Aila tersenyum tipis. "Hehe, wajahnya kelihatan gimana tadi?"
Ryan melengos. Dia merasa bahwa akhir-akhir ini temannya memang agak gila. Bukan hanya melarikan diri setelah Ayka pergi, dia bahkan sering kali menjawab ucapan orang tuanya.
Meskipun pada akhirnya ini percuma saja. Setelah ini Aila hanya akan mendapatkan hukuman, lagi dan lagi. Andai saja Ryan bisa sedikit lebih dewasa, dia mungkin akan mengumpulkan banyak uang dan membawa gadisnya ke tempat yang lebih jauh lagi.
"Ayka nggak akan diam saja, Ai. Bukankah lebih baik kita lekas pergi? Takutnya nanti kamu—"
"Aku mau pergi, dulu kamu bilang nggak masalah buatku pergi kemanapun itu, Ryan. Hey, tumben banget sih kamu takut," balas Aila.
Bukan, Ryan bukan takut bahwa dirinya aka dimarahi setelah ini. Untuknya yang memiliki orang tua pengertian, mendapatkan nilai buruk pun tak masalah.
Kedua orang tua Ryan selalu saja menegaskan padanya bahwa tidak perlu mendapatkan nilai baik. Selama dia sudah mau berusaha maka itu sudah lebih dari cukup, hanya saja Ryan sendiri pun memiliki kecerdasan yang diwariskan sang ayah hingga segalanya menjadi lebih mudah.
Untuk saat ini, Ryan hanya ingin membawa Aila pulang. Mereka baru akan naik kelas 12, setidaknya butuh 10 bulan lagi untuknya bisa membawa gadis ini pergi.
"Ai, ayo pulang," ajak Ryan lagi.
"Dan mendapatkan sebuah tamparan? Jambakan atau ... pukulan?"
Meskipun senyuman yang Aila berikan begitu manis sampai membuat Ryan terpana, dia sadar betul bahwa hal itu tak lebih dari bentuk pembatasan. Ya, batas antara dirinya dan Aila memang terkadang dibentuk oleh Ryan sendiri.
Namun, dia lebih banyak tak menyadarinya. Terkadang Ryan sendiri tanpa sadar justru mendorong Aila ke jurang yang paling dalam, begitu dalamnya sampai ... gadis itu tak kuat bangun.
"Aku nyerah, untuk malam ini mungkin semestinya memang kita menginap dan tidur berdua?" Ryan menggoda, biasanya Aila akan menanggapinya dengan serius lantas buru-buru pulang.
Sayangnya kali ini gadis itu justru menantang. "Kalau aku hamil dan nggak sekolah. Bisa nggak sih sekolah kesenian menerimaku setelah memiliki anak?"
Lekas Ryan mendorong wajah Aila yang terus mencoba untuk maju. "Jangan macam-macam, Ai. Hentikan pemikiran konyol itu, okey? Aku yang salah, mulai sekarang bakalan lebih hati-hati karena otakmu ini horor banget mikirnya."
Aila tampak tertawa cekikikan. "Aku nggak akan seburuk itu, Ryan. Lagian bukannya nggak mau pulang, bunda sama ayah bakalan menungguku setidaknya sampai jam 1 malam. Kalau lebih dari itu mereka nggak kuat begadang."
"Jadi maksud kamu kita harus pulang jam 2?" tanya Ryan sambil menatap Aila horor.
Tentu saja Aila dengan wajah polosnya itu mengangguk semangat. "Ya tentu saja begitu! Memangnya maksud dari ucapanku tadi apa lagi, Teman?"
Aila kembali duduk di kursi panjang yang letaknya tak jauh dari rumah pohon. Sengaja tadi dia mengajak Ryan kemari, setidaknya saat nanti Ayka mengadu pada kedua orang tuanya maka nasibnya masih aman dan baik-baik saja.
Kalau dipikir-pikir, Aila tak mau menyusahkan Ryan. Berkali-kali dia berharap temannya ini menyerah dengan sifat egoisnya barusan, hanya saja, Ryan itu bebal.
Meskipun terus mencoba bersikap keras kepala, temannya yang satu ini begitu baik. Aila sadar bahwa dia hampir saja terjatuh, benar-benar jatuh hati dalam pesona Ryan makanya sebisa mungkin ia harus membentengi diri sendiri.
"Kalau nantinya kita pulang jam segitu, ibumu pasti marah. Ah gimana kalau—"
"Sekali lagi aku motong ucapan kamu, Ai. Maaf, jangan minta aku buat ninggalin kamu sendirian di tempat gelap begini. Kasus pelecehan jauh lebih banyak ketimbang tingkat kelulusan SNMPTN," balas Ryan.
Aila tersindir habis-habisan. "Harus banget ya bahas SNMPTN? Udah tahu kalau aku lagi ngambek dan malas melakukan persiapan."
Ryan menyentil kening sahabatnya. "Malas kayak gimana yang kamu maksud itu? Lihat sekarang di tanganmu ada apanya?"
Menunduk gadis yang baru saja memasuki usia tujuh belas tahun itu. Dia berkedip beberapa kali hingga akhirnya sadar bahwa sedang memegang buku biologi, haha, konyol sekali.
Aila terdiam saat Ryan kembali mengusap kepalanya dan mengajukan sebuah pertanyaan konyol.
"Bolehkah aku mencium keningmu, Ai?"
Bogeman Aila layangkan pada Ryan. "Kalau mau mati nggak gini caranya, Yan!"
***
Seperti dugaan Aila barusan, memang pulang jam 2 membuatnya aman. Lebih lagi dia masuk melalui jendela kamarnya meskipun harus memanjat pohon dan lagi-lagi merepotkan Ryan.
"Untung saja Ryan monyet," kekeh Aila.
Haha, bukankah memang benar begitu adanya? Dulu sewaktu mereka masih SMP Ryan bahkan bisa memanjat pohon kelapa yang begitu tinggi. Saat Aila kecil, dia pikir tak akan pernah ada yang mau berteman dengannya.
Masih bisa Aila ingat bagaimana semua orang hanya sibuk memperhatikan Ayka yang memiliki banyak mainan sedangkan dirinya satupun tak ada. Kala itu Aila tak menangis, sama sekali tidak pernah dia meneteskan air matanya sekalipun iri pada Ayka.
Namun, begitu mereka masuk sekolah dasar. Ayka terus saja mengatakan hal-hal konyol, seperti buku miliknya yang sengaja disobek-sobek, menjahili teman sekelas hingga mendapatkan nilai nol. Semua itu bukan miliknya, Ayka yang melakukannya tetapi Aila yang mendapatkan imbasnya.
"Sekarang aku benar-benar tak peduli dengan dunia ini," ucap Aila pelan.
Yang dia pedulikan hanya bagaimana cara untuk bertahan hidup, tidak lebih dari itu. Dia harus masuk sekolah seni meskipun saat melakukannya nanti bisa saja Aila harus dicoret dari daftar nama anggota keluarga Amzhari.
Menutup matanya, Aila bersiap untuk tidur di lantai guna mendinginkan kepalanya malam ini. Namun, belum sempat matanya terpejam seseorang muncul dari kegelapan.
"Puas bermain dengan calon suamiku, Mikaila?"
Tanpa menatap lawannya, Aila hanya memperhatikan kaki milik orang itu. Tak menggunakan alas, masih terlihat samar-samar tetesan darah di atas kuku-kuku milik saudaranya itu.
"Berpacaran denganmu saja dia menolak, Ayka. Aku sarankan lebih baik kita fokus saja sekolah. Lagian, Ryan tak pernah menyukai wanita manapun," balas Aila.
Dia meringkuk, duduk bersandar tembok dekat jendela. Perlahan-lahan tapi pasti, Aila mendongak. Sejenak dia sempat terkejut melihat Ayka tampak sangat buruk kali ini.
Melihat Ayka membuatnya seperti sedang mengaca. Saudaranya kembarnya itu terlihat sangat acak-acakan, rambut seperti sarang buruk juga ... bekas tamparan di pipi kiri.
"Sudah melihatnya? Kau pikir aku jauh lebih baik darimu bukan? Padahal kenyataannya kita ini sama saja! Untuk itulah aku mohon padamu, mengalah lah pada Ryan. Mika, biarkan dia bersamaku," pinta Ayka dengan mata sembabnya itu.
Aila tersenyum kecil. "Ambil saja," tantangnya.
"Jika kamu benar-benar bisa mengambil Ryan dariku, maka ambillah dia, Kak. Saat dia benar-benar bisa menjadi milikmu maka akan kugantikan semuanya. Menjadi dokter pun akan kulakukan," imbuh Aila.
Tanpa sadar dia membuat Ayka merasa tertantang. Keduanya saling diam, dengan segala rencana yang tersusun dalam benak masing-masing.
-Bersambung ....