"Kalau ada apa-apa panggil bibi ya, non!"
Kania menganggukkan kepalanya. "Oke," ujarnya. Setelahnya bibi keluar dari dapur. Kania langsung mengambil pisau, memotong bawang dan beberapa alat lainnya. Bibi sudah menyiapkan bahan-bahannya. Kania tinggal melanjutkannya saja lagi.
"Wanginya membuat saya lapar," ujar Genta dibelakang perempuan itu membuat Kania terkejut. Laki-laki itu dengan seenaknya memeluk Kania dari belakang. Memberikan kecupan singkat pada pundak isterinya itu beberapa kali.
"Wanginya yang mana membuat lapar? Makanannya atau aku?" ujar Kania sambil memutar bola matanya memukul tangan Genta yang melingkari perutnya. Bukan apa-apa, Kania ingin bebas bergerak. Tapi belitan tangan Genta membuat ruangnya terbatas.
"Masih pagi Om!" ujar Kania mengingatkan.
Laki-laki itu masih dengan senyumannya. "Pagi itu bagus tahu. Bisa membantu mood positif seharian." Kania menoleh ke belakangnya sebentar. Menatap Genta dengan memberikan cibiran pada laki-laki itu.
"Aku enggak tergoda lagi ya. Cukup satu kali aja." Kania menegaskan. Kali ini perempuan itu sudah mulai menggoreng.
"memangnya pengalaman yang kemarin seburuk itu?"
Kania terhenti. "Enggak juga. Tapi tidak bisa dikatakan menyenangkan." Kania memerah wajahnya mengingat sesuatu yang besar yang pernah memasukinya. Ia sempat ketakutan pada pertama kali menyaksikannya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya mengenyahkan pikiran itu. Genta sudah mencemari otak polosnya.
Genta yang melihat reaksi itu meledakkan tawannya. "Kamu lucu sekali sayang," ujarnya.
"Om lebih baik mandi gih! Nanti terlambat ke kantor. Lagian juga malu om kalau papa dan bibi lihat," ujar Kania.
"Mereka bahkan pernah melihat hal yang lebih parah dari ini. Kita hanya mengobrol di dapur kok!" Genta mengucapkan semua kata itu dengan ringan tanpa beban apapun sementara Kania melotot. Wajah perempuan itu makin memerah. Dia tidak dapat membayangkan betapa memalukannya momen tersebut.
"Om Genta!" bentak Kania marah.
Genta malah makin meledakkan tawanya. "Baiklah, saya ke kamar sekarang. Mandi dan bersiap hm?" tidak lupa mencubit pipi gembul itu. "Kamu membuat saya takut." Laki-laki itu berjalan menuju tangga dengan gumaman kecilnya. Mungkin baru Kania yang bisa membuat Tara gentar saat perempuan itu marah.
Kania menghembuskan nafasnya. Menghadapi suami super genit yang apa-apa selalu modus itu membuat kesabaran Kania sering menipis. Entah kenapa, dia mudah kesal dengan tabiat Genta di masa depan.
"Berantam lagi?" suara Tara dibelakangnya membuat Kania menoleh pada papanya tersebut. pria itu sedang meracik kopi untuk dirinya sendiri. Namanya juga pria lajang.
"Teman papa tuh, genitnya enggak ketulungan." Bibir Kania maju merengek pada ayahnya. Sementara Tara hanya bisa senyum mesem-mesem.
"Apa papa harus memukulnya?" balas Tara.
Kania berdecak kecil. "Bukan gitu pa, aku hanya tidak habis pikir gimana bisa Om Genta tiba-tiba berubah menjadi kayak gitu. Biasanya sangat sopan."
"Oh ya? Tiba-tiba? Kamu lupa kalian berpacaran berlebihan?"
Kania mengerutkan keningnya. "Om Genta bilang enggak tuh."
Gantian Tara yang mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu bilangnya pakai 'Om Genta bilang'? seolah kamu tidak ada dalam kejadian itu. Kamu benar-benar sudah melupakannya?" Tara menyelidik anaknya. Kali ini pandangan Tara berubah khawatir lagi. Pikirannya sebagai ayah takut anaknya masih terjebak dalam delusi.
Kania menarik nafasnya kemudian menghembuskannya. Tara yang keras kepala tidak percaya padanya bahwa dia sedang menjalani perjalanan waktu. Sebenarnya Gentapun belum seratus persen percaya tapi laki-laki itu tidak membahas lagi seolah Kania sudah tahu semua kejadian yang terjadi. Seolah Kania sudah melewati memori yang sama dengan mereka.
Pria itu mengelus kepala anaknya. "Nak, bagaimanapun kamu isterinya Genta. Jangan biasakan menaikkan nada tinggi untuk suami ya? Papa enggak melarang kamu untuk tidak boleh marah pada Genta. Boleh, tapi tidak harus membentak. Sama halnya kalau kamu menaikkan nada tinggi sama papa. Enggak sopan. Kamu tahu itukan? Enggak baik untuk dicontoh Mikaela."
Kania menggigit bibirnya. "Tapi teman papa bikin kesel."
"Dia enggak usianya aja yang lebih tua dari kamu lho. Tapi dia juga dituakan dalam keluarga kalian. masa sama kepala keluarga seperti itu? Hm?" Tara memberikan wejangan lagi. "Usahakan ya bicara dengan baik-baik."
Kania menghembuskan nafasnya. "Iya deh. Nanti aku ingat-ingat."
Tara tersenyum. Mencubit pipi anaknya tersebut. "Anak kamu, Dit!" decak Tara. Seolah-olah mendiang isterinya itu ada ditengah mereka.
Bibir Kania maju. "Jangan diaduin ke mama kayak gitu dong, Pa!"
"Gimana jalan-jalannya kemarin? Suara kamu ditelepon senang banget."
Kania menganggukkan kepalanya. "Senang," ujar Kania melanjutkan masakannya. "Om Genta bawa aku ke Aquarium. Papa tahukan aku suka banget ke Aquarium."
Tara mendengar celotehan anaknya itu sambil membantu Kania. Dia dapat melihat hubungan dua orang yang mulai membaik itu. Pada akhirnya Kania selesai dengan masakannya. Nasi goreng sesuai dengan pesanan Tara. Mereka ayah dan anak yang cukup kompak memang. Mungkin karena dari dulu hidup berdua.
"Pa, mama kalau marah sama papa gimana memangnya dulu?" tanya Kania teringat.
"Mama kamu mana pernah marah sama papa. Diakan cinta mati."
Bersamaan dengan ucapan Tara tersebut terdengar suara dengusan. Tidak lupa suara tarikan kursi. Genta yang juga sudah rapi duduk mengambil tempat untuk sarapan. "Mika masih tidur, Om?" tanya Kania.
"Setelah mengoceh dari tengah malam sampai setengah lima, dia masih pulas sekarang."
Kania menganggukkan kepalanya. "Ya udah, setelah ini aku bangunin."
Perempuan itu juga mengambil tempat untuk duduk. Disebelah Genta suaminya. "Jadi mama kalau marah sama papa gimana, Om?" tanya Kania.
"Kamu kok enggak percaya sama papa?"
"Bukannya enggak percaya pa. tapi ekspresi mencibir Om Genta tadi seolah tahu sesuatu." Kania berkata dengan wajah penasarannya.
Genta melirik sebentar pada kawannya. Senyum penuh makna terbit di bibir laki-laki itu. "Mama kamu memang enggak pernah marah. paling-paling dia melayangkan bogeman mentahnya." Kania melotot. Genta tertawa kemudian. "Bercanda sayang. Dita kalau marah kayak kamu. apa bedanya. Tapi enggak nyeremin."
"Karena lo enggak pernah lihat kemarahan Dita yang asli gimana, Ta." Tara membantah.
"Emangnya gue selama ini kemana sampai enggak tahu marah Dita gimana? Dia memang enggak nyeremin kok kalau marah. dia lebih nyeremin kalau diam."
Alis Kania tertarik. "Diam?"
"Itu tandanya mama tidak baik-baik saja. Kadang-kadang dia merencanakan sesuatu kemudian melakukan tindakan yang tidak terkendali." Tara berkata sendu dengan tatapan yang sempat redup.
"Contohnya Pa?" tanya Kania makin penasaran.
"Banyaklah pokoknya." Tara menjawab dengan mode cerianya lagi tapi Kania masih tidak puas. "Besok papa ada perjalanan bisnis." Tara mengalihkan topik. Kania berdecak. Tara seringkali memutuskan topik tentang mama Kania itu secara tiba-tiba. Padahal dia ingin tahu juga banyak hal tentang wanita yang melahirkannya itu.
"Ya udah, nanti Kania bilang sama bibi untuk beresin pakaian papa. Buat berapa hari?" tanya perempuan itu setelah menghembuskan nafasnya sebagai bentuk protes atas sikap papanya tersebut.
"Tiga hari," jawab Tara.
Kania menganggukkan kepalanya. Dia sudah terbiasa ditinggalkan Tara keluar kota untuk urusan pekerjaan. Sekarang yang menjadi sedikit masalah, dia ditinggalkan berdua bersama dengan Genta. Adakah Kania akan nyaman?
***