"Riki, ayolah," rengek Bela pada teman sebangkunya itu, "Ayo kita kerjakan saja sekarang."
Riki sibuk bermain game di ponsel. Tidak mempedulikan Bela yang semakin hari semakin khawatir karena tugasnya belum juga selesai.
Sekarang gadis itu tahu bagaimana perasaan Riki beberapa hari lalu. Bocah laki-laki itu juga pasti merasakan kepanikan yang sama karena anak lain sudah mulai mengerjakan sementara mereka belum.
Untuk sekarang, banyak yang sudah menyelesaikan tugas tersebut. Bahkan Andi juga hanya kurang sedikit lagi. Sepertinya tinggal mereka berdua yang belum bergerak sedikit pun.
"Apa kau tidak khawatir dengan nilai tugas?"
Riki berdecak. "Tidak."
"Yang benar saja?" Bela melebarkan mata tak percaya.
Sosok yang menjadi teman sebangkunya itu kurang lebih sama seperti Andi. Mereka berdua begitu peduli dengan nilai. Bedanya, Andi padahal sosok yang mau merepotkan diri sendiri demi nilai. Sementara Riki akan melakukan secukupnya demi nilai.
Bela tidak bisa tidak terkejut mendengar hal itu. Saat Riki enteng berkata bahwa dia tidak khawatir dengan nilai tugas, Bela langsung berpikir kalau pendengarannya salah.
"Kau sedang bercanda, kan? Sejak kapan kau tidak peduli dengan nilaimu sendiri?" Sampai detik ini Bela masih tidak percaya dengan yang dia dengar barusan.
Rasanya tidak mungkin seorang Riki tiba-tiba saja berubah seperti itu. Sebelum-sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. Bahkan sekalipun mereka tidak berada di kelas yang sama saat kelas sepuluh, Bela bisa tahu seperti apa sosoknya jika menyangkut soal pelajaran.
"Kenapa aku harus peduli disaat teman sekelompokku saja tidak peduli sama sekali?"
Rahang Bela jatuh saking tak percaya.
"Sejak kapan aku tidak peduli?" Bela menaikkan nada bicara tanpa sadar.
Dia sudah terus-terusan mengajak teman sebangkunya itu untuk mengerjakan tugas. Tetapi Riki sendiri lah yang terus menghindari dirinya. Lalu sekarang tiba-tiba saja Riki menyalakannya.
Bela merasa keadaan ini tidak bisa dipahami. Otaknya tidak bisa memproses apa yang baru saja terjadi.
"Sejak awal kau tidak mau mengerjakannya. Kau ingin aku mengerjakannya sendiri, kan?" Riki bertanya sinis, mengungkit tentang percakapan mereka pada hari Jumat pekan lalu.
Waktu itu Bela memang terlalu menghindar dari Riki. Mereka baru menjadi teman satu bangku beberapa hari, tapi tugas kelompok bersama. Yang mana hanya ada mereka berdua di dalam kelompok itu.
Bela tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika dia harus menghabiskan waktu berdua saja dengan Riki. Setelah apa yang terjadi pada mereka saat masih kelas sepuluh, Bela tidak bisa bersikap biasa saja di sekitar Riki.
Gadis itu akan bersikap berlebihan. Entah menghindar dengan berlebihan, atau diam dengan berlebihan, atau juga menjadi sok akrab berlebihan.
Yang jelas Bela tidak bisa bersikap biasa-biasa saja di sekitar teman sebangkunya. Dia selalu merasa canggung, sehingga otaknya selalu menyuruh dirinya untuk melakukan sesuatu demi mengurangi kecanggungan tersebut.
Meski pada akhirnya dia hanya bertingkah berlebihan saja.
"Aku minta maaf untuk yang itu," ujar Bela saat tidak tahu harus menyikapi keadaan tersebut bagaimana. "Aku juga sudah minta maaf sebelumnya, kan? Apa kau tidak mendengarnya?"
"Memangnya setelah kita mendengar seseorang meminta maaf, kita bisa langsung memaafkan orang tersebut? Tidak, kan?"
Bela menarik napas dalam-dalam.
Berhadapan dengan Riki selalu saja menguras tenaga dan emosi.
Bocah lelaki itu sudah mendengar dirinya meminta maaf tetapi mengaku bahwa dia belum memaafkannya. Mungkin saja dia seorang pendendam bisa memaafkan orang dengan mudah. Mungkin juga dia hanya terlalu kesal karena Bela bermain-main masalah tugas.
"Tidak bisa kah kau memaafkanku saja? Ayo kita berbaikan dan selesaikan tugasnya bersama," bujuk Bela setelah membuang rasa malunya entah ke mana.
Dia memang tahu kalau dia bersalah Tetapi dia tidak bisa mempertahankan rasa bersalahnya itu jika ingin dimaafkan oleh Riki. Laki-laki itu harus dibujuk sampai akhir, sampai bisa memaafkannya.
Riki menghela napas. Dia menatap Bela yang memohon kepadanya.
Pada akhirnya Riki mengalah. "Baiklah."
Senyum sumringah langsung muncul di wajah Bela. Rasa senangnya tidak terkira karena usahanya berhasil juga setelah mendapat banyak kesusahan sejak tadi.
Dia tahu kalau usaha tidak akan mengkhianati hasil. Karena itu dia tadi tetap membujuk Riki meski hanya menyulut kekesalan lelaki itu semakin menjadi-jadi.
Sekarang semua terbayar. Usahanya berhasil membujuk teman sebangkunya yang bersikap dingin akhir-akhir ini. Akhirnya dia bisa mengerjakan tugasnya dengan damai.
"Nanti jam istirahat kita kerjakan. Kalau bisa sampai selesai sekalian," ujar Riki dengan ketus.
Bela mengangguk setuju. Pada saat seperti ini, memang Bela harus setuju setuju saja pada apa pun yang dikatakan oleh Riki. Demi menghindari adanya perang lagi di antara mereka.
Intinya Bela perlu untuk mengalah untuk sementara pada semua hal di antara mereka. Bahkan jika nanti Riki tiba-tiba berbuat semena-mena dengan menyuruh-nyuruhnya seakan dia babu, maka dia tidak bisa protes. Dia harus tetap patuh demi menjaga kedamaian sampai tugas mereka selesai.
"Tapi aku tadi belum sarapan," ucap Bela setelah teringat kalau perutnya masih kosong sejak bangun tadi pagi.
Tidak makan atau minum apapun saat di rumah tadi. Dia hanya minum air putih yang dia minta dari Kira. Kebetulan gadis itu selalu membawa air minum ke sekolah.
Selain hal itu, Bela belum mengonsumsi apa pun lagi.
Kalau dia harus melewatkan jam istirahat seperti kemarin di perpustakaan, mungkin perutnya akan terus berteriak sepanjang waktu.
Berbeda dengan kemarin, saat bersama dengan Andi, dia sudah sarapan sehingga tidak begitu sulit untuk menahan lapar di tengah hari. Keadaan sekarang perutnya benar-benar kosong. Bisa-bisa nanti dia tidak akan punya tenaga untuk sekadar berjalan pulang.
"Ke kantin dulu saja. Aku akan menunggu di perpustakaan."
Bela tersenyum. Senang karena Riki tetap memberi perhatian kecil meski sedang diterpa rasa kesal.
Riki memang selalu seperti ini.
***
Seperti yang tadi Riki suruh, saat jam istirahat tiba Bela langsung melesat ke kantin bersama gadis-gadis lain. Sementara Riki langsung pergi ke perpustakaan membawa buku catatan dan juga satu pulpen saja.
Sampai di perpustakaan, dia mencari buku-buku referensi untuk tugas mereka. Dia juga mengambil sebuah novel dengan sampul yang menarik perhatian.
Dia duduk dan membiarkan buku referensi tergeletak begitu saja. Dia lebih memilih membaca novel sambil menunggu kedatangan Bela yang mungkin akan memakan waktu setengah dari total jam istirahat mereka.
Namun sampai jam istirahat tinggal lima menit lagi, masih belum ada tanda-tanda kedatangan Bela ke tempat itu.
Riki sudah menutup novel dan melongok ke pintu beberapa kali. Menunggu kehadiran gadis itu. Tetapi tidak ada yang datang.
Riki juga sudah mengirim chat pada Bela. Yang mana tidak mendapat balasan apa pun. Gadis itu bahkan tidak membaca chat-nya setelah bermenit-menit berlalu.
Begitu bel masuk berbunyi, Riki segera kembali ke kelas. Dia juga berniat mencari tahu apa yang terjadi pada Bela, takut terjadi sesuatu pada gadis itu.
Namun begitu sampai di kelas, gadis itu ternyata ada di sana.
Sedang duduk dan bercanda bersama dengan Andi.