"Kalian … datang bersama?" tanya Andi sambil menatap Riki dan Bela yang baru saja masuk ke dalam kelas bersamaan.
Riki mengangguk kecil lalu berlalu ke tempat duduknya. Sementara Bela menjawab dengan lebih bersahabat, "Iya. Riki menjemputku barusan."
"Ah, begitu …," Andi berkata dengan seperti gumaman.
Bela yang memperhatikan wajah laki-laki itu merasa kalau dia tampak kecewa. Bela pun mengernyit karena dia pikir tidak ada hal yang mengecewakan di sini.
"Kenapa memangnya?" tanya Bela. Dia tidak bisa menahan diri dari rasa penasarannya. Terlebih setelah Andi kemarin berkata bahwa dia merasa cukup memiliki satu teman yaitu Bela. Bela menjadi merasa penasaran dengan apa yang sebenarnya ada di pikiran tetangganya itu.
"Bukan apa-apa, aku hanya mengira kau berbohong saat kemarin bilang akan berangkat dengan Riki." Andi mengendikkan bahu. Lalu dia tersenyum kering.
Bela kemarin memang berbohong tentang hal tersebut. Siapa yang menyangka kalau ternyata Riki akan betulan datang ke rumahnya dan berikan tumpangan ke sekolah tanpa dia minta sekali pun. Hal tersebut membuat kebohongannya menjadi nyata.
Dia tidak tahu kalau ternyata Andi bisa mengendus kebohongannya. Dia berterimakasih pada Riki karena menjemputnya pagi ini.
Riki yang mendengar percakapan mereka ikut menyahut dari tempat duduknya, "Kenapa kau berpikir Bela berbohong untuk hal-hal seperti itu?"
Bela melirik Riki, lalu kembali menatap Andi menunggu jawaban dari laki-laki itu. Dia juga penasaran.
"Kemarin kau tampak terganggu saat Bela bilang akan berangkat bersamamu," jawab Andi sambil menatap Riki. Sekali lagi dia mengendikkan bahunya dengan cuek.
Riki hanya mengangguk-angguk samar kalau kembali fokus pada kegiatannya sendiri. Bocah laki-laki itu pun mengabaikan Andi dan Bela yang kini menjadi sedikit canggung karena pembahasan tentang kebohongan tersebut.
Sebelum suasana menjadi lebih canggung dan aneh, beruntung seorang guru datang tepat pada saat bel masuk berbunyi.
Kelas pun langsung riuh karena beberapa anak masih berada di luar kelas atau bahkan ada yang belum sampai ke sekolah sama sekali.
Bela pun langsung duduk di bangkunya dengan tergesa.
***
"Riki, masalah tugas kelompok—"
Riki bangkit dari duduknya, pergi meninggalkan Bela yang bahkan belum menyelesaikan kalimatnya.
"Riki!"
Bocah laki-laki itu tidak menoleh setelah dipanggil dengan suara sangat keras sekali pun. Bela mendengus kesal. Dia gagal lagi membujuk anak itu untuk memaafkan dirinya.
Padahal dia tampak sangat khawatir dengan bekas luka lecet yang tidak seberapa di kaki dan tangannya. Tapi dia masih saja tidak bisa memaafkan dirinya yang lupa ke perpustakaan saat jam istirahat kemarin.
"Dasar aneh," Bela mendumal karena kesal dengan tingkah aneh teman sebangkunya itu.
"Ayo ke kantin."
Bela mengangkat wajah dan melihat teman-temannya yang sudah bergerombol bersiap ke kantin. Bela pun bangkit dari duduk dan mengikuti ajakan mereka. "Ayo. Aku lapar sekali."
Dia akan memikirkan masalah Riki nanti. Sekarang saatnya dia untuk memikirkan dirinya sendiri yang kelaparan karena terlalu banyak menggunakan energi untuk berpikir selama di kelas barusan.
Dia perlu mengisi ulang energinya supaya nanti otaknya masih bisa berfungsi. Tidak mungkin dia di kelas-kelas selanjutnya mengabaikan pelajaran hanya karena dia kelaparan.
Begitu sampai di kantin, dia melihat Riki bersama anak-anak lain juga sedang duduk di meja paling pojok.
Tidak seperti saat bersama dirinya, Riki tampak lebih ceria saat bersama dengan teman-temannya. Dia tertawa dengan lepas dan bercanda dengan bebas.
Sementara tiap kali bersama dengan dirinya, Riki selalu saja memasang wajah menyebalkan dan bersifat tidak kalah menyebalkan dari pada wajahnya itu.
Bela menghela napas. Dia tidak bisa menyalakan laki-laki itu untuk hal tersebut. Wajar saja dia jauh lebih bebas saat bersama dengan teman-temannya sendiri. Sementara dia bukanlah teman yang bisa membuatnya merasa bebas atau pun menjadi diri sendiri. Yang ada malah pertengkaran saja dengan dirinya.
Bela pun mencoba untuk mengabaikan laki-laki tersebut, dan fokus pada dirinya sendiri serta teman-temannya.
Sebenarnya dia sama saja seperti Riki. Dia juga lebih bisa tertawa dengan bebas saat bersama teman-temannya daripada dengan teman sebangkunya itu. Dia bisa bercanda dengan lebih nyaman di sekitar para gadis-gadis dibanding saat sedang bersama Riki.
Setelah selesai makan, mereka pun kembali ke kelas dan bergosip dengan hikmat. Tetapi di tengah-tengah kegiatan tersebut, Andi memanggil Bela, meminta gadis itu untuk meluangkan waktu untuk berbicara dengannya.
"Ada apa?" tanya Bela setelah meninggalkan gerombolan teman-temannya yang masih asyik bergosip itu.
Andi menunjukkan sebuah buku yang berisi tugas yang belum selesai. Dia menunjukkan cengiran lalu berkata, "Bantu aku menyelesaikan ini."
"Ah, tugas kelompok itu ya …." Bela menyipit menatap halaman buku tersebut yang sudah dihiasi oleh tulisan meski belum sampai penuh.
Sementara lembar tugasnya sendiri masih kosong kelompok, karena dia masih sibuk untuk berusaha perbaikan dengan teman sebangkunya sekaligus teman sekelompoknya itu.
Bela bersalah berada di sini. Harusnya sekarang dia mencari Riki dan memohon ampun pada laki-laki itu supaya dia mau memaafkannya dan membiarkan dirinya ikut mengerjakan tugas kelompok yang sudah tertunda selama beberapa hari itu.
"Tolong bantu aku," pinta Andi sekali lagi. Kali ini dia menampilkan wajah sok memelas.
Bela berdecak. Dia bukanlah anak yang pintar, dia juga belum menyelesaikan tugasnya sendiri. Dia merasa kalau Andi sepertinya salah meminta bantuan masalah seperti ini.
"Lebih baik kau minta bantuan anak yang lebih pintar saja. Sekalian kau coba untuk berteman dengan mereka," saran Bela. dia tidak merasa mampu untuk membantu bocah laki-laki itu menyelesaikan tugasnya. Karena Bela sendiri belum.
Sekaligus dia menyarankan Andi untuk lebih membaur dengan anak-anak sekelas. Karena selama ini Andi tampaknya terlalu pasif dalam masalah sosial. Mungkin karena dia takut untuk bertemu dengan penggemarnya yang terlalu berlebihan terhadap dirinya.
Andi tampak tidak puas dengan jawaban Bela. "Tidak bisakah kau yang membantuku saja? Aku tidak terlalu nyaman dengan orang lain."
Andi melirik ke kanan kirinya. Dia juga merendahkan suaranya saat mengatakan hal tersebut. Takut didengar oleh orang lain dan disangka sebagai anak yang sombong.
Dia tidaklah sombong, dia hanya takut karena sejak awal keberadaannya di sekolah ini terlalu banyak anak-anak yang memperlakukannya seperti seorang selebriti dan bertindak berlebihan.
Bela berdecak lalu bertanya sarkas, "Lalu apa kau nyaman denganku?"
Bela tahu kalau Andi tidak nyaman dengan anak-anak hanya memperlakukannya dengan berlebihan. Tetapi dia tidak berpikir bahwa dirinya berbeda dari anak-anak lain sebenarnya.
"Kau tidak melakukan dengan berlebihan. Kau melakukan ku seperti anak biasa," balas Andi.
Bela mengernyit. Sedikit tidak setuju dengan ucapan Andi. "Apa kau berpikir aku berbeda dari anak-anak lain? Bagaimana kalau aku ternyata sama saja?"