Chereads / Zona Anti Mantan / Chapter 10 - kebohongan pagi

Chapter 10 - kebohongan pagi

Sudah sejak kemarin Riki menjadi semakin dingin terhadap dirinya. Teman sebangkunya itu semakin menjadi-jadi. Dia bahkan tidak menanggapi jika dipanggil.

Bela merasa gondok dengan tingkah bocah lelaki itu. Kalau saja dia tidak merasa bersalah, maka dia pasti akan mengomeli Riki tanpa ampun.

Tapi Bela masih tahu diri, dia sendiri lah yang memulai semua ini. Dia yang lebih dulu memulai membuat kesal Riki. Karena itu dia tidak tahu harus apa sekarang.

"Riki," panggil Bela untuk yang kesekian kalinya hari itu. Seperti sebelum-sebelumnya, dia diabaikan begitu saja.

"Riki."

"Riki."

Bela tidak menyerah begitu saja. Gadis itu terus memanggil teman sebangkunya sekali pun dia tidak mendapatkan respon sama sekali.

Namun perbuatannya itu justru membuat Riki semakin kesal. Dia merasa telinganya seperti akan pecah karena terus-terusan diganggu oleh teman sebangkunya.

"Berhenti memanggilku," Riki memberi peringatan.

Bukannya takut karena sudah membuat Riki marah, Bela malah senang karena akhirnya bisa mendapatkan perhatian dari Riki Yanuar yang sejak tadi mengabaikannya.

"Makanya menyahutlah kalau aku panggil," ujar Bela setengah menyalahkan. Padahal sebenarnya tidak tepat juga untuk menyalahkan bocah laki-laki itu. Sudah jelas-jelas dia sendiri yang memulai.

Riki berdecak lalu melengos. Dia tidak mempedulikan gadis itu lagi. Sudah cukup memberikan peringatan sekali saja. Riki tidak mau melibatkan diri dengan Bela karena masih merasa sangat kesal.

Tetapi Bela tidak akan membiarkan begitu saja. Dia yang tidak begitu pintar butuh Riki untuk membantunya mengerjakan tugas kelompok mereka.

Bukan maksudnya untuk memanfaatkan. Tetapi karena mereka memang sudah disatukan dalam kelompok yang sama, maka akan lebih baik untuk mengerjakan tugas itu bersama juga.

"Aku minta maaf untuk yang waktu itu," Bela mencoba untuk mendapatkan atensi Riki kembali. "Aku tahu aku salah karena tidak mau mengerjakan tugas waktu itu."

Riki memberi lirikan malas. Itu pun hanya sekilas. Tidak ada respon lain yang diterima oleh Bela selain lirikan singkat itu.

Bela menarik napas untuk menahan diri. Mencoba sebisa mungkin untuk tetap sabar karena meminta maaf memang bukan hal yang mudah.

Gadis itu mencoba sekali lagi, "Riki—"

"Bela."

Bela menoleh pada orang yang menyerukan namanya. Itu Andi. Lagi-lagi si anak tetangga itu datang di saat dia sedang bersitegang dengan Riki.

Bela tersenyum. "Oh, hai! Kau baru sampai?"

Andi duduk di tempatnya, melepaskan tas dan merogoh laci meja mengambil beberapa buku dari sana. Lalu meletakkan buku-buku itu di atas meja.

"Iya," dia menjawab, "Tadinya aku berniat mengajakmu berangkat bersama. Tapi kau sepertinya sudah berangkat lebih dulu. Jadi, yah, aku berangkat sendirian."

Andi tadi berniat mampir ke rumah Bela, berhubung rumah mereka hanya terpaut dua rumah lain. Tetapi saat melihat jam, dia sadar kalau Bela pasti sudah berangkat tadi sekali.

Gadis itu pasti sudah sampai di sekolah saat dia baru mengeluarkan motor.

Pada akhirnya dia mengurungkan niat untuk mampir, dan langsung melesat ke sekolah. Lalu benar saja, gadis itu memang sudah ada di kelas saat dia sampai. Lagi-lagi gadis itu sedang bersama Riki tiap kali dia menjumpainya.

"Aku sudah bilang padamu kemarin, kan? Hubungi aku dulu kalau mau memberiku tumpangan. Kalau tidak, aku pasti akan berangkat super pagi bersama ayah," Bela mengingatkan.

Andi meringis. "Aku lupa."

Bela tidak yakin apa mereka pernah menjadi sedekat ini sebelumnya. Dulu, mereka hanya satu sekolah saat SD, dan hanya saat itulah mereka masih sesekali bermain bersama.

Setelah SMP dan seterusnya, mereka tidak pernah bermain bersama. Bahkan nyaris tidak pernah mengobrol berdua. Mereka hanya bertemu saat ada kegiatan sosial di lingkungan tempat tinggal mereka. Itu pun mereka hanya menyapa singkat seperti tetangga pada umumnya.

Sejujurnya dia terkejut dengan Andi yang sok akrab dengannya setelah pindah ke sekolah tersebut. Walau pun dia tidak keberatan dengan sikap sok akrab itu sebenarnya.

Hanya saja, mengingat Andi adalah sosok yang terkenal, dia takut jika akan ada hal buruk yang dipikirkan orang lain mengenai kedekatan mereka.

"Kenapa kau tidak berangkat bersama salah satu followers-mu saja?" Bela melirik beberapa anak yang mengintip Andi lewat jendela. "Mereka pasti senang bisa dibonceng laki-laki sepertimu."

Andi tertawa. "Kau bercanda?"

Bela ikut tertawa meski tidak berpikir ucapannya adalah candaan. Dia hanya berpikir tidak ada salahnya memberi tumpangan pada anak-anak yang mengaku penggemar Andi itu. Anggap saja sebagai fan service.

"Kalau besok bagaimana? Kau mau berangkat sedikit lebih siang denganku?" tanya Andi tiba-tiba.

Bela terdiam.

Dia melirik beberapa anak di kelasnya yang diam-diam mendengarkan percakapan mereka. Bela kemudian melirik Riki yang fokus layar ponselnya yang menampilkan game.

Mendadak gadis itu merasa ragu. "Aku tidak tahu …."

Bayangkan saja jika ada yang melihat Bela dibonceng Andi. Pasti akan ada banyak yang membicarakannya. Setidaknya selama tiga hari pasti dia akan jadi bahan gosip seluruh sekolah.

Awalnya saat Andi membicarakan soal berangkat bersama, Bela hanya berpikir itu sebagai bentuk kebaikan antar teman. Toh, rumah mereka berdekatan.

Namun semakin ke sini dia sadar tidak bisa menyamakan tumpangan yang dia dapat dari Andi dengan tumpangan dari anak lain.

Andi itu ibarat bintang di sekolah ini. Superstar. Semua anak menyukainya. Semua orang berusaha berteman dengannya dan terus mendekati sosok tersebut.

Bela merasa tidak bisa berbuat sembarangan dengan Andi. Dia harus selalu berhati-hati saat berada di sekitarnya.

"Kau tidak mau?" Andi kembali bertanya.

"Bukannya begitu …," Bela berusaha mencari alasan untuk menolak tawaran tersebut. Kemudian dia berujar asal, "Riki bilang akan menjemputku ke sekolah besok. Aku tidak bisa berangkat bersamamu."

"Ah, begitu …." Andi terdengar kecewa. Dia melirik Riki yang menoleh pada Bela. Andi pun mengangguk paham. "Ya sudah kalau begitu."

Bela menghela napas lega setelah berhasil menolak Andi dengan susah payah. Saat dia menoleh ke samping, dia hampir terjengkang karena Riki sedang melotot ke arahnya.

"Apa-apaan, sih?" Bela memukul lengan Riki. Lalu berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Berhati-hati supaya tidak terjengkang lagi.

"Kau bilang apa barusan?" Riki bertanya seperti seorang yang sedang menyelidiki.

Bela balas mendelik. "Aku hanya bilang 'apa-apaan, sih?' saja. Apa kau tidak punya telinga? Kau tidak bisa mendengar, hah?"

Karena sudah dibuat kaget sampai nyaris terjengkang, Bela menjadi sewot pada teman sebangkunya itu. Merasa sangat kesal karena kalau dia betulan jatuh terjengkang pasti akan memalukan.

Masalah sakit masih bisa ditanggung. Toh, jatuh dari kursi tidak akan membunuhnya. Hanya saja jika dia jatuh dan dilihat anak-anak sekelas, dia bisa mati karena rasa malu.

"Bukan itu," Riki mengoreksi, "Kau bilang apa pada Andi barusan?"

"Aku mengatakan banyak hal padanya," Bela berujar semakin sewot.

Namun sedetik kemudian dia ingat hal terakhir apa yang dia katakan pada Andi. Gadis itu mengerjap. Lalu melirik Riki takut-takut.

Riki mendengus. "Sejak kapan aku bilang akan menjemputmu?"