16 Kamis pagi
Bela tidak mengerti apa yang barusan dia dengar. Kenapa juga dia bisa menjadi cukup menjadi satu-satunya teman Andi? Maksudnya, kenapa Andi merasa cukup hanya dengan memiliki satu teman yang adalah dirinya?
Bela tidak paham.
Sampai keesokan harinya dia masih memikirkan hal tersebut. Pagi hari dia sedang bersiap ke sekolah pikirannya dipenuhi oleh pengakuan dadakan Andi yang menurutnya tidak jelas itu.
Dia pribadi sangat senang untuk membuat teman baru dengan anak lain. Berteman adalah sesuatu yang menyenangkan.
"Bela? Sudah siap belum?" Ibunya dari lantai bawah memanggil.
Bela yang sedang merapikan buku pun segera menyelesaikan kegiatannya itu dan membawa tasnya menuju ke bawah. "Sudah, Bu!"
Dia berseru sambil menuruni tangga. Langkahnya tidak dipelankan sedikit pun, masih seperti biasa berjalan dengan penuh antusias dan semangat.
Padahal kemarin baru saja terserempet motor.
Begitu dia sampai di bawah, dia mendadak mematung melihat siapa yang sudah duduk bersama ibu di meja makan.
"Riki?"
Riki menoleh. "Hai," sapanya dengan setengah hati. Setelah itu dia lanjut makan pagi bersama ibu Bela seakan itu adalah rumahnya sendiri.
"Ayo sini, Bel. Sarapan dulu," suruh ibunya dengan biasa saja. Seakan tidak sedang ada orang lain di rumah mereka.
Dengan langkah ragu dan mata yang tidak kunjung terlepas dari Riki, Bela berjalan menghampiri mereka. Dia duduk di sebelah ibunya, sementara Riki ada tepat di hadapan ibunya.
"Bagaimana dia ada di sini, Bu?" tanya Bela dengan heran.
Dia tidak repot-repot menurunkan volume suara, membiarkan Riki mendengar secara langsung kalau dia sedang dibicarakan.
"Kenapa kau bertanya begitu? Dia kan ke sini untuk menjemputmu," jawab ibu Bela yang membuat anaknya terkejut.
"Menjemput aku?" Bela mengerjap-ngerjap tidak percaya dengan yang barusan dia dengar. Dia lalu menatap Riki. "Kau menjemputku?"
Riki meraih air putih dan meminumnya sebelum menjawab, "Iya. Cepat selesaikan sarapanmu. Kita harus berangkat sebelum terlambat."
"Baiklah," Bela menurut dan melanjutkan sarapannya dengan hikmat. Tidak ada lagi suara di meja makan itu sampai dia selesai. Ibunya juga tidak berkata apa-apa. Semuanya fokus pada sarapan masing-masing dan menciptakan suasana hening yang anehnya tidak terasa canggung.
Bela sendiri biasa berbincang dengan ayah dan ibunya jika sedang makan bersama. Tidak pernah mereka membiarkan suasana menjadi tanpa suara. Tetapi kali ini, dia untuk pertama kalinya makan dalam hening.
Dulu dia pikir makan tanpa mengobrol bisa membuat suasana menjadi canggung dan aneh. Nyatanya sekarang tidak terasa begitu sama sekali. Tidak terasa canggung meski ketiganya hanya makan dalam diam saja.
Setelah selesai sarapan, kedua anak SMA itu pun pergi untuk pergi ke tempat mereka menuntut ilmu.
"Kau sungguh datang ke sini untuk menjemputku?" tanya Bela saat sedang memakai helm yang dibawakan oleh Riki.
Riki yang sudah siap di atas motor, memperhatikan gadis itu yang kesulitan mengaitkan helmnya. Dia terlalu fokus pada memperhatikan gadis itu sampai tidak mendengar pertanyaannya.
Bela menatap Riki yang diam saja. "Hei!"
Riki mengerjap. "Apa?"
"Aku sedang bertanya padamu, tidak bisakah kau menjawabnya? Kenapa malah diam saja?" Bela berujar dengan kesal. Dia menahan diri untuk tidak memukul laki-laki itu karena mungkin saja ibunya sedang memperhatikan dari balik jendela.
"Kau tanya apa?" Riki bertanya, meminta pengulangan.
Dia sebenarnya tidak mendengar pertanyaan gadis itu sama sekali. Dia terlalu fokus tadi. Tapi dia lebih memilih mengatakan dia melamun dari pada berkata dia memperhatikan gadis itu sampai lupa pada sekitar.
"Kau sungguh datang ke sini untuk menjemputku?"
Meski kesal karena barusan dia diabaikan, pada akhirnya Bela tetap mengulang pertanyaannya. Tentu saja karena dia penasaran. Rasanya tidak mungkin Riki datang ke sini hanya untuk menjemputnya saja. Benar-benar tanpa alasan lain.
"Buat apa lagi aku ke sini kalau bukan untuk menjemputmu?" jawab Riki saat Bela mulai menaiki motor di bagian belakang. "Seperti aku punya alasan lain saja."
"Justru itu, buat apa kau menjemputku kalau tidak ada alasan lain?" Bela menyamankan duduknya di boncengan motor. Lalu setelah merasa pas, dia menepuk bahu laki-laki itu. "Ayo berangkat."
Motor pun melaju meninggalkan rumah gadis itu.
Dalam perjalanan, mereka masih melanjutkan percakapan yang belum selesai itu. "Memang aku harus punya alasan lain?"
"Rasanya aneh melihatmu berbuat baik padaku tanpa ada alasannya," ujar Bela jujur. Dia tidak terbiasa dengan hal itu, sekali pun dulu dia selalu mendapat perlakuan baik dari Riki tanpa alasan.
"Aku punya alasan, kok," ujar Riki.
Bela mencondongkan tubuh ke depan. Bertanya dengan penasaran, "Apa itu?"
"Aku khawatir."
Diam.
Hening.
Tidak ada yang bersuara.
Mereka mendadak tidak menemukan kata untuk diucapkan setelah barusan lancar-lancar saja mengobrol.
Bela tidak menyangka akan mendengar satu kata itu sebagai sebuah alasan kedatangan Riki ke rumahnya. Bahkan dulu saat mereka masih dekat, laki-laki itu cukup jarang datang ke rumahnya. Nyaris tidak pernah malah. Hanya sesekali, itu pun hanya mengantar pulang saja. Tidak sampai mampir.
Tadinya Bela gagal paham kenapa laki-laki itu khawatir terhadap dirinya. Lalu sedetik berikutnya, dia ingat kalau dia habis mengalami kecelakaan kecil di parkiran sekolah kemarin. Riki juga yang mengantarnya pulang kemarin.
"Wah, kau sangat perhatian ternyata," ujar Bela tanpa dipikir, sangat spontan dan lolos begitu saja dari mulutnya. Tetapi dia tidak menyesal mengatakan itu.
"Kau baru sadar?" Riki mendengus. "Berterimakasih lah padaku nanti."
"Sebenarnya aku tidak akan mati meski kau tidak memberiku tumpangan," balas Bela. Tidak ingin membiarkan laki-laki itu berada di atas angin lebih lama. Dia ingin menyeret Riki untuk kembali menapak kembali ke bumi.
Riki berdecak. Tidak memberikan balasan akan hal tersebut. Tetapi dia menanyakan hal lain. "Lukamu baik-baik saja, kan?"
"Tenang saja, aku sudah bilang sejak kemarin ini hanya luka kecil," jawab Bela dengan bangga. Dia tahu dia tidak akan mati hanya karena satu keserempet motor sekali saja.
Luka-lukanya masih ada. Rasanya sedikit sakit dan perih. Tetapi itu tidak akan membunuhnya. Dia masih bisa bertahan dengan semua luka itu. Bahkan kegiatan hariannya tidak terganggu sama sekali.
"Sudah kau bersihkan?" tanya Riki.
Lagi-lagi dia memperlakukan luka itu secara berlebihan. Padahal Bela sudah menjelaskan kalau luka tersebut bukanlah apa-apa.
"Tenang saja. Ibuku sendiri yang mengurus lukanya."
Kemarin saat masuk ke rumah, dia langsung menceritakan apa yang terjadi pada ibunya. Dia menurut pada Riki yang menyuruh untuk tidak merahasiakan hal ini dari orang tuanya.
Sepertinya Riki sudah tahu kalau Bela bisa saja merahasiakan ini semua karena menganggap lukanya bukanlah masalah besar. Gadis itu pada akhirnya membiarkan keluarganya tahu berkat Riki yang menyuruh.
"Bagus kalau begitu."