Chereads / He's My Love Hero / Chapter 10 - Jauhi Anak Saya!

Chapter 10 - Jauhi Anak Saya!

Aslan sudah berada di depan rumah Meysa. Dilihat dua orang tengah menghias rumah dari luar seperti akan diadakan acara. Aslan berjalan memasuki halaman rumah itu.

"Kalian sengaja bolos?"

"Aslan!" Keduanya terkejut.

"Gue ...."

Sebuah mobil datang, menghentikan ucapannya.

"Bim, cepetan masuk!!"

Tangan Aslan ditarik bersama mereka, pintu pun dikunci rapat-rapat dari dalam.

"Kalian kenapa, sih?"

Husstt!!

Aslan lihat balon-balon terpasang rapi dan banyak tergeletak di lantai. Serta kue ulang tahun di tengah meja, membuat Aslan paham apa yang terjadi sebenarnya. Cowok itu bersandar di dinding, dengan wajah malas menyaksikan semua ini.

"Ma, kenapa pintunya dikunci? Kak Meysa mana?"

"Jangan-jangan kakak kamu ada di dalam, ayo kita dobrak!"

Brakk!!

"Kejutan!! Selamat ulang tahun, adekku sayang," ucap Meysa dengan lilin yang tertancap di atas kue dengan sempurna.

"Happy birthday Keysa, ini buat kamu." Bima memberikan kado untuknya.

Pandangan papanya sampai ke arah seorang cowok yang turut hadir dalam acara itu.

"Meysa, dia siapa?"

Cewek itu baru sadar.

"Oh, dia Aslan, teman sekelas Meysa," jawabnya mengenalkan.

"Aslan, Om ...."

Papa Meysa memperhatikannya dari atas sampai bawah, seperti ada kejanggalan pada diri Aslan.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

DEG!!

Meysa takut jika papanya ingat, Aslan adalah ketua dari geng yang pernah menyerang mereka minggu lalu.

"Pa, mungkin mirip saja. Kita makan kue sama-sama yuk," ajaknya mengalihkan pembicaraan.

Cowok itu kembali diajak keluar, untuk bicara empat mata.

"Kenapa Lo tadi bohong?"

"Karena gue udah anggap Lo sebagai teman, kalau papa tahu yang ada kita gak boleh temenan," jawabnya.

"Lagian bukan gue yang dorong papa kamu," sahut Aslan.

"Tapi mereka anak buah Lo, jangan lupa!" Meysa mulai tak terima.

"Terus sekarang mau gimana? Mending jujur aja sekalian minta maaf." Aslan memilih jalan damai.

"Udah gak usah ribet, lagian gak tiap hari juga Lo ketemu sama papa gue. Lo ngapain sih, datang ke sini?"

"Gue itu khawatir, sama keadaan Lo semalam, gegera ikutan lawan geng Remon," jawab Aslan.

Tanpa sengaja didengar oleh papa Meysa yang muncul dari balik pintu tiba-tiba.

"Geng motor?"

"Eh, Pa, bukan itu geng ...."

"Jangan banyak alasan. Papa sudah ingat, cowok ini yang kemaren gabung sama geng gak punya sopan santun itu. Pergi!"

"Om, saya bisa jelaskan semua ini hanya salah paham ...."

"Pergi!!"

Dadanya terasa sesak, hampir saja papa Meysa pingsan.

"Lo pergi aja deh!" Meysa membopong papanya masuk ke dalam untuk istirahat.

"Loh, Papa kenapa?" Mereka yang tengah makan kue bersama langsung berkumpul.

"Papa gak mau kamu dekat-dekat sama cowok yang tadi. Dia itu bukan cowok baik!"

"Pa, jangan pikirin itu dulu, penting Papa sehat," jawabnya.

"Gak! Pokoknya Papa bakalan suruh orang buat awasi kamu. Bima, kamu Om beri kepercayaan buat awasi Meysa, kalau dia dekat-dekat dengan cowok tadi langsung lapor. Biar Om pindah sekolah lagi," tegas papanya.

"Pa, Meysa bukan anak kecil!"

Meysa berlari keluar, mengambil jaketnya.

"Meysa mau ke mana kamu! Lihat anak kamu sudah termakan ucapan cowok gak bener itu!! Aduh!" Dadanya semakin sakit.

"Bima, cepat kejar Meysa, Tante takut terjadi sesuatu sama dia," suruhnya.

"Siap, Tan!"

Meysa menangis, saat menaiki motor. Berkendara tanpa kendali, entah mengapa hatinya terasa sakit, saat sang papa melarangnya bermain dengan Aslan.

"Mey! Bahaya! Cepetan berhenti," teriak Bima tak diabaikan olehnya.

"Dengerin gue, kalau Lo sakit hati gak gini caranya. Nyawa Lo cuma satu!"

"Gue juga gak bilang nyawa gue lebih dari satu," jawabnya masih tersedu-sedu.

Meysa justru semakin mempercepat motornya. Tanpa sengaja dilihat oleh Aslan, cowok itu sedang nongkrong sepulang dari rumah Meysa. Bergegas dia ikut mengejar, menyalip motor Bima melaju lebih cepat.

"Itu 'kan Aslan, semoga dia bisa kejar Meysa," gumamnya.

Di dekat taman, motornya berhasil menghadang cewek itu.

"Lo ngapain lagi, sih?"

"Gila Lo! Gak sayang sama nyawa?"

"Baru datang main marah-marah gak jelas, Lo gak waras?" tanya Meysa berbalik.

"Astaga, harus sabar ngadepin orang kayak Lo. Lagian ngapain pakai acara ngebut kayak tadi?"

"Gue marahan sama papa," jawabnya.

"Kayak anak kecil banget, masih karena gue?"

"Iyalah, harusnya Lo itu seneng udah gue bela," cetus Meysa.

"Papa gak ngebolehin gue buat deket-deket sama Lo lagi, bahkan ketemu ngobrol biasa kayak gini aja gak boleh," sambungnya.

"Bukannya Lo seneng, selama ini kayaknya Lo risih sama gue?" Aslan mulai memancing.

Meysa terdiam, menatapnya, bingung harus mengatakan apa. Bahkan dirinya sendiri saja, tak tahu apa yang diinginkan oleh hatinya.

"Gue gak tahu."

"Aneh, jangan bilang Lo udah mulai nyaman sama gue?"

"Pede banget jadi orang!"

Bima baru saja sampai.

"Lo gak kenapa-kenapa Mey?"

"Ini lagi satu, pasti mama 'kan yang suruh buat kejar gue?"

"Ayo pulang!"

"Gue gak mau, Bima! Gue mau ke rumah nenek aja, males banget pulang," cetusnya.

"Terus sekolah Lo, gimana? Udahlah Mey, jangan kayak gitu papa kamu pengen yang terbaik buat anaknya, jangan melawan," tutur Bima terdengar begitu dewasa.

"Kali ini gue setuju sama Bima, Lo pulang aja. Masalah larangan itu, bisalah nanti kita pikirkan lagi," sahut Aslan.

"Kalian ngeselin tahu, gak!"

Malam harinya.

Cewek itu tetap tak mau keluar kamar, kado ulang tahun untuk sang adik, sudah dia siapkan, dan belum sempat dia berikan karena kejadian tadi. Meysa mengurung diri, tak mau makan. Hal ini membuat mamanya khawatir, tapi keputusan papanya tak bisa diganggu gugat. Mamanya berharap, Meysa bisa mengerti keadaan.

"Papa kenapa gak kerja aja sih, yang jauh sana. Setiap kali gue punya temen anak geng motor, selalu saja diikut campuri," kesalnya.

Cewek itu mengambil sebuah foto yang ada di bawah bantalnya. Setiap kali memandangi itu, dia menangis. Dera, salah satu temannya yang meninggal, saat mereka dikeroyok anak geng motor. Kala itu, Meysa belum bisa berkelahi, sehingga dia tidak bisa membantunya. Mungkin karena hal itu, papanya melarangnya.

"Tapi 'kan bukan Aslan yang bunuh Dera, dan gue tahu gak semua anak geng motor itu jahat. Ada pasti yang baik," ujarnya berbicara sendiri.

Mamanya membawa satu sepiring bubur, dan minuman untuknya.

Tok, tok, tok!!

"Sayang, ini Mama, buka pintunya," pintanya.

Cewek itu berjalan turun dari ranjang.

"Ini makan malam buat kamu, Mama paham yang kamu rasakan. Sabar ya, sayang," ucapnya setengah memeluk putrinya.

"Cuma Mama yang bisa ngertiin Meysa, meski kadang galak."

"Jangan mulai deh, cepetan makan," sahutnya.

"Baru juga dibilang baik."

"Semua orang di rumah ini, sama aja!"

Meysa tak menyentuh sedikit pun makanan itu, dan malah membuka cemilan simpanannya di dalam almari.

Bersambung ....