Arais terpojok oleh sikapnya sendiri. Dia bukan penipu ulung yang bisa menyembunyikan apa yang dia rasa. Sudah pasti Miraila bisa menebak isi hatinya yang sebenarnya tidak menaruh rasa apapun pada wanita yang sedang terbaring di ranjang rumah sakit itu.
Dia hanya merasa berhutang budi karena beberapa kali sudah menyelamatkan nyawanya dan dia tidak akan bisa membalas semua itu sekalipun jika ditukar dengan nyawanya sendiri. Dia berhutang lebih dari satu nyawa sedangkan dia hanya bisa memberikan Miraila nyawanya yang entah tinggal berapa lagi.
Arais masih mencintai Iranela, walaupun gadis itu sudah mengkhianatinya. Tak bisa Arais pungkiri kalau pesona Iranela sangat kuat sehingga dia masih saja terus membayangkan gadis itu bersamanya dengan kenangan masa lalu yang indah.
Arais mengambil napas panjang dan mulai mengambil sebuah keputusan yang harus segera dia ambil.
"Aku belum siap untuk menikah. Kalau kamu mau, kita tunangan dulu," putus Arais setelah bergulat panjang dengan hati nuraninya sendiri.
Miraila tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia menatap Arais serta menanyakan ulang apa yang baru saja dia dengar. "Kamu bilang apa tadi? Tunangan?"
"Iya. Kita tunangan dulu. Setelah itu baru kita menikah. Aku juga masih ingin membalas perbuatan Pranaya padaku. Jika kita menikah dalam waktu dekat ini, aku takut dia akan memanfaatkan waktu itu untuk dia kabur dari aku." Arais mencari alasan.
"Apa kamu serius, Arais?" Miraila tidak percaya, tetapi dia sangat senang mendengarnya. Miraila tersenyum tidak percaya.
"Iya, aku serius."
"Iya, aku setuju. Aku mau kita tunangan dulu. Kapan kita tunangan?" Miraila tidak sabar dan dia pun menatap Arais dengan mata yang berbinar-binar.
"Nanti aku cari waktu yang senggang agar tidak mengganggu urusan kantor."
"Ok. Aku tunggu kabar dari kamu aja. I love u, Arais," kata Miraila menunjukkan ekspresi sangat bahagia.
***
Arais di kantor sedang melihat berkas-berkas proyeknya. Namun, pikirannya tidak fokus karena terus terpikir dengan pertunangan yang sudah dijanjikan pada Miraila. Bagaimana mungkin dia bisa bertunangan dengan Miraila sedangkan dia masih menyimpan rasa Iranela. Walaupun dia tahu Iranela sudah jahat padanya, tidak bisa Arais pungkiri kalau dia masih sangat mencinta Iranela.
Dony masuk ketika Arais benar-benar tidak bisa lagi mengurusi pikirannya yang tidak fokus. Gelisah, panik dan tertekan yang dia rasakan saat ini.
"Pagi, Pak. Boleh aku masuk?" pamit Dony setelah memberanikan diri membuka pintu dan berdiri di ambang pintu sambil membuka pintu itu sedikit.
"Bukannya kamu sudah masuk? Kenapa masih izin segala untuk masuk. Tidak sopan! Harusnya kamu ketuk pintu dulu sebelum kamu masuk ke ruangan atasan kamu," semprot Arais ketus.
Sakit sekali perkataan Arais, tetapi Dony mencoba tetap tersenyum. Dia mulai biasa mendengar jawaban Arais yang tajam dan menusuk.
"Maaf, Pak. Tadi aku udah ketuk pintu beberapa kali tapi gak ada balasan, makanya aku memberanikan diri untuk masuk karena ada berkas penting yang harus Bapak tanda tangani sekarang juga. Ini, Pak," jawab Dony sambil menyodorkan beberapa berkas penting.
Tanpa banyak bicara, Arais langsung menandatangani berkas itu tanpa membacanya. Percuma saja kalau dia membaca berkas itu, pikirannya sedang tidak fokus, dia tidak akan mencerna setiap isi dokumen tersebut.
Setelah selesai menandatanginya, Arais melempar berkas itu ke atas meja.
Brak
"Ini sudah aku tanda tangani dan aku harap kamu tidak menggangguku saat ini. Aku butuh waktu sendiri. Kamu urus semua meeting hari ini, aku ingin pergi." Kepala Arais berdenyut hebat dan dia tidak akan bisa mengurus apapun di hari ini.
"Baik, Pak," jawab Dony. Dia bersiap untuk pergi setelah mendapat perintah dari Arais.
Baru juga berjalan satu langkah, ponselnya berbunyi. Segera Dony mengangkatnya.
"Nomor siapa ini? Kok, gak ada namanya?" seru Dony bingung saat melihat sebuah nomor asing menghubunginya.
Melihat Arais yang sedang pusing, Dony tidak berani berbicara di ruangan bosnya tersebut. Dia hanya mengangkatnya sebelum sambungan itu berakhir. Setelah Dony keluar dari ruangan Arais, dia baru mau menjawab panggilan itu.
"Ha—halo, Pak. Sa—saya Arya yang mengurus proyek baru. Sa—saya mau lapor, Pak. Saya sedang di rumah sakit. Saya dibegal, Pak dan semua berkas-berkas penting milik kita diambil oleh begal itu. Sepertinya dia bukan begal biasa. Dia tidak mengambil barang-barang berharga saya, tapi dia malah mengincar semua yang berhubungan dengan kantor," kata Arya, salah satu karyawan Arais yang ditugaskan untuk mengurus proyek baru yang berhubungan dengan proyek yang nanti akan dipimpin oleh Dony dan Pranaya.
Arya sangat takut dan cemas karena Arais sangat tegas dalam memberikan sangsi. Dia pasti akan kena masalah besar jika atasannya tahu hal yang telah menimpanya.
"Apa? Kamu dibegal dan semua berkas diambil? Bagaimana keadaan kamu sekarang?" pekik Dony kaget. Dia mendapat laporan musibah itu. Namun, dia masih mempunyai hati dan lebih mengkhawatirkan keadaa bawahannya tersebut dari pada urusan kantor.
"Sa—saya hanya luka ringan karena mempertahankan berkas itu, Pak. Tapi semua berkas-berkas penting milik kita diambil oleh begal itu, Pak. Bagaimana ini, Pak? Saya takut. Pak Arais pasti marah besar pada saya," jawab Arya gemetar ketakutan. Belum bertemu dengan Arais saja dia sudah takut setengah mati, apalagi kalau sampai dia bertemu langsung. Bisa pingsan atau terkena serangan jantung mendadak dibuatnya.
"Kamu tenang. Aku akan mengurus masalah ini. Kamu urus saja kesehatan kamu dulu. Jangan takut dan serahkan semuanya padaku. Biaya rumah sakit akan ditanggung kantor, kamu gak usah khawatir. OK. Aku akan ambil lagi berkas-berkas kita dari begal itu."
Nut
Telpon dimatikan. Dony geram dan kesal. Kemarin ada begal yang sudah membuat Miraila terkena tembakan dan sekarang karyawannya dibegal dan diambil semua yang berurusan dengan kantor. Dony curiga kalau semua ini ada hubungannya dengan motif ekonomi. Ini pasti masalah bisnis.
"Aku harus minta bantuan pada anak buahku. Tidak akan bisa aku mengurus masalah ini sendirian tanpa bantuan dari dia." Dony mencari nomor anak buah setianya. Setelah dia menemukannya, dia segera menghubungi nomor tersebut.
"Arya sudah dibegal dan semua berkas penting dari kantor diambil. Kamu cari tahu di mana begal itu sekarang dan ambil semua berkas-berkas kantor yang dicuri mereka. Babat tuntas sampai ke akar masalah ini karena aku yakin ini masalah bisnis, bukan hanya sekedar masalah uang. Setelah kamu berhasil, hubungi aku lagi," perintah Dony tegas.
"Siap, Bos. Bos tinggal duduk manis di kantor dan saya akan segera memberikan kabar baik pada Bos kurang dari dua puluh empat jam. Anak buah saya sangat banyak dan pasti akan sangat mudah untuk mendapatkan begal itu. Kita langsung masukkan ke penjara atau kita eksekusi sendiri dulu, Bos?" tanya Zio.
"Kita gali informasi dari dia. Kita harus tahu siapa orang yang udah nyuruh dia. Setelah kita tahu siapa dalangnya, kita jebak bos mereka untuk datang. Baru kita masukin mereka ke penjara. Paham?" titah Dony sekali lagi.