sekarang!" rajuk Miraila. Dia melipat kedua tangannya di depan dada.

Arais menghela napas kasar.

'Gawat kalau Miraila marah. Aku hutang budi padanya. Aku gak mungkin biarin dia marah seperti ini terus. Aku harus melakukan sesuatu agar dia gak marah lagi sama aku.' Arais berpikir dalam hati.