Dua manusia yang selesai dari luar itu terlihat sangat senang. Terutama bagi Kania. Wajah perempuan itu berseri-seri selayaknya gadis yang baru kasmaran. Dan memang, Kania sedang kasmaran dengan Genta.
"Ya udah, kamu masuk ke dalam kamar gih," ujar Genta pada isterinya.
"Ehm," ujar Kania menganggukkan kepalanya namun baru sedetik masuk perempuan itu berbalik lagi ke arah Genta. "Om …"
"Hm?" alis Genta terangkat sebelah menunggu apa yang katakan oleh isterinya.
"Om enggak tidur bareng aku. Maksudnya Mikakan sering rewel bangun malam-malam jadi aku temani Om gantian jaga Mika." Kania sengaja mencari alibi untuk menyelamatkan harga dirinya.
Senyum Genta mengembang mendengar perkataan isterinya itu. "Ehm, kalau enggak perlu bangun jaga Mika enggak apa-apa kok."
"Om jangan bertingkah." Kania mengepalkan tinjunya pada laki-laki yang dipandang sebagai paman dari kecil itu. tapi tidak lagi tatapan risih penuh kebencian pada Genta. Melainkan sebuah delikan menggemaskan dengan semburat merah.
"Aku tidak mengatakan apa-apa yang aneh." Genta membela dirinya yang membuat Kania memutar bola matanya.
"Aku mandi dulu. Om bersihin Mika dulu. Enggak usah dimandiin Om. Dilap aja badannya."
Genta menganggukkan kepalanya. "Iya sayang."
"Ish, jangan genit!" Kania mencubit pinggang suaminya sebelum masuk ke dalam kamar sementara Genta sedang diliputi kebahagiaan. Pria itu penuh dengan debaran lagi melihat kelakuan isterinya yang mulai membalas cintanya kembali sama seperti sebelumnya.
Genta memasuki kamar, melap tubuh Mikaela, mengganti pakaian anaknya itu kemudian meletakkan Mikaela di ranjang khusus untuknya. Selanjutnya, baru Genta yang mempersihkan dirinya. pria itu bersabun dan menggosok gigi berkali-kali. Ia keluar kamar dan Kania belum datang. Sambil menunggu Genta menata bantal guling berkali-kali seperti malam pertama yang mereka lewati di masa lalu. Genta resah dengan perasaan sedikit tidak sabaran.
"Om ngapain?" kening Kania mengkerut melihat kelakuan aneh suaminya yang tersenyum kecil bolak-balik posisi tidur.
"Tidur disini sayang." Genta menepuk-nepuk sisi ranjang dengan bersamangat.
Kania gugup. Wajah perempuan itu memerah. Dia ragu-ragu mengambil posisi di samping Genta. "Jangan aneh-aneh om!" ujar Kania memperingati suaminya tersebut sekali lagi.
"Iya …" ujar laki-laki itu.
Kania memberikan guling sebagai batasan. "Jaga-jaga," ujar perempuan itu. Padahal perempuan itu dan Genta kemarin pernah tanpa sehelai benangpun sebagai penghalang. Mungkin karena Kania masih remaja, wanita itu masih sangat labil.
"Sayang …" Genta memanggil isterinya tersebut membuat Kania yang belum tidur itu berbalik menoleh padanya. "Tapi kamu bahagiakan jalan-jalan dengan saya hari ini?" Genta ingin memastikan.
Kania menganggukkan kepalanya. "Ehm … Aku kan udah lama minta sama papa untuk dibawa ke Aquarium. Tapi sibuk terus. "Om juga sama sibuknya. Bahkan dalam perayaan ulang tahunku saja, om beberapa kali berusaha menjauh untuk mengangkat telepon."
Oh! Itu kenangan Kania yang bagi Genta lima tahun yang lalu. pria itu harus menyelami memori yang cukup lama itu karena bagi Kania itulah dunianya yang dia tahu. Ia tersenyum pada isterinya. "Apa kamu tahu, diulang tahun kamu yang kedua puluh dua kemarin, kita sempat pergi ke tempat yang sama."
Kania menaikkan alisnya. "Oh ya?"
Genta menganggukkan kepalanya. Pria itu duduk sebentar, mengambil ponsel lipatnya yang bisa melebihi telapak tangan itu jika direntakan lantas memperlihatkannya pada Kania. "Ini …" tunjuk laki-laki itu pada potret yang sempat mereka ambil. "Hanya berdua. Kamu bilang kamu ingin mengulang masa pacaran kita sebentar."
"Kita pacaran suka ke Aquarium."
"Aquarium, seaword, pantai, apapun yang kamu senangi tentang air. Saya sudah pernah menawarkan sama kamu untuk membuatkan pribadi. Biar kamu bisa menikmatinya kapanpun kamu mau. Tapi kamunya yang tidak mau. Kamu bilang terlalu berlebihan." Genta menjelaskan.
Kania tersenyum mendengar cerita laki-laki itu. "Memang berlebihan sih, Om!"
Genta berdecak kecil memeluk isterinya tersebut. "Saya suka melakukan apapun untuk kamu, sayang. Bagi saya tidak ada yang berlebihan selama itu membuat kamu bahagia." Membelai lembut isterinya itu agar Kania nyaman.
"Buat saya bahagia sih buat saya bahagia. Tapi enggak pakai elus-elus punggung juga!" ujar Kania.
"Masa meluk kamu aja enggak boleh? Kan saya enggak macam-macam."
"Trus tangan kirinya menyusup kemana itu?" dengus Kania.
Genta cengengesan. "Kok dia bisa reflek gitu sih?"
Kania memutar bola matanya lagi. "Gimana enggak reflek. Kalau otaknya mikirin ke arah sana mulu. Udah ya, Om! Saya mau tidur."
Kania menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. "Selamat malam," balas Genta mencuri satu kecupan.
"Om Genta!!!" erang Kania tertahan. Takut Mikaela terbangun. Tidak lupa langsung melayangkan cubitan pada suaminya itu tanpa pikir panjang. "Enggak bisa dikasih kesempatan aja emang," omel perempuan itu setengah bersungut-sungut.
Genta bukannya merasa bersalah, laki-laki itu malah tertawa, menyingkirkan guling kemudian memeluk isterinya. Kania melemparkan lagi tatapan protesnya tapi Genta menggelengkan kepalanya menolak untuk menjauh dari Kania. "Tidur, sayang. Semakin banyak kamu bereaksi semakin tergoda saya sama kamu."
"Iii …"Kania bergidik ngeri. Buru-buru menarik selimut berusaha memejamkan matanya. Genta juga melakukan hal yang sama. Bersiap untuk lelah juga dengan harinya yang lumayan banyak variasi hari ini. Ada perasaan bahagia dan senang, tapi ia juga sempat pusing dengan urusan kantor. Tentu saja dengan senyum tipis pada bibir laki-laki itu.
***
Pertama kalinya setelah perjalanan waktunya, Kania terlelap disamping Genta. Ia berada dalam dekapan Genta yang membuat tubuhnya terasa sedikit berat. Padahal hanya tangan dan paha pria itu yang melekat di badannya. Kania menyingkirkan tangan laki-laki itu. Mendengus kecil pada Genta yang selalu pandai curi-curi kesempatan. Katanya tidak akan melakukannya, kenyatannya tangan laki-laki itu menjalar kemana-mana.
"Mau kemana, sayang?" tanya Genta dengan sedikit mengerang perih. Mata pria itu belum terbuka sempurna. Mungkin dia mengantuk. Karena pada kenyataannya Genta saja yang menjaga Kania sementara dia tidak bangun sama sekali.
Kania mengikat rambutnya yang tergerai. "Mau bikin sarapan," ujarnya tanpa berbalik menatap Genta.
Pria itu melirik jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh itu. Kantor di mulai jam 9 bukan? "Sebentar lagi saja." Genta berusaha membujuk mengajak isteri yang masih muda itu untuk terlelap lagi.
Kania berdecak. Menolak mentah-mentah. "Udah kesiangan ini, Om. Emang nanti di jalan enggak akan macet apa?"
Genta memberengut sementara Kania sudah berjalan keluar kamar. Ia sudah sampai di dapur, bergabung bersama pipi membuat sarapan. "Rencananya bibi mau buat nasi goreng sama udang tempura saja, non."
Kania menganggukkan kepalanya. Tara yang memesankan menu itu kemarin pada bibi. "Ya udah. Biar aku aja yang lanjutin. Bibi kerjain yang lain aja."
Bibi menatap majikannya itu ragu tapi Kania meyakinkannya. Bukannya bibi tidak percaya Kania tidak bisa masak. Melainkan dia tidak ingin meninggalkan pekerjaannya saat belum selesai. Bagaimanapun, memasak, mencuci, membereskan rumah, sudah menjadi bagian jobdesknya. Setidaknya itu yang Tara perintahkannya padanya.