Chereads / Menikah dengan Om Genit di Masa Depan / Chapter 21 - Genta dan Mantannya

Chapter 21 - Genta dan Mantannya

"Kamu bisa kembali duluan!" ujar Genta dingin pada sekretarisnya.

Mumpung mereka sedang melintasi toko perhiasan. Genta ingin membelikan satu untuk isteri tercintanya, Kania. Genta dan sekretarisnya baru saja melakukan rapat di luar kantor bersama investor. Budak cinta satu itu pasti sering mengingat isterinya apapun kegiatannya. Dia benar-benar ingin memanjakan Kania yang membuat pasangannya merasa seperti ratu.

"Baik. Pak!" ujar perempuan itu meskipun raut ketidakrelaan terlihat jelas dalam wajah Tiara. Tapi Tiara tidak punya kuasa untuk membantah Genta atau perempuan benar-benar akan kehilangan pekerjaannya yang sudah cukup menjanjikan itu. Tiara pergi dari sana. sementara Genta langsung memasuki toko itu tanpa banyak pertimbangan.

"Sesuatu yang disukai oleh anak usia 17 tahun." Genta berkata pada pegawai tersebut. takut nanti selera Genta salah hingga Kania tidak akan sebahagia itu mendapatkan hadiah darinya. Ia sengaja menggunakan usia sesuai standar mental Kania.

Tidak butuh beberapa waktu lama bagi para pegawai itu untuk membawakan ke hadapan Genta berbagai macam model perhiasan. Genta akui semuanya menarik. Semuanya pasti Kania suka. Mengingat selama ini Kania selalu suka dengan hadiah yang Genta berikan. Ia hanya sedikit meragu karena kondisi sekarang sedikit berbeda. Kania masih berada diambang batas kecanggungan. Perempuan itu masih sering plin-plan, memperlakukan Kania sebagai pamannya atau sebagai pasangannya.

"Genta?" Suara pada sebelahnya membuat pria empat puluh tujuh tahunan tersebut menoleh. "Benaran Genta?"

Genta mengerutkan keningnya. Mencoba mengingat wanita dihadapannya. Memanggil kembali memori lamanya pada wajah yang terlihat tidak asing tapi dia melupakannya di mana mereka pernah bertemu. Wanita itu berdecak. "Aku Mila."

"Mila?" Genta mengulang mengerutkan keningnya.

Mila memasang wajah kecewa. "Kamu memang tidak pernah memiliki ketertarikan apapun sama aku ya. Setelah kamu menolak perjodohan yang pernah orang tua kita buat, kamu bahkan benar-benar menghapus semua ingatan denganku."

Mila, Genta ingat sekarang perempuan itu ketika ia menyebutkan kata perjodohan. Mamanya pernah berusaha menjodohkannya dengan Mila saat Genta berusia 32 tahun. Itu sekitar belasan sampai tujuh tahun yang lalu. beberapa tahun sebelum dia resmi berpacaran dengan Kania. Perempuan yang terpaut usia tujuh tahun dengannya tersebut sering kali diajak mama Genta dalam berbagai macam kegiatan. Mila juga pernah ikut dalam acara liburan keluarga Genta. Tentu saja semua usaha itu untuk mendekatkan Genta.

Tapi seperti biasa, siapapun gadis yang berusaha dekat dengannya, Genta selalu dingin. Dia selalu memberi tembok yang jelas. Genta mendengar Mila sudah menikah. Tepat tiga tahun setelah segala usaha keluarga Mila dan Genta yang berakhir sia-sia. Namun, tiga tahun tetap saja bukan waktu yang singkat. Mila banyak meninggalkan kenangan di keluarga Genta. Seharusnya, Genta menyisakan satu memori tentang Mila.

Genta berdehem. "Maaf," ujar pria itu pendek seperti biasanya dengan wajah datar.

Mila tersenyum. "Setidaknya lebih baik setelah permintaan maaf tersebut."

Genta hanya menganggukkan kepalanya. "Sedang berbelanja untuk tante atau isteri kamu? siapa namanya … Kania, ya?"

Yah, tentu saja Mila juga tahu Kania. Tidak mungkin tiga tahun lalu lalang dalam kehidupan Genta dia akan melewatkan hal itu. Satu-satunya perempuan yang membuat Genta bisa sedikit lebih ramah pada keluarganya. Dulu Mila tidak menganggap sama sekali puteri tunggal Tara itu sebagai ancaman. Bahkan dia juga sempat menyukai Kania dan kepribadiannya. Hey, siapa yang menduga Kania yang masih sangat kecil dan lucu saat itu akan merebut segala perhatian Genta di masa depan?

Namun suatu hari Mila menyadari perasaan Genta itu ketika dia secara tidak sengaja melihat potret Kania dalam kamar Genta. Seseorang seperti Genta yang tidak memajang apapun, namun ada bingkai kecil gambar Kania disana, membuat Mila bisa menyimpulkan semuanya. Bisa membaca mata Genta yang berbicara berbeda untuk Kania. Kejadian itu yang membuat Mila semakin yakin dirinya yang saat itu sudah resmi menjadi isteri seseorang.

"Itu konyol. Maksudku dia masih lima belas tahun," ujar Mila saat itu tidak percaya. Yeah, setelah mengetahuinya Mila benar-benar menuntut penjelasan saat itu. dia tidak ingin ada penasaran yang membuat ada sedikit perasaan tentang dirinya dan Genta. Dia benar-benar ingin kejelasan sebelum Mila menutup lembaran bukunya. Mila semakin percaya dengan dugaannya ketika Genta tidak menampik apapun. "Genta, dia masih di bawah umur."

"Aku tidak memacarinya sekarang." Genta membalas dengan ekspresi datar yang laki-laki itu lakukan saat itu.

"Tapi kamu berniat kan memacarinya?"

Genta diam tidak berkutik apapun. Tapi bagi Mila itu sudah menjadi jawaban. Mila saat itu menjilati bibirnya. "Bagaimana dia memandang kamu? Apa dia akan menerima kamu sebagai prianya? Dia pasti akan ketakutan dan mengganggap kamu gila."

Genta memandang pada luar jendela. Pria itu menarik nafasnya. "Aku tidak peduli. Entah dia akan menganggapku gila atau tidak. Entah aku akan memilikinya atau tidak. Aku hanya mencintainya. Itu saja. selebihnya urusan takdir." Itu kalimat terpanjang yang pernah Genta ucapkan padanya, sekaligus kalimat tersakit.

Saat itulah Mila tahu peluangnya benar-benar tidak ada untuk Genta. Menyadari betapa besar dan tulus perasaan Genta terhadap wanita yang sekarang menjadi isterinya tersebut. Melihat Genta menikah dengan Kania pada akhirnya, sepertinya perasaan itu tidak pernah berubah.

Mila tersenyum mengingat semua itu. "Kamu bisa juga menjadi pria romantis." Mila menggelengkan kepalanya. "Tidak, kamu memang pria yang romantis untuknya." Ingat Genta banyak memberikan perhatian kecil untuk wanita itu.

Genta balas tersenyum. "Saat kita dijodohkan aku belum mencintai Kania. Perasaanku baru berubah ketika kamu menuntut penjelasan saati itu." Tipis sekali senyum laki-laki itu hingga nyaris tidak terlihat. Tapi setidaknya lebih baik dari pada wajah minim tanpa ekspresi.

"Kamu tidak ada niatan ngajak aku ke nongkrong dulu bareng sebentar?" ajak Mila.

Genta mengerutkan keningnya. "ehm, aku …"

"Ayolah genta! Kita sudah lama tidak bertemu. Masa sih enggak obrolan basa-basi apapun?" pinta Mila yang tidak ingin mendapat penolakan dari Genta. Maka begitu selesai di toko perhiasan itu mereka mampir dulu untuk minum di sebuah café. Sekedar berbincang-bincang sebagai kawan lama karena mereka sudah lama tidak bertemu. Percuma Genta sudah menolak, karena Mila akan terus memaksanya.

"Jadi bagaimana kabar isteri kamu?" tanya Mila. Sedari tadi hanya dia yang bertanya. Sementara Genta? Apa yang bisa diharapkan dari pria dingin itu.

"Baik," jawab Genta tipis.

Mila memutar bola matanya. "Seriously? Kamu enggak punya jawaban yang lebih panjang gitu?"

Genta mengusap rambutnya. Tidak ada yang laki-laki itu ucapkan membuat Mila menghembuskan nafas pasrah. Mila menghembuskan nafasnya. "Lupakan, aku mau memberikan ini jika kamu berniat datang."

Sebuah undangan untuk menghadiri acara pameran. Mila memang seorang kurator sekaligus isteri dari pemilik galeri seni ternama. Genta menganggukkan kepalanya sambil menerimanya. "Kalau Kania dan Mikaela bisa," ujar pria itu datar.