Aila melangkah ke dalam Indomart untuk membeli beberapa jajan bersama Ryan untuk dimakan di rumah pohon nanti. Rencana mereka untuk makan dan lainnya di ganti dengan mengabiskan waktu di rumah pohon saja. Mungkin itu akan terasa lebih nyaman nantinya.
"Beli apa aja kan ya?" tanya Aila dengan troli yang sudah berada di depannya.
"Apa aja."
Aila pun mengangguk. Baru saja akan mendorong troli, Ryan mengambil alih.
"Gue aja."
Gadis itu mengangguk dan berjalan menuju rak-rak Snack. Tangannya mengambil beberapa yang sekiranya ia inginkan. Tak lupa minuman, dan es krim. Coklat juga, hampir semua jenis serupa Aila bahkan membelinya.
Hingga tibalah di kasir. Aila dan Ryan sedang mengantri sambil bercanda. Antriannya tidak terlalu panjang, hanya ada 2 orang lagi di depan.
"Ryan?"
Ryan dan Aila menoleh secara bersamaan ke arah suara itu. Di sana, Ayka sudah berdiri dengan troli yang berisi beberapa belanjaan juga.
Dalam hati Aila hanya bisa menahan diri, hari ini ada sedikit kebahagiaan yang hinggap di kehidupannya. Dia seharusnya tak boleh membuat kebahagiaan sementara ini menjadi kesengsaraan seperti hari-hari biasanya.
"Oh, hai Ka," sapa Ai dengan wajah sumringah.
Tentu saja kali ini dia sedang menyesuaikan diri dengan mood-nya yang bagus, tidak ada salahnya kan menyapa saudara sendiri? Namun, bukan berarti harus mengarah pada perdebatan setelah ini.
Benar-benar jangan sampai terjadi. Karena kita tak akan pernah tahu seperti apa masalah yang bisa ditimbulkan setelah hal ini bukan?
"Hai?" Ayka merasa ini terlalu asing untuknya. Di mata gadis itu Aila tidak seharusnya menyapa. Apakah ini tanda-tanda mereka akan baikan?
Ayka merasa tidak, justru dia sedikit kesal karena menyangka bahwa bisa saja Aila seperti ini untuk mencari muka di depan Ryan.
"Iya," sahut Aila dan tersenyum lagi.
"Ah ya. Kalian mau kemana? Buy this much food for two?"
Ryan mengangguk dengan seutas senyum paksa. "Iya, cuma berdua."
"Wow, you want a picnic?"
"Nggak. Cuma perayaan kecil-kecilan buat, Aila," jawab Ryan dengan santai. Tak lupa mengacak rambut sang gadis yang disukainya itu.
"Um? Perayaan?"
"Ya. Aila juara kelas iya kan Ai?"
Aila mengangguk singkat dan tersenyum.
"Cuma juara kelas? Maaf, maksud gue dirayain karna juara kelas?"
Ryan mengangguk saja. "Ya, kita duluan."
Ryan segera mendorong trolinya mendekati kasir karena memang sudah giliran mereka. Dengan santai Aila mengeluarkan satu persatu barang-barang Belian mereka ke atas meja kasir.
Sedangan Ryan mengeluarkan uang dari dompetnya, dia seolah-olah sudah terbiasa membelikan Aila hingga gadis itu sama sekali tak merasa sungkan.
Begitu selesai, Aila segera menenteng kantong plastik berisi belanjaan mereka. Tak menaruh banyak perhatian pada saudaranya, Aila benar-benar berusaha menghindari konflik.
"Kita duluan ya, Ka."
Ryan segera segera mengajak Aila keluar begitu selesai dengan urusan panganan. Namun, baru saja akan naik ke motor, Ayka menahan lengan Ail.
"Gue boleh ikut?" tanyanya dengan suara pelan.
Ingat bukan bahwa Aila sedang tak mau berdebat? Makanya gadis itu mengangguk segera. "Boleh."
Ayka tersenyum kecil. Kemudian berlari menuju mobilnya yang berada di parkiran.
***
"Gue ikut boleh?"
Ryan yang tengah akan naik ke motornya tampak bingung. Ikut?
"Bareng kita?" tanyanya dengan bingung.
Ayka mengangguk semangat. "Iya. Ikut ngerayainnya juga. Boleh kan?"
Ryan menatap Aila lewat kaca spion motornya. Gadis itu tampak menyimak saja.
"Tanya Ai deh."
"Gue boleh ikut kan, Mika?"
Aioa hanya mengangguk saja. Toh hanya ikut. Dirinya terlalu bahagia, sehingga tidak ingin di hancurkan begitu saja.
"Yess, oke. Gue ikutin dari belakang ya."
Ryan langsung tancap gas menuju rumah pohon mereka. Tak lupa tadi mereka juga membeli beberapa alat gambar agar Aila lebih leluasa untuk menyalurkan bakatnya.
Hanya butuh waktu 15 menit, mereka sudah tiba di sana. Aila segera turun dan menjinjing kantong plastik berisi makanan dan alat gambar tadi. Sedangkan Ryan memarkirkan motornya di dekat rumah pohon itu.
Kakinya berlari kecil mengikuti sang gadis yang masuk ke dalam. Ya Tuhan, bahagianya melihat gadis itu tersenyum tanpa beban.
Namun, begitu teringat Ayka ikut, Ryan mengurungkan niatnya segera naik. Kakinya melangkah menuju Ayka yang berada di pinggir jalan karena mobil tidak bisa masuk ke dalam sini.
Ryan sedikit berlari menyusul gadis itu. Begitu tiba di sana, Ryan sedikit bingung saat melihat mobilnya pergi begitu saja.
"Loh, mobil Lo?"
"Hehe. Nanti dijemput Yan, santai."
Ryan mengangguk saja. Sedikit tidak peduli.
"Lo ke sini jemput gue?"
Ryan menggeleng. Kemudian mendekati Ayka. "Lo jangan rusak moodnya Ai. Jarang-jarang dia senyum kayak gini. Jadi please buat Lo, jangan rusak hari bahagianya dia."
Ayka yang tadinya tersenyum manis kini tersenyum hambar. Sepenting itu Aila bagi Ryan? Apakah Ryan tidak tahu bahwa dirinya begitu teramat menyukai pria itu?
"Yan. Lo nggak mikirin perasaan gue?" lirih Ayka dengan menunduk.
"Gue nggak peduli Ka. Ai terpenting buat gue," balas Ryan dan melangkah menjauhi Ayka. Kakinya berlari menuju rumah pohon itu. Ayka yang mendengar itu tersenyum pahit.
Iri. Hatinya iri kepada saudaranya sendiri.
Namun, walaupun begitu, gadis itu tetap melangkah menuju rumah pohon itu. Hingga berada di atas, matanya disuguhkan oleh Ryan yang duduk menemani saudaranya menggambar. Ah, sangat serasi. Hatinya semakin sakit melihat itu.
"Eh Ka. Sini, mau ikut gambar nggak?" tawar Ai sambil tersenyum.
Ayka menatap Ryan yang begitu dalam menatap saudara kembarnya. Apakah ini yang disebut cinta segitiga? Haha, Ayka benar-benar sebal dibuatnya. Namun, dia sadar diri bahwa tak bisa melakukan apapun saat ini.
"Um, lo aja. Gue nggak bisa gambar," jawab Ayka sedikit berbisik.
Aila dan Ryan diam, Ayka pun juga. Namun, tiba-tiba Ayka itu merusak suasana baik.
"Ah iya. Kalian nggak ada niat pacaran?" tanya Ayka.
Mencoba mengutarakan maksudnya, tetapi dengan cara lain Setidaknya dirinya harus tau bagaimana perasaan mereka berdua.
"Nan—"
"Kita itu sahabat. Kalo pacaran bakalan berubah semuanya," balas Aila cepat dengan wajah jengkel.
Ryan yang baru saja akan menjawab seketika terdiam. Tatapan matanya langsung redup.
"Jadi kalian bakalan sahabatan selamanya gitu?" pancing Ayka lagi.
"Ya kalo bisa selamanya kenapa nggak? Lagi pula seperti ini jauh lebih baik," sahut Aila lagi.
Ayka mengangguk singkat. Wajahnya tersenyum kecil. "Jadi Lo ikhlas misalnya Ryan sama gue?"
"Gue nggak mau sama Lo," balas Ryan jutek dengan wajah tertekuk.
Aila menatap dengan wajah polosnya kemudian mengangguk. "Ryan nggak mau sama kamu. Jadi cari yang lain aja."
Seketika Ayka terdiam. Tidak ada yang bisa dibicarakan lagi. Aila yang ini terasa berbeda. Atau sedari awal saudaranya itu tahu niat aslinya?
-Bersambung ....