Chereads / He's My Love Hero / Chapter 9 - Pertandingan Basket

Chapter 9 - Pertandingan Basket

Di tempat pertandingan, Meysa benar datang, bersama dengan Bima juga.

"Lan, lihat gue bawa siapa!" teriak Edo.

Cowok itu menoleh, melukis senyum sinis. Semangatnya membara, tekad dalam hati ingin dia buktikan, di depan Meysa. Aslan tampak mempesona, jeritan cewek-cewek yang datang memberinya semangat mulai bergemuruh.

"Norak banget sih, mereka semua," cetus Meysa.

"Biasalah, Aslan 'kan punya banyak penggemar," sahut Tama.

"Dihh!"

Skor yang mereka dapat, berhasil menyalip sekolah lawan di detik-detik terakhir, dan akhirnya tim Aslan yang menang. Meldy dan kedua temannya berlari memasuki lapangan hendak memeluk Aslan, tapi dihadangi oleh teman-teman geng cowok.

Mereka mengangkat tubuh Aslan, menjujungnya sebagai bentuk kebanggaan.

"Ini baru ketua tim kita," ujar guru olahraga.

"Makasih Pak, semua ini juga berkat bimbingan dari Bapak," jawabnya.

"Kamu memang hebat Aslan, saya tunggu di mobil kita bawa pulang piala kejuaraan."

Saat semua orang berbondong-bondong keluar dari tempat itu, Meysa mendekat, hanya untuk mengucapkan selamat, setelah itu dia akan pergi.

"Mey, gue tunggu di luar aja ya," pamit Bima.

"Thanks, Bim."

Aslan sama sekali tak melihat ke arahnya dan bahkan lebih fokus mengikat tali sepatunya yang lepas.

"Congrats buat Lo," ucapnya mengulurkan tangan.

Tapi tak mendapat respon apapun, membuat Meysa kembali menariknya.

"Lo masih marah? Gak apa kalau gitu, gue pamit."

"Tunggu." Tangannya ditahan oleh cowok itu.

"Makasih, udah mau datang meski gue yakin Lo dipaksa sama anak-anak," ucapnya.

Meysa tak bisa menolak, karena semua itu benar.

"Gue juga mau minta maaf, buat masalah tadi ...."

"Gak perlu, setidaknya gue udah tahu. Gue gak marah sama Lo." Cowok itu hendak pergi, setelah menepuk pundak Meysa.

Sebatang coklat dia sodorkan, untuk Aslan.

"Terima." Lantas malah dia yang terlebih dulu pergi.

Aslan tersipu, memasukkan itu ke dalam sakunya. Melompat dan berlari keluar menyusul yang lain.

"Traktiran nih," ujar Tama menyambut kedatangannya.

"Pastinya."

"Eh, tunggu deh, kalau dilihat dari mukanya yang berseri-seri kayaknya bukan cuma karena menang pertandingan ini," sahut Edo mulai menggoda.

"Jelas, ayang datang!" sahutan itu membuat semua tertawa.

"Diem gak! Batalin nih, makannya," ancam Aslan.

"Husst!! Udah Lan, ayo gas!"

Di perjalanan, itu Meysa tampak melamun, membuat Bima khawatir.

"Aslan ngapain Lo?"

"Gak, cuma bicara biasa," jawabnya cuek.

"Mau makan dulu?"

"Gak usah. Langsung pulang aja, kita harus siapkan acara Keysa, sebelum dia balik," tolaknya.

Bibirnya memang mengatakan itu, tadi suara perutnya berkata lain, yang membawa Bima mampir ke sebuah restoran di dekat sana.

"Gue bilang gak mau, Bim!"

"Udah nurut aja."

Tak lama mereka memesan makanan, Aslan dan beberapa gengnya datang, tapi cowok itu tidak melihat keberadaan Meysa karena letak tempat duduknya bersingkuran. Bima pun diam, karena dia yakin Meysa juga sudah tahu.

"Nanti malam kita jadi 'kan datang ke tantangan si Remon?"

"Harus jadi, gue mau bikin dia gak bisa jalan. Hitung-hitung buat balas dendam," jawab Tama.

"Gimana Lan, jadi?"

"Gue cuma gak mau, dianggap remeh. Kita tetap berangkat," jawabnya.

Meysa khawatir mendengarnya.

"Jadi, mereka mau berkelahi," gumamnya dalam hati.

"Gue harus ikuti mereka nanti malam."

Sampai di rumah, kepala Meysa rasanya pusing mendengar keluh kesah Bima, yang tiada habisnya sejak mereka sampai.

"Tapi, kayaknya gak bakalan selesai kalau cuma kita berdua yang siapin," sahut Bima.

Meysa tampak berpikir, dia mempunyai sebuah ide cemerlang.

"Gimana kalau kita bolos aja besok?"

Ajakan yang sesat, tapi boleh juga. Dengan senang hati Bima menyetujuinya. Malam ini, mereka lembur, bahkan Meysa tak sempat memegang ponselnya yang kembali mendapat pesan dari Aslan, dengan nomor yang berbeda. Cowok itu mengganti nomornya demi menghubungi Meysa, karena nomor lama sudah kena blokir.

Cewek itu menunggu kesempatan, saat Bima tertidur. Berkali-kali dia sudah menguap, tentu sebentar lagi akan ada kesempatan untuknya pergi diam-diam.

"Bagus, dia udah tidur. Maaf ya, Bim, gue pinjam motornya sebentar," bisiknya keluar rumah dengan langkah pelan.

Untung saja, dia tahu tempatnya, saat mendengar pembicaraan tadi. Meysa langsung bergegas menuju ke sana, dengan jaket hitam, celana jeans, dan rambut pirangnya yang terurai bebas.

Sampai di tempat yang dijanjikan, Meysa turun, langsung ikut membantu geng Aslan. Beberapa anak buah cowok itu, sempat tercengang melihat kehebatannya dalam berkelahi.

"Cewek ini lagi serang!!"

"Stop! Gue gak akan biarin kalian nyakitin cewek," cegah Aslan.

"Halah banyak omong kalian semua." Meysa tak sabaran dan langsung menyerang. Aslan sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuannya.

Geng Aslan berhasil menang.

"Lo ngapain, Meysa! Jam berapa ini, masih kelayapan!" omel Aslan.

"Gue bantuin Lo, payah!"

"Apa Lo bilang? Udah, lebih baik gue antar Lo pulang sekarang, dan gue mau ini yang terakhir, gak ada lagi kayak gini," kesalnya.

"Kalau Lo berhenti, gue bakalan berhenti."

Hening, semua terdiam, teman-temannya terlihat baper dengan ucapan Meysa barusan. Aslan memilih untuk mengalihkan perhatian mereka, menarik tangan Meysa mengantarnya pulang secara paksa. Motornya mengikuti dari belakang.

"Sekarang Lo, istirahat," suruhnya begitu sampai.

"Iya, hati-hati pulangnya."

"Beres."

Meysa lihat, Bima tak bangun juga. Dia biarkan lelaki itu tenang, menikmati mimpi indahnya. Sampai pagi, cahaya masuk lewat sela-sela jendela, rumah Meysa. Tanpa sadar keduanya ketiduran di ruang tamu, pintunya pun lupa dikunci semalaman. Hanya ditutup biasa.

Begitu melihat ke arah jam dinding, pukul tujuh. Pergi ke sekolah pun sudah telat yang ada hanya hukuman didapat nanti.

"Bim, bangun!! Udah pagi!!"

"Pagi apaan sih, Mey, ini masih malam udah tidur lagi aja ngantuk banget," kesalnya.

"Beneran, buka mata Lo, deh!"

"Wah, iya! Udah terlanjur juga," sahut Bima setelah bangun.

"Bukan itu masalahnya, kita belum selesaikan persiapannya, sebentar lagi pasti Keysa pulang."

"Cepat kerjakan, aku bantu tinggal pasang itu, 'kan?"

"Iya, ayo!"

Di dalam kelas.

Aslan masih bersandar di samping pintu. Sekali-kali dia melirik keluar, terlihat menunggu seseorang. Kekhawatirannya dengan kondisi Amira, karena kejadian semalam.

"Lan, ngapain Lo di sana?" tanya Tama penasaran.

"Cari angin."

"Pasti nungguin si, itu," sindir Edo.

"Apa, sih!"

Terasa jeweran di telinganya, saat menoleh guru matematika sudah ada di belakang Aslan.

"Ngapain kamu di sini, Aslan? Baru juga saya puji kemaren sudah kayak gini lagi. Tugas dari saya sudah kamu kerjakan?"

"Belum, Bu, hehe ...."

"Pinter banget, sana berdiri di depan!"

Sial sekali nasibnya hari ini, cowok itu dilanda rasa rindu yang mendalam kelihatannya. Bahkan dia bela-belain, datang ke kelas Bima, untuk menanyakan keberadaan Meysa saat ini.

"Orang kalau udah bucin, memang seperti itu, biarin aja," cetus Edo meninggalkan bosnya sendiri.

"Eh, tunggu bentar, Bima masuk gak hari ini?" tanyanya kepada anak sekelas cowok itu.

"Gak, bolos kayaknya, gue duluan."

"Jangan-jangan mereka janjian, pulang sekolah nanti, gue harus ke rumah Meysa," gumamnya.

Seharian tanpa Meysa, rasanya begitu menyiksa bagi Aslan. Padahal belum ada seminggu dia mengenalnya.

Bersambung ....