"Riki, aku sungguh minta maaf untuk yang tadi."
Riki tidak mempedulikan gadis di depannya. "Minggirlah, aku mau pulang."
"Tapi, Riki—"
Gadis itu langsung diam saat Riki melempar tatapan tajam padanya. Bocah laki-laki itu sudah duduk di atas motornya dan siap untuk melaju meninggalkan parkiran sekolah tersebut. Hanya saja Bela berdiri di hadapannya, membuatnya tidak bisa pulang sekarang juga.
"Aku bilang minggir, Bela," suruh Riki dengan suara penuh penekanan. Sarat akan rasa kesal yang mungkin sudah tidak bisa dia tahan lagi.
Bela pun menyingkir dari hadapan laki-laki tersebut dan memberikan jalan baginya untuk lewat. Padahal dia masih ingin memohon lebih lama lagi supaya bisa dimaafkan.
Riki pun melajukan motornya, meninggalkan Bela yang memandangi punggungnya. Namun beberapa detik, sebuah teriakan membuatnya menghentikan motornya.
"Argggh!!!"
Riki menoleh, dan sesuai tebakannya, suara itu memang milik Bela.
Gadis itu terjatuh setelah seorang siswa mengendarai motornya tanpa hati-hati dan menyerempetnya. Bela pun terjatuh.
Riki meninggalkan motornya dan membelah kerumunan yang mengelilingi gadis itu. "Kau baik-baik saja?"
Bela mendongak. Tidak menyangka Riki akan kembali untuknya.
"Kau baik-baik saja?" Riki mengulang pertanyaannya karena Bela hanya menatapnya saja, tidak memberikan jawaban apa pun.
Bela lalu mengangguk. "Aku baik-baik saja. Hanya tergores sedikit."
Seorang gadis tiba-tiba menghampiri Bela dengan tergesa. Wajahnya panik melihat Bela yang masih bersimpuh di tanah.
"Maafkan aku. Tadi aku kurang berhati-hati mengendarai motor. Kau jadi terkena imbasnya begini," gadis itu mengakui kesalahannya.
Dia menatap Bela dengan takut dan khawatir. Takut jika saja dia akan mendapat masalah fatal setelah kejadian tersebut. Terlebih mereka adalah teman sekelas.
"Aduh, bagaimana ini?" Gadis bernama Dea itu semakin panik melihat banyaknya luka gores di siku dan lutut Bela. "Pasti sakit sekali. Haruskah aku membawa kau ke rumah sakit? Atau kita ke UKS dulu untuk mendapat pertolongan pertama? Bagaimana ini? Kau terluka …."
"Tidak bisakah kau lebih berhati-hati? Kau tidak lihat temanmu sendiri harus terkena hal buruk karenamu, hah?" Riki marah. Dia bisa merasakan emosi menggelegak di balik dadanya.
"Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf. Aku tahu harusnya aku lebih berhati-hati tadi." Dea menggigiti kuku, merasa panik luar biasa dalam keadaan tersebut.
Ada banyak anak yang mengerubunginya karena penasaran apa yang sedang terjadi di sana. Jadi Bela yang tidak ingin memperkeruh suasana. Dia pun berujar, "Tidak usah marah-marah. Aku baik-baik saja."
"Kau terluka, Bela. Apanya yang baik-baik saja?"
"Ini hanya goresan kecil saja." Bela lalu berdiri dengan susah payah. "Lihat, aku bahkan bisa berdiri dan berjalan dengan normal."
"Tapi tetap saja Dea sudah membuatmu—"
Bela tidak membiarkan Riki menyelesaikan kalimatnya. Dia menegur laki-laki itu yang memberikan respon berlebihan terhadap keadaan tersebut. "Jangan berlebihan, Riki. Dea baru belajar mengendarai motor. Wajar kejadian seperti ini terjadi. Kau jangan terlalu menyalahkan Dea, dong."
Riki menyugar rambut frustasi. "Kenapa kau malah membela Dea, sih?"
"Karena Dea tidak sepenuhnya salah."
Riki mengernyit tidak suka. Sudah jelas-jelas Bela terluka akibat ulah teman sekelas mereka itu. Dia yang bukan menjadi korbannya saja merasa marah, kenapa Bela yang ada di posisi itu masih bisa tenang?
"Lalu siapa yang harus disalahkan kalau bukan dia?" tanya Riki dengan sengit.
"Ini namanya kecelakaan. Tidak ada yang salah dan benar di sini. Dea mengendarai motor tanpa hati-hati, dan aku berdiri di tengah parkiran yang seharusnya dipakai untuk lewat motor. Kami sama-sama salah."
"Tapi—"
"Apa lagi, sih? Lagian kau bilang kau akan pulang, kan? Kenapa masih di sini?"
Riki terdiam mendengar itu.
Tadi dia sudah bertingkah dingin pada Bela. Dia juga mengusir gadis itu karena tadi menghalangi jalan untuknya meninggalkan parkiran tersebut.
"Aku mendengarmu jatuh," jawab Riki dengan pelan. Dia melengos karena malu. Tidak berani menatap wajah Bela secara langsung saat ini.
"Terus kenapa kalau aku jatuh? Kau khawatir dengan keadaanku?"
"Aku …." Riki tidak tahu harus menjawab apa.
Mereka sudah tidak berada dalam hubungan seperti sebelumnya, di mana mereka akan saling mengkhawatirkan untuk hal paling sepele sekali pun.
Mereka sudah lama mengakhiri hubungan tersebut dan beralih mnjadi ''dua orang yang kebetulan satu sekolah'' saja. Dia sendiri masih tidak menyangka akan berakhir dalam satu kelas yang sama dengan Bela di tahun pelajaran baru ini.
Lalu kejadian sekarang, dia tidak percaya kalau tubuhnya akan bergerak sangat cepat begitu menyadari Bela terjatuh. Respon tubuhnya jauh lebih cepat dari pada hati dan pikirannya sendiri.
"Dea, aku baik-baik saja. Kau tidak usah khawatir. Sana kau pulang saja," suruh Bela sambil menenangkan Dea yang masih sangat panik.
"Tapi kau terluka …," Dea mencicit. Terlalu takut bersuara keras. Apa lagi ada banyak anak di sana yang mengerubungi. Dia takut dicap sebagai anak yang buruk.
"Aku tidak kenapa-kenapa. Kau pulang saja sana." Bela menatap kerumunan lalu berkata, "Kalian juga pulanglah. Tidak ada lagi yang bisa ditonton di sini."
Anak-anak pun bubar. Mereka semua meninggalkan tempat tersebut.
Dea juga pergi, tapi dalam langkahnya menjauh, dia sesekali melirik Bela. Wajahnya masih diliputi rasa bersalah dan takut. Bela pun melempar senyum padanya supaya dia tidak perlu merasa ragu untuk pergi. Toh, Bela memang merasa baik-baik saja. Hanya tergores tidak akan membuatnya mati.
"Kau masih di sini? Kau tidak mau pulang seperti yang lain?" tanya Bela begitu melihat Riki masih berdiri di hadapannya.
Riki diam saja. Menatapnya dengan tatapan rumit yang sulit diartikan.
Bela teringat dengan hubungan mereka duku. Karena terakhir kali dia melihat tatapan ini adalah saat mereka belum menjadi dua orang canggung begini. Bela masih ingat Riki menatapnya seperti ini saat dulu dia berpura-pura baik-baik saja setelah dibully oleh teman sekolahnya.
"Bagaimana aku bisa pulang saat kau terluka begini?" Riki bertanya retoris. Tatapannya tidak lepas dari gadis di depannya itu.
Bela tersenyum jahil, mencoba bercanda supaya atmosfer tidak terlalu serius. "Ayolah, ini hanya luka kecil. Kau sungguh mengkhawatirkanku sepertinya." Bela terkikik geli.
Riki menghela napas. "Walau pun kecil, itu tetap luka, Bela. Bagaimana aku tidak khawatir?"
Senyum geli Bela luntur perlahan menyadari keseriusan dalam suara Riki. Ada perasaan aneh yang menyelimuti dirinya saat mendengar ucapan Riki itu. Rasanya seperti bertemu dengan Riki di masa lalu.
Namun sedetik kemudian, senyum yang jauh lebih lebar terbit di wajah gadis itu. Seakan-akan dia habis menemukan sebuah hal baru yang menyenangkan.
"Kalau kau memang segitunya khawatir terhadap keadaanku, tolong maafkan aku untuk kejadian yang tadi. Kita berbaikan, lalu mengerjakan tugas kelompok bersama seakan tidak ada yang terjadi. Bagaimana?"