Chereads / Our Monday / Chapter 14 - Sebelum Badai Melambai

Chapter 14 - Sebelum Badai Melambai

Pagi sudah menyapa. Hari ini adalah hari penerimaan rapor. Cuaca terlihat cerah, seolah mendukung acara yang akan di laksanakan di sekolah.

Biasanya jam segini Aila sudah bangun dan bersiap berangkat. Namun, pagi ini berbeda, dia masih berada di kamar mandi dengan badan yang sudah kaku karena semalam ayahnya kembali menyeretnya kemari dengan alasan singkat, mengganggu waktu bahagia Ayka. Aila tidak sadarkan diri sejak semalam karena tidak tahan dengan suhu di ruangan berair itu.

Suara pintu yang di buka membuat cahaya menerobos masuk ke dalam ruangan dingin itu. Dia, Maya, Bunda Aila dan Ayka. Masuk dengan keadaan yang sudah rapi. Bahkan aroma parfumnya menguar ke mana-mana.

Ditatapnya putrinya yang terbaring di lantai kamar mandi yang dingin tanpa alas. Wajahnya tidak terlihat karena di tutupi oleh rambut Aila.

Dalam hati, dia mengumpati anaknya itu. Baginya Aila itu sangat pembangkang dan suka melawan. Sedangkan Ayka berbeda, putrinya yang itu selalu turut padanya.

"Ai!" Teriaknya kuat tanpa harus menyentuh tubuh lembab Ai.

"Ai! Bangun! Berangkat sekolah!" teriaknya kuat berharap ada respon dari tubuh Ai. Tapi bukannya merespon, tubuh itu malah terdiam kaku kayaknya patung.

"Ai!"

Lagi, teriakan itu menggema di ruangan berukuran 3x3 meter itu. Aila tidak merespon karena tidak sadarkan diri sejak semalam. Merasa kesal dicuekin, Maya mendekat dan menarik secuil baju lembab Aila.

"Hey bangun! Jangan buat Bunda marah! Kamu harus ke sekolah! Besok libur baru kamu tidur!" bentaknya kuat dan terus menarik baju itu.

Namun, tidak ada respon yang memuaskan. Maya akhrinya penasaran yang terjadi pada anaknya itu. Tangannya menyingkap rambut Aila yang menutupi wajahnya. Dan terpampang lah, wajah yang penuh memar tak lupa kepalanya masih ada luka dari lemparan gelas kemarin.

Khawatir?Tidak saam sekali!

Ya, Maya tidak khawatir sama sekali, baginya itu adalah suatu didikan keras agar mereka jadi manusia sukses. Karena hanya orang tua yang tau yang terbaik untuk putrinya.

"Ai!" Panggilnya lagi.

Dengan erotis wanita itu meraih gayung dan tak lupa mengisinya dengan air. Tanpa belas kasihan, segera di siramnya wajah putrinya itu. Tidak ada belas kasihan! Ingat!

"Bangun!"

Aila perlahan membuka matanya. Karena sesuatu yang dingin jatuh ke tubuhnya. Begitu tersadar, segera gadis itu bergerak mundur hingga kepentok ke bak air.

Melihat wanita di depannya yang memang cantik, membuat Aila tetap saja meringkuk ketakutan. Karena sudah emosi, wanita berstatus ibunya itu kembali menyiramnya.

"BANGUN! JANGAN MIMPI TERUS!"

Kini Aila mengusap wajahnya. Kesadarannya kembali. Ditatapnya wajah sang bunda yang sudah berdiri dengan wajah menahan emosi.

Ai menunduk, haruskah dia dibangunkan seperti ini? Haha, hewan peliharaan bahkan tak diperlakukan seburuk ini, 'kan?

"Bangun!"

Segera gadis itu berdiri. Wajahnya pucat, hanya saja ketakutan di hatinya tidak reda juga. Dia lebih takut kepalanya dihantam sesuatu saat ini ketimbang limbung di kamar mandi lagi.

Sekolah, dia harus segera melakukannya. Paling tidak nanti untuk mempersiapkan diri apabila nilainya anjlok semua.

"Siap-siap ke sekolah!"

Lalu wanita itu melangkah menjauhi kamar mandi. Sedangkan Aila hanya diam saja. Lagi, gadis itu takut hasilnya tidak memuaskan.

"Bunda, bisa peluk aku sekali saja?" lirihnya meskipun tak akan ada seorang pun yang mau mendengarkan.

Karena Aila hanya beban keluarga di mata mereka, karena gadis muda ini tak lebih dari sekadar sosok pengganti yang mungkin dibutuhkan suatu hari nanti.

***

Lapangan sekolah sudah berisi dengan siswa-siswi yang akan menerima hasil nilainya selama 1 semester ini. Apakah memuaskan atau tidak, segalanya akan segera terungkap saat ini.

Aila terlihat gelisah di barisannya. Apalagi di pinggir lapangan sang bunda terus menatap ke arah dirinya. Tak lupa juga dengan Ryan yang berdiri di sebelahnya.

"Tenang. Gue yakin lo peringkat 1, jangan khawatir baby, okey?" bisik Ryan dengan senyuman.

Tak bisa berkata-kata membuat Aila hanya mengangguk singkat saja. Sungguh, hatinya sangat takut saat ini. Apakah Tuhan bisa berbaik hati padanya hari ini dengan membuatnya menjadi juara kelas?

Namun, sepertinya itu tak lebih dari mimpi belaka. Karena bagaimanapun dia berjuang maka akan tetap kalah dari Ryan yang notabenenya memang sudah pintar.

"Selamat, kepada juara-juara kelas. Semoga kalian bisa mempertahankan nilai kalian hingga semester akhir nanti. Buat yang tidak masuk peringkat 3 besar, jangan berkecil hati. Terus bersaing dan bersaing."

Suara guru yang baru saja mengumumkan hasil juara kelas terdengar nyaring. Aila tampak menunduk. Benar, dirinya berada di peringkat 2 kelas. Sedangkan Ryan di peringkat 1. Hanya sampai di sini saja otaknya mampu, tidak bisa lebih dari itu.

Barisan segera dibubarkan. Sedangkan Ai hanya diam saja sambil berjalan di sebelah Ryan. Wajahnya murung, ada apa lagi ini?

Begitu tiba di kelas, sang wali-wali murid sudah duduk di kursi masing-masing. Aila duduk di sebelah Bundanya yang tampak tersenyum sumringah. Di depan sana wali kelasnya juga tersenyum kepada sang Bunda.

Aila tidak tahu apa yang terjadi. Tapi baginya semuanya ini adalah ancaman baginya. Entah mengapa kali ini Aila bahkan merasa kalau hidupnya tak akan bertahan lama.

"Gue nanti ikut ke rumah lo ya. Tenang aja. Gue bakalan temenin Lo sampe malam," bisik Ryan dengan wajah serius.

Seperti biasanya, Aila mengangguk singkat sebagai jawaban. Kemudian menatap Ibunya Ryan yang duduk tepat di belakang mereka bersama lelaki itu.

"Di sini, saya selaku wali kelas mengucapkan terima kasih atas kehadiran wali murid, bapak ibu sekalian telah berkenan ikut untuk hadir dalam acara penerimaan rapor semester ini."

"Saya ucapkan kepada anak-anak Ibu, hari ini hari terakhir saya sebagai wali kelian karena kalian akan masuk ke jenjang yang lebih serius lagi. Jangan lupa belajar, dan terus semangat."

"Hari ini saya sebagai wali kelas, mengucapkan terimakasih kepada murid-murid sekalian. Walaupun kelas kita tidak masuk ke peringkat 3 besar di lapangan. Dan ya, saya sudah merangkum di sini nilai-nilai siswa paling tinggi di tiap mata pelajaran."

Aila mendengar kan dengan cermat. Tapi hatinya begitu berdetak dengan cepat takut akan kemarahan di rumah nanti.

" ..... Biologi, selamat Mikaila. Kamu nilai paling tinggi semester ini untuk mata pelajaran Biologi. Selisih nilai kamu dan Ryan hanya 2 saja. Jadi terus kejar, dan buat kamu Ryan, kamu terus pertahankan ya nak."

Gadis itu tersenyum kecil, biologi. Dirinya mampu meraih nilai tertinggi mata pelajaran biologi di kelas ini. Bangga? Jelas.

Aila menatap ke arah Ryan yang juga tersenyum kecil. Memang di semua mata pelajaran tadi, kebanyakan Ryan yang unggul. Tapi ia cukup bangga dengan nilainya.

Bubarnya kelas membuat Ai berdiri kaku. Matanya menatap sang ibu dengan takut.

"May, mau bareng pulangnya?" tanya mamanya Ryan dengan senyuman.

"Boleh mbak. Sekalian mampir minum teh bisa?"

"Bisa May, yuk."

Bundanya mengangguk kemudian meraih rapot milik Aila. "paling lama pulang jam 5. Kamu bebas mau ngapain."

Aila tersenyum haru. Kemudian mengangguk semangat.

"Makasih bunda."

Sang bunda mengangguk dan berjalan keluar bersama Ibunya Ryan. Sedangkan cowok itu tersenyum kecil.

"Jadi kita mau kemana nih?" tawarnya dengan wajah sumringah.

"Makan, nonton, happy, main ke rumah pohon. Banyak, Yan! Jarang aku di kasih waktu buat main! Ayo!"

Ryan segera berjalan kecil mengejarnya. Sedangkan Aila begitu semangat sehingga lupa bahwa dirinya tadinya sedang bersedih. Ya Tuhan, bahagianya sang gadis sangat sederhana.

Jadi, bagaimana bisa Ryan tak menuruti permintaan tersebut?

-Bersambung ....