"Sudah kubilang lebih baik untuk mengerjakan tugas yang lain saja, dari pada memaksakan diri mengerjakan tugas kelompok secara individu," Bela secara spontan memarahi Andi.
Laki-laki itu memilih untuk mengerjakan tugas kelompok secara individu, tapi pada akhirnya dia meminta Bela untuk membantunya. Bela menghela napas kesal.
Bukannya dia tidak mau membantu. Dia hanya ingin mengatakan kalau Andi tidak bisa mengerjakan itu, maka dia bisa mengerjakan tugas lain yang ditawarkan oleh sang guru. Itu lebih baik dari pada memaksakan diri.
Andi hanya meringis.
Mereka berdua sedang ada di perpustakaan. Tarisa jam istirahat Andi langsung menarik Bela ke tempat tersebut. Karena dia tahu anak-anak lain tidak akan bisa mengikutinya ke tempat tersebut.
Perpustakaan adalah tempat sakral yang perlu dijaga kesunyiannya. Ratusan anak yang kemarin mendatanginya ke kelas, hari ini mereka tidak bisa apa-apa karena Andi memilih untuk berada di perpustakaan.
"Aku bisa mengerjakannya sendiri sebenarnya, tapi aku takut ada yang salah," alasan Andi.
Padahal dia cukup percaya diri dengan kemampuan akademinya. Entah yang membuatnya beralasan demikian. Bela mengernyit tidak paham. Andi bukan orang yang akan meminta tolong jika menyangkut masalah pelajaran.
"Ya sudah, kau kerjakan sendiri saja. Kalau salah tidak masalah. Toh, ini hanya nilai tugas, bukan nilai ulangan," Bela berujar santai, tidak begitu mengkhawatirkan apa pun karena dia sendiri tidak begitu peduli dengan nilainya saat ini.
Bagi Bela, dia tidak perlu memusingkan diri. Ini baru pekan ke dua sekolahnya di semester tersebut. Jadi dia tidak mau terlalu memikirkan masalah nilai lebih dulu.
"Mana bisa? Nilai tugas kita sekarang, nantinya akan dihitung dengan tugas-tugas berikutnya, kan? Mana bisa aku abaikan begitu saja," jawab Andi seperti tipikal anak yang peduli dengan raport.
Sangat berbanding dengan Bela yang tidak begitu peduli. Asalkan dia bisa mengerjakan ujian kenaikan kelas dengan baik, maka dia sudah bersyukur.
Nilai-nilai tugas tidak pernah dia beri tempat spesial dalam pikirannya untuk dikerjakan sungguh-sungguh.
Tetapi keadaan memaksa dia untuk bersungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas dengan cara menempatkan dirinya di kelompok yang sama dengan Riki.
"Ya sudah sana kerjakan sendiri." Bela membuat gestur mengusir dengan tangannya.
Sejak tadi mereka berbicara dengan bisik-bisik. Untung saja tidak ada yang terganggu dengan kebisingan kecil mereka. Mereka juga sengaja memilih bangku di pojok perpustakaan supaya jauh dari anak-anak lain yang sedang fokus.
Bangku di pojok itu dekat dengan sebuah jendela. Cahaya dari matahari merembes melewati jendela tersebut, jatuh menyinari keduanya.
"Aku mau minta mau ke sini agar kau mau membantuku," ujar Andi.
Bela menggeleng. "Aku tidak mau."
"Kenapa?" Andi bertanya setengah merengek tidak terima. Setahunya, Bela dikenal sebagai anak baik yang suka menolong di lingkungannya.
Mereka sendiri kurang saling mengenal, tapi dia memang beberapa kali melihat Bela membantu orang lain. Dia tidak menyangka gadis itu akan menolak memberi bantuan saat dia meminta.
"Aku pusing, Andi. Melihat soal tugasnya saja aku sudah tidak tahan," Bela jujur dengan apa yang dia rasakan mengenai tugas tersebut.
Meski begitu, jika Riki menyuruhnya untuk mengerjakan maka dia tidak akan memberi penolakan seperti sekarang. Dia akan langsung setuju dan mengikuti bocah laki-laki itu untuk mengerjakannya.
Bela menyesal beberapa waktu lalu dia terlalu menghindari Riki, sampai-sampai membuat laki-laki itu kesal.
"Tugasmu sendiri bagaimana? Apa sudah selesai dikerjakan?" Andi bertanya.
Bela menggeleng sambil menghela napas lelah
Andi meletakkan pulpen dan menatap gadis di sebelahnya itu. "Belum?"
Bela menjawab, "Belum sama sekali."
"Kok bisa? Bukannya tugasnya sudah lama? Dari pekan lalu kalau tidak salah," Andi berujar tidak percaya.
Dia adalah tipikal anak rajin yang akan mengerjakan tugas tepat setelah dia mendapatkannya. Tentu saja dia merasa heran kenapa Bela masih belum mengerjakan tugas tersebut padahal sudah beberapa hari terlewat.
"Aku belum sempat. Kami masih mengatur waktu lebih dulu," Bela beralasan. Padahal kenyataannya dia sendiri yang mengulur-ulur waktu saat Riki sudah begitu bersemangat untuk mengerjakan. Hanya Bela saja yang menghindari teman sebangkunya itu.
Sekarang keadaan sudah berbalik, dan Riki lah yang menghindari gadis itu. Andai saja dia tidak banyak tingkah sejak awal, maka sekarang tugasnya pasti sudah hampir jadi.
"Begitu?" Andi merasa tidak enak, "Maaf aku memintamu membantu padahal kau sendiri belum menyelesaikan tugasmu sendiri."
"Santai saja. Toh, aku sudah menolak membantumu tadi," Bela berkata enteng. Dia tidak merasa terbebani sama sekali.
"Ngomong-ngomong, mau sampai kapan kau di sini?" Bela bertanya karena sadar ada beberapa gadis yang mengintip dari pintu, melongok mencari-cari keberadaan Andi.
Untung saja mereka berada di pojok. Sehingga tidak mudah untuk ditemukan oleh anak-anak lain. Tempat mereka strategis untuk bersembunyi.
"Sampai jam masuk. Kenapa memang?"
"Aku lapar," Bela jujur.
Gadis itu seakan tidak memiliki ruang untuk berbohong saat bersama Andi. Mulutnya dengan mudah mengatakan apa saja yang ada di pikirannya tanpa ragu. Dia bahkan tidak repot mem-filter ucapannya karena berpikir Andi bahan-bahan dan tidak tersinggung.
Dan Andi memang tidak bisa ngomong sama sekali. Begitu tetap santai sekali pun ucapan Bela sesekali kelewat jujur.
"Ah, benar. Kau harusnya ke kantin bukannya malah terjebak di perpustakaan bersama aku," ujar Andi, "Maafkan aku."
"Santai saja," ujar gadis itu. Dia tidak bermaksud untuk menyalahkan Andi. Dia juga sudah terbiasa beberapa kali tidak makan apa pun saat jam istirahat karena terlalu malas berdesakan di kantin.
"Bagaimana denganmu? Apa kau tidak lapar?" Bela bertanya. Mengingat yang melewatkan jam makan siang bukan hanya dirinya tapi juga laki-laki itu.
Andi menjawab, "Aku bisa nanti saja makannya."
Jika bicara masalah nanti, tentu saja mereka akan makan nanti karena sekarang mereka sudah terlanjur berada di perpustakaan. Bela menghela napas mendengar jawaban Andi itu.
"Ya sudah, cepat kerjakan lagi tugasnya," suruh Bela. "Aku akan membantu sebisanya."
Andi tersenyum. "Terimakasih."
Bocah laki-laki itu pun mulai mengerjakan tugasnya dengan begitu teliti. Sangat bersemangat dan bersungguh-sungguh.
Bela yang melihat itu merasa tertampar karena dia tidak pernah begitu menggebu-gebu dalam urusan belajar. Dia biasa-biasa saja dan tidak terlalu terobsesi untuk mendapatkan nilai yang bagus.
Tugas Andi masih belum selesai saat bel masuk berbunyi.
Andi bisa menyelesaikannya nanti di rumah atau besok di perpustakaan lagi. Untuk sekarang, mereka kembali ke kelas lebih dulu.
"Dari mana kau?" Riki bertanya saat Bela baru sampai ke kelas.
Sebelum Bela menjawab, Andi lebih dulu menyerobot, "Perpustakaan. Aku meminta dia membantuku mengerjakan tugas."
Mendadak Riki menjadi dingin sekali. Lebih dingin dari biasanya.
"Ada apa memang?" tanya Bela saat dia baru saja duduk di bangkunya.
Riki berkata sinis, "Kau mengabaikan tugasmu sendiri dan malah membantu tugas anak lain. Luar biasa sekali."