"Riki!"
Bela berjalan sedikit terpincang secepat yang dia bisa. Berusaha menyusul Riki yang meninggalkannya begitu saja. Padahal dia hanya minta supaya mereka berbaikan dan melupakan semua yang sudah terjadi.
Melihat Riki yang langsung pergi tanpa berkata apa-apa, kemungkinan besar dia masih belum memaafkan dirinya yang lupa ke perpustakaan tadi siang.
"Riki!"
Bocah laki-laki itu pergi begitu saja setelah mendengar apa yang diminta oleh Bela. Meski dia khawatir pada teman sebangkunya itu, dia masih belum bisa memaafkan perbuatan Bela tadi.
Sebenarnya kalau Bela hanya lupa ke perpustakaan, Riki mungkin masih bisa membiarkan saja. Tetapi gadis itu bukan sekadar lupa, tapi malah bermain-main dengan anak lain. Riki tidak tahan melihat hal tersebut.
"Riki!"
Riki sampai di motornya. Dia melihat Bela lewat spion sedang berusaha mengejarnya. Riki pun sengaja menunggu, tidak tega melihat gadis itu berjalan dengan kaki yang masih terluka.
"Riki," Bela menepuk pundak laki-laki itu begitu sampai. Sekalian berpegangan karena kakinya terasa semakin perih setelah mengejar teman sebangkunya itu.
"Tidak bisakah kau memaafkanku? Tadi aku punya alasan kenapa tidak bisa ke perpustakaan menemuimu," ujar Bela dengan napas ngos-ngosan.
Riki mengabaikannya dan malah berkata, "Naik."
"Hah?"
"Naik," suruh Riki sekali lagi.
Bela lalu paham kalau laki-laki itu sedang menawarkan tumpangan. Bela merasa ragu untuk naik karena kakinya masih terasa sakit. Dia menatap Riki sebentar, lalu berpegangan padanya kuat-kuat saat berusaha duduk di boncengan motor tersebut.
Perjalanan ke rumah Bela yang menghabiskan setengah jam berlalu dengan tenang. Tidak ada yang berbicara di antara mereka. Anehnya, tidak terasa canggung sedikit pun. Justru terasa nyaman dan tenang.
Rasanya sudah lama sejak mereka berada dalam suasana seperti ini; hening, damai, dan … hanya berdua.
"Terimakasih," ujar Bela begitu sampai di rumahnya.
Riki mengangguk singkat sebagai respon. "Lukamu …, jangan lupa untuk diobati. Bawa ke rumah sakit kalau perlu."
Tawa bela mengudara mendengar bagaimana Riki berlebihan tentang luka kecil di tubuhnya itu. Sungguh, sekarang terasa seperti dia dan Riki kembali ke masa lalu.
Bela tidak suka untuk bernostalgia. Tetapi untuk sekali ini saja, dia ingin menikmati perhatian Riki yang dia dapat setelah semua hal yang terjadi di antara mereka
"Jangan berlebihan. Hanya perlu diobati sedikit, palingan juga akan sembuh dalam beberapa hari," ujar Dara.
Dia yang terluka jadi dia juga yang merasakan rasa sakitnya. Dia bisa tahu kalau tubuhnya tidaklah terluka terlalu parah. Bahkan tidak parah sama sekali. Dia yakin bisa sembuh dalam beberapa hari. Selain itu dia juga tidak ingin kalau bocah laki-laki itu khawatir.
Riki menghela napas. Sadar kalau dia tidak bisa memaksa gadis tersebut. Dia tidak memiliki hak dan gadis itu jauh lebih memahami tubuhnya sendiri.
"Terserah kau saja. Yang penting jangan sembunyikan dari keluargamu. Biar kalau ada masalah apa-apa, kau tidak akan kesulitan," Riki memberikan nasihat dengan serius. Tampak berbeda dari orang yang tadi meninggalkan gadis itu begitu saja setelah diminta berbaikan.
"Iya, iya. Sana kau pulang."
Melihat Riki yang masih diam saja, Bela pun kembali berkata, "Pulang sana. Jangan bilang kau sedang menunggu disuruh mampir?"
Riki mendengus mendengar itu. Tapi dia tidak kunjung pergi juga. Dilihat dari wajahnya, sepertinya dia memiliki sesuatu untuk disampaikan atau ditanyakan. Dan kebetulan, Bela menyadari hal itu.
"Kau mau bilang sesuatu?" Bela menaikkan alis, penasaran dengan hal yang mengganjal laki-laki tersebut sampai belum bisa pulang.
Laki-laki itu pun bertanya ragu, "Besok kau berangkat ke sekolah?"
Tanpa menunggu waktu lama, tanpa berpikir lebih dulu mungkin, Bela segera mengangguk. Mengiyakan secara tidak langsung pertanyaan Riki barusan.
"Kau yakin? Tangan dan kakimu tidak sedang baik-baik saja," Riki mengingatkan gadis itu tentang keadaannya sendiri. Barangkali gadis itu lupa kalau tadi di parkiran sekolah dia habis terserempet motor. "Kau bisa izin, tidak usah memaksakan diri."
"Apanya yang memaksakan diri, sih? Ini bukanlah luka yang bisa membunuhku. Jadi kau tidak usah khawatir, oke? Aku baik-baik saja." Bela menunjukkan dirinya sendiri yang bisa berdiri dengan tegap di atas kedua kakinya sendiri. Dia tidak berpegangan pada apa pun sebagai alat bantu. Jadi dia percaya diri kalau keadaannya jauh dari kata berbahaya. Pergi ke sekolah bukanlah hal yang sulit bagi keadaannya itu.
"Sudah sana pulang," Bela kembali mengusir teman sebangkunya itu. "Terimakasih buat tumpangannya."
Setelah menghela napas dalam, Riki pun menjalankan motornya dan meninggalkan Bela. Sementara Bela masih berdiri di luar dan terus memperhatikan sampai Riki benar-benar tidak terlihat lagi.
Begitu dia berniat masuk, tiba-tiba seseorang menghampirinya.
"Kau baru pulang?"
Bela menoleh, lalu tersenyum lebar. "Oh, hai. Iya ini aku baru saja pulang. Kau sendiri? Sepertinya sudah sejak tadi, ya?" Bela berkata setelah melihat tubuh Andi yang terbalut pakaian biasa, bukan seragam sekolah seperti dirinya.
"Iya. Tadi aku segera pulang sebelum dikerubungi banyak orang. Tadinya aku mau mengajakmu pulang bersama. Tapi keadaannya kurang memungkinkan. Maaf, ya," Andi berujar sambil menatap penuh rasa bersalah.
"Kenapa mendadak meminta maaf? Kan kau tidak punya kewajiban apa pun buat memberiku tumpangan. Santai saja."
Bela tidak paham kenapa tetangganya itu harus sampai meminta maaf hanya karena hal seperti itu. Bela bahkan punya banyak teman yang satu arah pulang dengannya tapi tidak pernah menawarkan tumpangan kecuali Bela yang memintanya lebih dulu. Dan teman-temannya itu tidak pernah meminta maaf.
"Karena besok kau bilang akan berangkat dengan Riki, jadi aku berniat pulang bersamamu hari ini. Tapi ternyata hari ini kau juga pulang dengan teman sebangkumu itu," Andi berujar kecut.
"Ah, kau melihat kami lewat ternyata," Bela kemudian sadar kalau Andi juga tinggal di sekitar situ. Sudah pasti Andi melihat Riki memboncengnya barusan. Yang dia tidak paham adalah, kenapa Andi merasa perlu untuk memberi tumpangan kepadanya? Padahal dia tidak pernah meminta.
Andi mengangguk. "Kalian juga mengobrol lama."
Mata Bela sedikit melebar. "Kau menunggu kami selesai berbincang sebelum menghampiriku?"
"Iya."
Bela mengerjap tidak paham. Jawaban Andi keluar begitu saja dari mulutnya seperti tidak perlu dipikir lebih dulu. Seakan dia sudah tahu harus menjawab apa sejak awal, dia juga terdengar tanpa ragu.
Masalahnya Bela tidak paham kenapa dia harus melakukan semua itu. Buat apa laki-laki itu menunggu sebuah percakapan selesai untuk menghampiri dirinya?
"Kenapa—? Maksudku, buat apa? Buat apa kau menunggu?" Bela kebingungan, "Kau bisa bergabung dengan kami kalau mau, sekalian menyapa Riki juga. Supaya kalian lebih dekat. Kau kan belum punya teman di sekolah."
"Aku sudah punya kau."
"Aku tidak bisa dihitung sebagai teman sekolah, dong. Kita kan tetangga. Secara teknis, kau memang belum berhasil membuat pertemanan dengan siapa pun di sekolah." Dara manggut-manggut sambil berkata begitu. Seperti seorang kakek tua yang sedang menasihati anak muda.
"Aku sudah punya kau," Andi mengulang kalimatnya yang tadi. Lalu melanjutkan, "Dan itu sudah cukup."